ANALISIS NILAI SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL JEJAK LANGKAH KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER


ANALISIS NILAI SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL JEJAK LANGKAH KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

 








SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh
Gelar Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Muhammadiyah Makassar

Oleh

MUH. RISAL HAMID
10533 3087 05

JURUSAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2009
PERSETUJUAN PEMBIMBING


Nama                           : Muh. Risal Hamid
Nim                             : 10533 3087 05
Juruan                          : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas                       : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Judul skripsi                : Analisis Nilai Sosial Politik Dalam Novel Jejak Langkah
                                      Karya Pramoedya Ananta Toer
                             
Setelah diperiksa dan diteliti ulang, skripsi ini telah memenuhi persyaratan untuk ujian meja pada jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.

Makassar,   November 2009

Disetujui:

     Pembimbing I                                                       Pembimbing II




       Drs. H. Tjoddin, SB                                               Drs. Abd. Munir K, M.Pd

    Mengetahui:



             Dekan FKIP                                       Ketua Jurusan Pendidikan
     Universitas Muhammadiyah Makassar                 Bahasa dan Sastra Indonesia



Dr. A. Sukri Syamsuri, M. Hum.                       Dra. Munirah, M.Pd
NBM. 858 625                                                      NBM. 951 576
MOTO

TIDAK ADA KAWAN SEJATI
TANPA MUSUH SEJATI
JIKA TIDAK MAMPU MEMBENCI
APA YANG KITA BENCI,
KITA TIDAK AKAN MAMPU MENCINTAI
APA YANG KITA CINTAI




KETENGAN ADALAH SUMBER KEKUATAN YANG TERPENDAM
PENINDASAN MERUPAKAN PUPUK PERLAWANAN,
IKHTIAR DAN DOA ADALAH MEDAN JIHAT



Kusemai tulisan ini dengan tintah perjuangan
Dibalik saf-saf kerta untuk kedua
Orang tua tercinta, saudara-saudariku

MUTIARA HIKMAH

Ilmu Tanpa Agama Buta
Dan Agama Tanpa Ilmu Lumpuh
(Pepatah Arab)

Allah Meninggikan Orang-Orang Yang Beriman Di Antar Kamu Dan Orang-Orang Berilmu Pengetahuan Beberapa Derajat (Qs.Al-Mujadila: 11)


Allah Tidak Akan Membebani Seseorang Melaingkan Sesuai Dengan Kemampuannya (Qs.Al-Baqarah:286)



Karya ini kurakit dan kupersembahkan kepada
Ayahanda tercinta yang kini berada di alam kedamaian
Ibunda yang telah lelah mengukur deretan masa
Untuk mengais keping-keping logam untukku. Serta………
ABSTRAK

Muh. Risal Hamid, 2009. Nilai Sosial Politik dalam Novel Jejak Langkah Karya Pramoedya Ananta Toer. Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.

Penelitian ini bertujuan mendeskripsikan nilai sosial politik yang terdapat dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer dengan menggunakan pendekatan  teori poskolonialisme. Penelitian  ini adalah penelitian kepustakaan yakni mengumpullkan data dari sumber yang ada hubungannya dengan penulisan skripsi ini. Sumber data pada penelitian ini adalah keseluruhan isi cerita dalam novel Jejak Langakah karya Pramoedya Ananta Toer yang menyangkut nilai sosial politik. Adapun teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah observasi tidak langsung atau biasa disebut dengan teknik analisis. Berdasarkan hasil analisis data yang dihimpun, peneliti menemukan dan menunjukkan bahwa novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer mengandung nilai sosial politik seperti: politik pendidikan, nasionalisme, dan ekonomi politik.











KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis ucapkan kehadirat Allah swt, berkat rahmat dan hidayah-NYA, sehingga skripsi yang berjudul Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer dapat di selesaikan.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana pendidikan pada jurusan pendidikan bahasa  dan sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
Sejak awal hingga akhir penyususan skripsi ini, penulis tidak terlepas dari berbagai rintangan. Namun, berkat rahmat dan karuniah Allah semua rintangan dapat diatasi. Penulis sadar bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari motivasi dan arahan dari pembimbing. Oleh karena itu, penulis patut  mengucapkan banyak terimakasih kepada Drs. H. Tjoddin SB. dan Drs. Abd. Munir K., M.Pd. sebagai pembimbing I dan pembimbing II, yang dengan ikhlas meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr. Irwan Akib, S.Pd., M.Pd. Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, Dr. A. Syukri Syamsuri, M.Hum. Dekan Fakultas Keguruan  dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar, dan Dra. Munira, M.Pd. ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastar Indonesia.
Ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada kedua orang tua. Ayahanda Abd. Hamid (Alm) dan ibunda St. Nuri, atas doa dan tetesan keringat serta air mata untuk menyekolahkan ananda, semoga  Allah memuliakan ayahanda dan ibunda.  Ucapan terimakasih kepada kakanda Syarifuddin, S.Pd., Rosyani, A. Muh. Tawil, Hastin, Isdar, Ense, dan Misbahuddin, serta kepada adik-adik saya. Risawan, Herwan, dan Yusril. Atas dorongan dan motivasi serta bantuan materi yang dikorbankan selama saya kuliah. Kepda teman-teman angkatan 2005 Ratnawati, Raming ode, Rajja, Jumriani, Ramadhan, Irfan, yang telah merelakan laktopnya untuk penulis pergunakan selama menyusun skripsi. Kepada Lia, Fatmawati, Anti, Tiwi, dan Riswayunita. Yang telah merelakan kosnya untuk penulis tempati sebagai tempat istrahat selama penyusunan skripsi. Kepada usd. Muliadi, Mamat dan Hanafi. Yang selalu memberikan pesan-pesan spiritual kepada  penulis. Serta teman-teman yang tidak tercantum namanya. Penulis mengucapkan banyak terimakasih atas bantuannya, semoga niat tulus teman-teman mendapat pahala disisi Allah swt.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berlapangdada untuk menerima kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermamfaat khususnya bagi diri pribadi dan pembaca pada umumnya.
Makassar, November 2009

                                                                                           Penulis


SURAT PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama                       : Muh. Risal Hamid
Stambuk                   : 10533 3087 05
Jurusan                     : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Dengan Judul           : Anlisis Nilai Sosial Politik dalam Novel Jejak    Langkah Karya Pramoedya Ananta Toer
Dengan ini menyatakan bahwa:

Skripsi yang saya ajukan di depan tim penguji adalah asli hasil karya sendiri, bukan
hasil jiplakan dan tidak di buat oleh siapapun.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan saya bersedia menerima sanksi apabila pernyataan ini tidak benar.
Makassar, 16 November 2009
Yang Membuat Pernyataan,

                                                                                                      Muh. Risal Hamid

Diketahui oleh,
              Pembimbing I                                                           Pembimbing II


          Drs. H. Tjoddin SB.                                            Drs. Abd. Munir K.,M.Pd.
DAFTARA ISI


Halaman Judul …………………………………………………………………           i Halaman Pengesahan …………………………………………………………..          ii
Halaman Persetujuan ………………………………………………………….          iii
Moto ……………………………………………………………………………         iv
Mutiara Hikmah ……………………………………………………………….           v
Abstrak ………………………………………………………………..………          vi
Kata Pengantar ………………………………………………...………………         vii
Daftar Isi ………………………………………………...……………………..          x
BAB  I  PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ………………..……………………………          1
B. Rumusan Masalah ……………………………………………………          7
C. Tujuan Penelitian …………………………………………………….          7
D. Mamfaat Penelitian …………………………………………………..          7
BAB  II  TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Tinjauan Pustaka …………………………………………………….          8
B. Kerangka Pikir ……………………………………………………….        39
BAB  III  METODE PENELITIAN
A. Variabel dan Desain Penelitian ………………………………………       42
B. Definisi Operasional Variable ………………………………………..       43
C. Data dan Sumber Data ……………………………………………….        45
D. Teknik Pengumpulan Data …………………………………………..        46
E. Teknik Analisis Data …………………………………………………       46
BAB  IV  HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penyajian Hasil Analisis Data ………………………………………..       50
B. Pembahasan …………………………………………………………..       65
BAB  V  PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………………………      78
B. Saran …………………………………………………………………..      80
DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………………     82
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………………...     85
LAMPIRAN ……………………………………………………………………..     86








JADILAH IDEALIS DI SAAT ORANG PRAGMATIS
KARNAH KESUKSESAN YANG DIRAIH DENGAN TETESAN AIR MATAH
JAUH LEBIH NIKMAT DARI PADA SECANGKIR KAPUCINO


JADILAH ORANG YANG SELALUH BERBAGI
KARNA DENGAN BERBAGI SESEORANG MAMPUH MEMAKNAI   
 KETIADAAN

KEHAMPAAN BUKAN BERARTI KETIADAAN
NAMUN KETIADAAN AKAN MELAHIRKAN KEHAMPAAN
SESUTU AKAN BERARTI DALAM HIDUP INI
KETIKA SESEATU ITU RAIB DALAM KEHIDUPAN KITA

MUHAMMAD RISAL HAMID

DINDA KAMU TERLAMBAT HADIR  DI MUARA HATIKU
UNTUKMU MAWAR YANG TAK BERWAJAH
KULANTUNGKAN SAJAK PENYESALAN
 BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Sastra adalah roh kebudayaan, sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaan. Sastra sering juga di tempatkan sebagai potret yang mampuh mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu dan  dapat memancarkan semangat zamannya. Dari sinilah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsa.
Asumsi di atas memberikan gambaran bahwa karya sastra yang berbentuk prosa dalam hal ini novel yang hadir di tengah masyarakat merupakan representasi dari realitas kehidupan sosial, taradisi, kepercayaan, dan ideologi. Oleh karena itu, narasi yang kemudian hadir dalam konstruksi-konstruksi novel adalah pengejawantahan dari situasi yang sedang terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Pada hakikatnya, unsur pembangun karya sastra terbagi atas dua bahagian yaitu unsur instriksik dan unsur ekstrinsik. Unsur instriksik atau unsur struktural merupakan unsur pembangun karya sastra dari dalam                               sedangkan unsur ekstrinsik merupakan unsur pembangun karya sastra dari luar. Unsur ekstrinsik karya sastra memiliki hubungan erat dengan disiplin ilmu lain seperti filsafat, politik, budaya, pendidikan dan disiplin ilmu lainnya. Seperti yang dikemukaka Mahayana, (2007: 32) bahwa terjadinya perubahan sosial-politik-ekonomi-budaya, secara langsung ikut mempengaruhi gaya dan tema-tema yang diangkatnya. Unsur-unsur tersebut hadir dalam karya sastra tidak serta merta sebagaimana unsur instriksik yang kehadirannya dalam karya sastra merupakan keharusan, tetapi kehadirannya merupakan interprestasi terhadap realitas sosial yang dialami oleh penulis sehingga dalam mengkaji karya sastra prosa dalam hal ini novel tidak akan tuntas ketika hanya melihat dari unsur dalamnya atau instrinsiknya saja.
Proses terbentuknya karya sastra prosa dalam hal ini novel, pada hakikatnya dilatarbelakangi oleh berbagai macam problem psikologis, sosial, kultural, spritual, bahkan juga idiologis yang justru sering mempengaruhi struktur karya tersebut. Ketika kita membaca karya sastra prosa berupa novel, akan kita jumpai betapa problem di luar teks menawarkan medan tafsir yang menuntut bantuan disiplin ilmu lain. Disinilah faktor ekstrinsik memegan peran penting dalam menuntun pembaca memahami makna teks lebih utuh.
Salah satu problem prioritas yang sering mewarnai karya sastra jika ditinjau dari presfektif ekstrinsik adalah problem sosial. Kehadiran  karya sastra prosa dalam hal ini novel dalam kehidupan masyarakat mewakili setiap lompatan-lompatan atau perubahan sosial dalam kurung waktu tertentu sehingga dapat disimpulkan bahwa setiap karya sastra yang hadir tidak terlepas dari problem sosial.
Novel jejak langkah karya Pramoedya Ananta Toer merupakan novel ketiga dari tetralogi pulau buru dengan menggunakan latar belakan sejarah sekitar abad ke-19 atau awal abad ke-20 yang berusaha menyoroti dinamika sosial politik yang terjadi pada saat itu di Hindi Belanda atau indonesia saat ini. Sesuai dengan judulnya jejak langkah dimaksudkan untuk merepresentasikan jejak-jajak langkah perjuangan manusia indonesia dalam melakukan pengorganisasian dan perlawanan atas penjajahan serta diskriminasi terhadap pribumi.
Kemiskinan, kemelaratan, diskriminasi hukum, nasionalisme, budaya sentralistik, dan pendidikan merupakan rangkaian masalah  dalam novel ini yang nantinya menimbulkan perlawanan. Mobilisasi segala daya untuk melakukan perlawanan atas bercokolnya kekuasaan Hindia atau Belanda yang sudah berlarut-larut umurnya, perlawanan dalam konteks novel ini tidak dilakukan dalam bentuk bersenjata atau pemberontakan tetapi dengan jalan jurnalistik dan organisasi-organisasi sosial. Perpaduan jurnalis dan organisasi, tidak hanya membangkitkan nasionalisme disetiap kantong perlawanan di daerah tetapi juga menusuk penjajah di pusat-pusat pemerintahan. Uraian di atas merupakan gambaran realitas kehidupan perlawanan bumi putra yang sifatnya sosial politik tampa aksi kekerasan pada awal abad ke-20 yang di abadikan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Jejak Langkah.
Menanggapi karya-karya Pramoedya, Sastrawati (2003: 119) mengatakan bahwa hampir semua karya Pramodya berbau politik. Tidak terkecuali novel Jejak Langkah sehingga pada tahun 1988 novel ini diambil dari pasaran dan diperintahkan kepada setiap warga negara yang memiliki novel-novel itu untuk menyerahkannya. Jaksa agung menilai novel itu dengan kemampuan pena yang sempurnah dan licin dari penulisnya dengan cara yang halus dan tersembunyi di selipkan konsep-konsep Marxis dengan menggunakan data-data sejarah. Menurut hemat penulis, fatwa yang dikeluarkan jaksa agung pada masa rezim orde baru terhadap novel Jejak Langkah tidak sesuai dengan realitas isi novel tersebut. Justru novel Jejak Langkah merupakan novel yang sarat dengan nilai pendidikan dan sangat humanis walaupun tidak dipungkiri di dalamnya ada kepentingan politi tetapi hanya sebatas pandangan penulis dalam memandang Indonesia pada masa lalu yaitu awal abad ke-20 dan hubungannya dengan perilaku politik penguasa indonesia masa sekarang yang tidak ada bedanya dengan masa kolonial.
Disisi lain kehadiran novel Jejak Langkah memiliki tujuan untuk mengungkapkan sejarah penindasan masyarakat Indonesia, perampasan hak asasi manusia, dan pembatasan kreatifitas berpikir, serta berkarya melalui lembaga-lembaga kebudayaan yang dibentuk Belanda. Hakikatnya novel tersebut secara tidak langsung melakukan keritik terhadap sistem diktatorial orde baru. Melalui novel Jejak Langkah pengarang menggunakan analisis perbandingan antara penjajahan pada awal abad ke-20 dengan masa kemerdekaan tepatnya masa pemerintahan Soeharto untuk mengungkapkan bentuk-bentuk penindasan  dan pelanggaran hak asasi manusia sehingga dengan kehadiran novel ini diharapkan mampuh membuka mata dan membangkitkan kesadaran keritis masyarakat atas hegemoni pemerintah orde baru untuk melakukan perlawanan. Sebagaimana ungkapan yang sangat populer bagi Toer (dalam Boef, 2008: i) saya berharap bahwa pembaca di Indonesia, setelah membaca buku saya, merasa berani, merasa dikuatkan. Dan kalau ini terjadi, saya menganggap tulisan saya berhasil. Itu adalah suatu kehormatan bagi seorang pengarang, terutama bagi saya. Lebih berani. Berani. Lebih berani.
Novel ini mencoba memotret berbagai problem sosial politik yang sangat sensitif pada masa pemerintahan kolonial Belanda. Diantara problem tersebut adalah problem pendidikan, ekonomi, budaya, dan nasionalisme.
Keberhasilan kaum sosialis memperoleh suara terbanyak dalam parlemen Belanda, melahirkan kebijakan yang lebih prokepada pribumi diantaranya lahir kebijakan politik etis yang salah satunya adalah dibidang pendidikan. Walaupun pribumi berhak mendapat pendidikan moderen, namun Kebijakan pada aspek pendidikan yang di terapkan pemerintah Belanda sangat diskriminatif dan sarat dengan kepentingan politik penjajah. Pada aspek ekonomi, monopoli perdagangan yang didominasi kaum pemilik modal dan pemberlakuan tanam paksa kepada pribumi semuanya hanya untuk kepentingan kolonial atau penjajah. Begitupun pada aspek budaya juga terjadi diskriminasi yang sifatnya sentralistik sehingga melahirkan sifat kedaerahan.
Penerapan sistem  pendidikan moderen walaupun sangat diskriminatif dan sarat dengan muatan sosial politis. Tetap, mampu membangkitkan kesadaran pribumi, akumulasi diskriminasi pada seluruh aspek kehidupan dan kesadaran politis yang sedikit telah terbangun dalam benak kaum terdidik melahirkan sikap nasionalisme untuk melakukan perlawanan melalui perhimpunan-perhimpunan atau organisasi-organisasi sosial politik.
Berdasarkan uraian di atas, ada lima hal yang mendasari karya ini menarik untuk dikaji. Pertama, sebagai akibat kekayaan informasi yang di sampaikan, kedewasaan, baik dalam menggunakan bahasa maupun menggali isi. Kedua, produktivitasnya. Ketiga, kontorversi novel ini sebagai akibat keterlibatan penulisnya dalam organisasi lekra (lembaga kebudayaan rakyat) yang merupakan lembaga seni bentukan PKI sehingga beberapa dasawarsa karya-karyanya di larang beredar, tetapi menjadi karya terlaris setelah reformasi. Keempat, keberhasilan karyanya menarik minak pembaca di dunia sehingga karya-karyanya diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Kelima, kehidupan penulisnya yang selama hidupnya di habiskan dalam penjara sebagai tapol atau tahanan politik.
Berdasarkan latar belakang masalah di atas penulis mengangkat judul Analisis Nilai Sosial Politik dalam Novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer, dengan alasan bahwa nilai sosial politik dalam novel tersebut memiliki nilai-nilai edukatif yang erat hubungannya kehidupan pembaca dan kehidupan sosial masyarakat pada umumnya.





B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, maka yang menjadi masalan  dalam rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah bagaimanakah nilai sosial politik yang terdapat dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer?

C.    Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengungkapkan atau mendeskripsikan nilai-nilai sosial politik yang terdapat dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedaya Ananta Toer.

D.    Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian yang diperoleh berdasarkan tujuan penelitian ini, maka diharapkan dapat:
1.       Mengambil pedoman dari pola-pola nilai pendidikan yang baik, dan menghindari nilai pendidikan  yang tidak sesuai dengan adat yang berlaku lewat cerita yang dibacanya.
2.       Melanjutkan penelitian, bermanfaat sebagai bahan perbandingan dengan karya-karya ilmiah lainnya.
3.       Diharapkan memberikan sumbangsi terhadap orang banyak.
4.       Memberikan konstribusi terhadap perkembangan khasana ilmu pengetahuan sastra pada umumnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A.    Tinjauan Pustaka
Keberhasilan suatu penelitian tergantung teori yang mendasarinya. Selain itu, teori merupakan landasan suatu penelitian untuk mencapai target yang diinginkan dalam penelitian ini tersebar diberbagai pustaka yang erat kaitannya dengan pokok permasalahan.
Berdasarkan uraian di atas, aspek teoritis yang akan dibicarakan pada tinjauan pustaka ini adalah aspek-asapek sosial politik. Namun, sebelum mengurai aspek-aspek sosial politik terlebih dahulu penulis mengurai unsur karya sastra dalam prespektif intrinsik dengan tujuan untuk memperkaya khasana konsepsi tentang karya sastra dalam hal ini novel.
1.      Pengertian Novel
Secara etimologi, novel berasal dari bahasa Latin novellus yang diturunkan dari kata novles yang berarti baru. Sedangkan secara istilah novel adalah sebagai salah satu jenis karya sastra dapat didefinisikan sebagai pemakaian bahasa yang indah yang menimbulkan rasa seni pada pembaca. Seperti yang dikemukakan oleh Sumardjo (1984: 3) yang menurutnya bahwa novel (sastra) adalah ungkapan pribadi manusia merupakan pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Berbeda dengan Sumardjo, Abrams (dalam Nurgiyantoro, 2005: 9) mengungkapkan bahwa secara harfiah  novella berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita pendek dalam bentuk prosa.
Menurut Adhar (1997: 9). Novel merupakan suatu bentuk karya sastra yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan ide atau gagasan pengarang, sedangkan menurut Wellek dan Austin (1990: 182-183).  Novel adalah gambaran dari kehidupan dan perilakunya sehingga terjadi perubahan jalan hidup baru baginya.
Novel adalah suatu jenis karya sastra yang berbentuk naratif dan berkesinambungan ditandai oleh adanya aksi dan reaksi antar tokoh, khususnya antara antagonis dan protagonis seperti diungkapkan oleh Semi (1988: 36). Menurut Reeve (dalam Wellek, 1993: 282) fiksi (novel) merupakan salah satu bentuk narasi yang mempunyai sifat bercerita: yang diceritakan adalah manusia dengan segala kemungkinan tentangnya. Oleh karena itu ciri utama yang membedakan antara narasi (termasuk fiksi atau novel) dengan desripsi adalah aksi, tindak tanduk atau pelaku.
Uraian di atas dapat dijabarkan bahwa pada dasarnya novel berisi tentang cerita kehidupan tokoh yang diciptakan secara fiktif, namun dinyatakan sebagai suatu yang nyata. Nyata yang dimaksudkan dalam hal ini bukanlah hal yang merujuk pada fakta yang sebenarnya, melainkan nyata dalam arti sebagai suatu kebenaran yang dapat diterima secara logis hubungan antara sesuatu peristiwa dengan peristiwa lain dalam cerita itu sendiri, dan merupakan alat untuk memberikan informasi kepada peminat sastra. Novel juga diartikan sebagai karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku (Depdibud, 1993: 694).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa novel merupakan cerita berbentuk prosa dalam ukuran luas yang menyajikan lebih dari objek berdasarkan stuktur tertentu.
Dengan demikian, novel sangat penting dipelajari dan dikaji untuk mendapatkan pengetahuan tentang hal yang diungkapkan pengarang serta landasan sosiologis yang mempengaruhi kehidupan pengarang.
2.   Jenis Novel
Dalam arti luas, novel adalah cerita berbentuk prosa dalam unsur yang luas. Ukuran yang luas di sini dapat diartikan cerita dengan plot (alur). Namun, yang kompleks, suasana yang beragam, dan setting cerita yang beragam pula. Namun ukuran luas disini juga mutlak demikian, mungkin yang luas hanya saah satu unsur fiksi saja, misalnya sedang karakter dan setting hanya satu saja.
Sumardjo (1984: 16) membagi novel itu atas tiga jenis, yaitu novel percintaan, novel petualangan dan novel fantasi.
a.       Novel percintaan melibatkan peranan tokoh wanita dan pria seimbang, bahkan kadang-kadang peranan wanita lebih dominan pelakunya.
b.      Novel petualangan hanya dominasi hanaya kaum pria, karena tokoh didalamnya pria dengan sendirinya melibatkan banyak masalah lelaki yang tidak ada hubungannya dengan wanita.
c.       Novel fantasi bercerita tantang hal yang tidak logis yang tidak sesuai dengan keadaan dalam hidup manusia. Jenis novel ini mementingkan ide, konsep dan gagasan sastrawan hanya dapat jelas kalau diutarakan bentuk cerita fantastic, artinya menyalami hukum empiris, hukum pengalaman sehari-hari.
Penggolongan di atas merupakan penggolongan pokok saja, sehingga dalam praktek ketiga jenis novel tersebut sering dijumpai dalam suatu novel. Secara khusus Lubis (dalam Tarigan, 1985: 166) membagi novel atas beberapa bagian seperti:
a.       Novel avontur dipusatkan pada seseorang tokoh atau hero utama wanita, merupakan rintangan untuk mencapai suatu tujuan;
b.      Novel psikologis perhatian tidak ditujukan pada avontur lahir maupun rohani, terjadi lebih diutamakan pemeriksaan seluruhnya dari semua pikiran para pelaku;
c.       Novel detektif kecuali dipergunakan untuk meragukan pikiran pembaca, menunjukkan jalan penyasalan cerita. Untuk membongkar rahasia kejahatan, tentu dibutuhkan bukti agar dapat menangkap si pembunuh.
d.      Novel sosial dan politik pelaku pria dan wanita tenggelam dalam masyarakat sebagai pendukung jalan cerita.
e.       Novel kolektif tidak hanya membawa cerita tetapi lebih mengutamkan cerita masyarakat sebagai suatu totalitas, keseluruhan mencampur adukkan pandangan antrologis dan sosiologis.
f.       Novel sejarah hanya sekedar kenangan indah buat dukumen, mengisahkan kepahlawanan seorang gadis yang keluarganya menjadi korban revolusi.
g.      Novel keluarga pengalaman batin dijejahi pembaca tentang kegelisahan, baik berupa kegelisahan sosial, kegelisahan batin maupun kegelisahan rumah tangga.
 3. Unsur yang Membangun Novel
Untuk mengkaji karya sastra dikenal dua pendekatan yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik. Pendekatan intrinsik adalah pendekatan yang menyelidiki unsur-unsur karya sastra yang membangun dari dalam seperti tema, alur, penokohan, tokoh, dan pusat pengisahan. Sedangkan pendekatan ekstrinsik adalah usaha menafsirkan seni sastra dalam hubungannya dengan lingkungan sosial. Pendekatan ekstrinsik juga berusaha mencari hubungan dengan ilmu-ilmu lain seperti filsafat, sosial, politik, pendidikan, dan budaya untuk membedah sebuah karya sastra berupa novel.
Penelitian ini menggunakan pendekatan ekstrinsik dengan mengkaji nilai-nilai sosial politik. Walaupun hakikatnya penelitian ini menitih beratkan pada aspek ekstrinsik tapi tidak ada salahnya kalau sedikit dideskriptifkan unsur intrinsik sebagai unsur internal karya sastra prosa berupa novel. Unsur-unsur intrinsik tersebut antara lain sebagai:
a.      Tema
Tema adalah karya inti sari atau pokok bahasan karya sastra yang secara keseluruhan sehingga di dalam novel, tema menetukan panjang waktu yang diperlukan untuk mengungkapkan isi cerita, atau tema adalah gagasan utama pokok pikiran.
Menurut Aminuddin (1991: 91) istilah tema berasal dari bahasa Latin yang berarti “tempat meletakkan sesuatu perangkat”, sedangkan menurut Tarigan (1985: 125) tema merupakan pandangan-pandangan hidup yang terentu atau perasan tertentu mengenai kehidupan yang membentuk gagasan utama dari suatu karya sastra.
Tema adalah kaitan hubungan antara makna dan tujuan pemaparan prosa fiksi oleh pengarangnya, maka untuk memahami tema, seperti telah disinggung di atas, pembaca terlebih dahulu harus memehami unsur-unsur signifikan yang menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya.
Tema tidak perlu berwujud moral, atau ajaran moral. Tema biasanya hanya berwujud pengamatan pengarang terhadap kehidupan. Kesimpulannya, bahkan bahan mentah pengamatan saja. Pengarang bisa saja mengungkapkan suatu masalah kehidupan, dan problema tersebut tidak perlu dipecahkan.



b.  Tokoh dan Penokohan (Karakter)
a.Tokoh
Tokoh cerita adalah pelaku dalam sebuah cerita baik fiksi maupun non fiksi yang dapat dibedakan atas beberapa jenis penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan yakni tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian
Tokoh protogonis merupakan tokoh yang mewakili yang baik atau terpuji sehingga biasanya menarik simpati pembaca, sebaliknya tokoh antagonis adalah tokoh yang mengimbangi atau membayang-bayangi bahkan menjadi musuh palaku dan merupakan tokoh yang memiliki sifat yang jahat sehingga dibenci olah pembaca.
Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya dan jati dirinya. Sedengkan tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki sutu kualitas pribadi tertentu.
Tokoh statis memiliki sikap dan watak yang relatif tidak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita berbeda dengan tokoh berkembang, sedangkan tokoh perkembangan adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan  perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa plot dikisahkan.
Tokoh tipikal adalah penggambaran, pencerminan atau penunjukkan terhadap orang, atau kelompok orang yang terikat dalam sebuah lembaga atau seorang individu bagian dari suatu lembaga. Tokoh netral adalah tokoh yang hanya hidup dan berekstensi, dalam cerita itu sendiri.
b.      Penokohan
Penokohan adalah sifat atau ciri khas pelaku yang diceritakan. Masalah penokohan atau perwatakan merupakan salah satu di antara beberapa unsur dalam karya fiksi yang kehadirannya sangat memegang peranan panting, dikatakan demikian karena tidak akan mungkin ada cerita tanpa adanya tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya tokoh yang bergerak dan akhirnya membentuk alur cerita. Menurut Suroto (1989: 22) penokohah adalah bagaimana pengarang menampilkan tokoh-tokoh tersebut ini tampil berarti ada dua hal penting, yang pertama hubungan dengan teknik penyampaian sedangkan yang kedua berhubungan dengan watak kepribadian tokoh yang ditampilkan. Kedua hal tersebut memiliki hubungan yang sangat erat.
Penokohan sebagai salah satu unsur pembangun lainnya. Jika fiksi yang bersangkutan merupakan suatu karya yang berhasil, penokohan pasti terjalin secara harmonis dan saling melengkapi dengan unsur lain.
Penilaian terhadap cerita merupakan ukuran tentang berhasil tidaknya pengarangnya mengisi cerita itu dengan karakter-karakter yang menggambarkan manusia sebenarnya supaya pembaca dapat memahami ide dan emosinya.
Menurut Aminuddin (1991: 80) pembaca dapat menelusuri karakter melalui beberapa hal, antara lain:
1.      Lewat tuturan pengarang terhadap karakteristik pelakunya,
2.      Gambaran yang diberikan pengarang lewat penggambaran lingkungan kehidupan maupun cara berpakaiannya,
3.      Menunjukkan bagaimana pelakunya,
4.      Melihat bagaimana tokoh itu berbicara tentang dirinya sendiri,
5.      Mamahami bagaimana tokoh lain berbicara tentangya,
6.      Melihat bagaimana tokoh lain bebicara tentangnya,
7.      Melihat bagaimana tokoh lain itu memberikan reaksi terhadapnya,
8.      Melihat bagaimana tokoh itu dalam mereaksi tokoh lainnya.
Pelaku yang mengemban peristiwa dalam cerita fiksi sehingga peristiwa iru mampu menjalin suatu cerita disebut dengan tokoh sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut penokohan. Dengan demikian, istilah “penokohan” lebih luas pengartiannya sebab ia sekaligus mencakup masalah setiap tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

c. Karakter
Menurut Suhaeb (1979: 85) Karakter adalah sifat kemauan yang mengikuti seseorang pada beberapa prinsip tertentu yang oleh rasionya dipastikan sebagai yang tidak dapat diubah, baik fisik maupun moral yang membedakanya dengan orang lain secara khas. Selanjutnya, Tarigan (1985: 89) memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan karakter adalah totalitas keadaan dan reaksi jiwa terhadap perangsangnya.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud dengan karakter adalah tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain (Poerwadarminta, 1976: 445).
Watak sering disamakan artinya dengan karakter. Sehubungan dengan hal itu, maka penggambaran tokoh atau watak sang tokoh harus wajar dan masuk akal. Maksudnya bahwa tutur kata, tingkah laku dan perbuatan yang menggambarkan watak sang tokoh harus biasa terjadi kehidupan sehari-hari, sehingga hal tersebut diterima secara wajar.
Dari beberapa batasan pengertian tentang karakter, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa karakter adalah kondisi jiwa manusia yang diakibatkan oleh faktor dari dalam diri manusia maupun dari luar, yang membedakan seseorang dari orang lain secara khas. Baik yang dapat berubah maupun yang tetap demi perkembangan kehidupannya yang ditampakkan dalam tingkah laku.
Dari definisi di atas dapatlah dikatakan bahwa pensifatan sebagai simbol diri seseorang atau tokoh merupakan pembawaan yang melekat pada diri sebagai penggambaran ciri khas dirinya. Sifat seseorang atau tokoh merupakan cermin karakter yang ditunjukkan dan sebagai alat identifikasi yang membedakan dirinya dengan orang lain. Sehingga pensifatan diri seseorang adalah perwujudan nilai, ideologi, cara pandang yang menjadi anutan yang menyertainya.
 d. Plot atau Alur
Plot adalah jalan cerita yang berupa peristiwa-peristiwa yang disusu satu persatu dan saling berkaitan menutut hukum sebab akibat dari awal sampai akhir cerita (Suroto, 1989: 89). Pendapat lain mengatakan bahwa alur atau plot adalah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi atau drama, (Tarigan, 1985: 126).
Kalau diperhatikan dengan teliti sebuah cerita, ternyata ia merupakan rangkaian peristiwa yang disusun sedemikian rupa hingga membentuk satu kesatuan yang utuh, hubungan unsur cerita yang satu dengan peristiwa yang lain.
Ada beberapa alur yang dikenal antara lain: (a) alur maju, (b) alur mundur, (c) alur zikzak, (d) alur naik, (e) alur turun, (f) alur tunggal, (g) alur datar, (h) alur ganda dan (i) alur longgar.
Tahapan plot dibentuk oleh satuan-satuan peristiwa, setiap peristiwa selalu diemban oleh pelaku-pelaku dengan perwatan tentu, selalu memiliki setting tertentu dan selalu menampilkan suasana yang tentu pula.
e.  Latar (setting)
Menurut Tarigan, (1985: 136) latar adalah latar belakang fiksi, unsur tempat dan ruang dalam cerita, sedangkan menurut Aminuddin (1999: 67)  latar atau setting dalam karya fiksi adalah tempat peristiwa dalam karya fisi serta memiliki fungsi fisikal dan fungsi psikologis (Aminuddin, 1999: 67).
Sebuah cerita akan senantiasa berlangsung pada ruang dan waktu tertentu, ruang dapat terwujud tempat tinggal desa, kota atau wilayah yang lebih luas. Waktu dapat tewujud siang, malam, hari, bulan atau tahun. Bahkan waktu dapat menunjukkan lamanya cerita berlangsung, sejam, sehari, sebulan, dan beberapa tahun. Sehubungan dengan hal tersebut, Suroto (1989: 94) mengatakan yang dimaksud dengan latar atau setting adalah penggambaran sutuasi tempat dan waktu serta terjadinya suatu peristiwa.
Latar atau setting dapat memberikan gambaran kapan dan dimana peristiwa itu terjadi, latar dapat diketahui melalui lima unsur, yaitu: (1) lokasi geografis yang aktual yang meliputi tipografi, cadangan (2) pekerjaan dan cara hidup sehari-hari, (3) waktu peristiwa itu berlangsung, (4) lingkungan religius, moral, intelektual dan sosial dan (5) alat yang digunakan sang tokoh.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat disimpulkan bahwa latar atau setting adalah segala keterangan mengenai waktu, tempat-tempat suasana terjadinya peristiwa serta memiliki fisikal dan fungsi psikologis yang dituliskan dalam suatu karya sastra.
f.  Amanah
Sebuah karya sastra tercipta sebagai respon terhadap berbagai problem sosial  yang kemudian diaktualisasikan penulis dalam sebuah karya sastra. Melalui karya sastra tersebut penulis menuangkan pandangan-pandagan atau pesan, baik pesan secara tersirat maupun tersurat yang akan menjadi medan tafsir bagi pembaca. Hal ini, senada dengan pandangan Zaidan, (1994: 27) yang menurutnya bahwa amanah adalah pesan pengarang kepada pembaca, baik tersurat maupun tersirat yang disampaikan melalui karya sastra. Selain itu, menurut Suroto, (1989: 89) Amanah adalah pemecahan persoalan biasanya berisi pandangan pengarang tentang bagaimana sikap kita kalau menghadapai persoalan tersebut.
Pendapat lain mengatakan bahwa amanah adalah keseluruhan makna atau isi suatu wacana konsep dan perasaan yang ingin disampaikan pembicara untuk dimengerti dan diterima pendengar (Kridalaksana, 2001: 11)
Sebuah karya sastra betapa pun susahnya atau rumitnya, senantiasa memuat dua hal yaitu:
1)       Keindahan dan kenikmatan; dan
2)       Ide, gagasan dan ajaran.
Menurut Junaedi, (1992: 98) ada dua jenjang amanah yakni utama, amanah bawahan. Amanah utama adalah amanah dasar cerita. Amanah bawahan adalah amanah tambahan atau amanah sampingan cerita.
g.  Titik Pengisahan (Sudut Pandang)
Titik pengisahan adalah kedudukan atau posisi pengarang dalam cerita tersebut. Apakah ia ikut terlibat langsung dalam cerita itu atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita (Suroto, 1989: 96). Ini dapat dilihat dalam penggunaan kata ganti “aku” dan “dia” di dalam karangan.
Lebih lanjut Suroto (1989: 96) menguraikan penempatan diri pengarang dalam suatu cerita dapat bermacam-macam; (1) pengarang sebagai tokoh utama; (2) pengarang sebagai tokoh bawahan dan (3) pengarang hanya sebagai pengamat yang berada di luar cerita.
Menurut Aminuddin, (1999: 90) titik pandang atau biasa istilahkan dengan point of view (titik kisah) meliputi: (1) narrator omniscent, (2) narrator observer, (3) narrator observer omniscent and (4) narrator the third person omniscent.
Narrator observer omniscent adalah pengisah yang berfungsi sebafai pelaku cerita. Karena pelaku juga dalam pengisah, maka akhirnya pengisah juga merupakan penutur yang serba tahu tentang apa yang ada dalam benak pelaku utama maupun sejumlah pelaku lainnya.
Narrator observer adalah bila pengisah hanya berfungsi sebagai pengamat terhadap permunculan para tokoh serta hanya dalam batas tertentu tentang perilaku batin para pelaku. Dalam narrator omniscient pengarang meskipun hanya menjadi pengamat dari pelaku, dalam hal ini juga menyebut nama pelaku dengan ia, mereka.
Menurut pendapat Junaedi, (1992: 172) jika kita menghayati cerita fiksi dengan saksama akan ditemui cara pengisahan; (1) pengarang berada di luar cerita; (2) pengarang terlibat di dalam pengisahan dan (3) pengarang larut sepenuhnya dalam cerita.
h.  Gaya Bahasa
Istilah Style (gaya bahasa) berasal dari bahasa Latin, Stilus, yang mempunyai arti suatu alat untuk menulis di atas kertas (yang telah dilapisi) lilin.
Poedjosoedarmo membicarakan gaya bahasa sebagai salah satu variasi bahas, yaitu termasuk ragam, ditandai oleh “suasana indah”, dalam artikelnya “Kode dan Alih Kode”
Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan, bahwa analisis gaya basasa sebuah fiksi, terutama menekankan gaya bahasa perbandingan, sebab dalam gaya bahasa itulah tampak dengan jelas faktor intelektialitas, emosionalitas pengarang dalam karyanya.
4.   Aspek Sosial dan politik
            a.  Pengertian Nilai
Sebelum mengurai pengertian sosial dalam kehidupan masyarakat, terlebih dahulu penulis menjelaskan pengertian nilai secara umum. Kehidupan manusia dalam masyarakat baik sebagai pribadi maupun sebagai mahluk sosial, senantiasa berhubungan dengan nilai-nilai, norma, dan moral. Oleh karena itu, setiap aktivitas dalam hubungannya dengan masyarakat terikat oleh nilai.
Nilai adalah suatu yang berharga, yang berguna, yang indah, yang memperkaya batin, yang  menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya. Sesuatu dikatakan mempunyai nilai apabila ada sifat atau kualitas yang melekat pada sesuatu atau objek itu. Sifat atau kualitas dapat berupa: berguna, berharga, (nilai kebenaran), indah (nilai estetika), baik (nilai moral atau etika), religius (nilai agama). Jadi nilai adalah kualitas dadripada sesuatu atau kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu benda untuk memuaskan dan mengatur aktivitas manusia.
b.  Pengertian Nilai Sosial
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menganggap menolong memiliki nilai baik, sedangkan mencuri bernilai buruk.
Menurut Woods (http: //www. Pengertian-nilai-sosial-Ip, Diakses 10 Juni 2009) bahwa nilai sosial adalah petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan asumsi di atas, maka nilai sosial merupakan acuan dalam kehidupan masyarakat untuk menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas untuk dilakukan masyarakat. Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai sosial diluar dari nilai agama dapat dijadikan sebagai acuan untuk melakukan kontrol sosial atas segala aktivitas yang dilakukan manusia dalam suatu komunitas masyarakat. Setiap komunitas masyarakat tentu memiliki nila sosial yang berbeda dalam memandang suatu pokok permasalahan, hal ini dipengaruhi oleh culture atau budaya yang dianut masyarakat. Contoh, masyarakat yang tinggal di perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan muncul pembaharuan-pembaharuan, sementara pada masyarakat tradisional atau pedesaan lebih cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu harmonisasi kehidupan dan tradisi yang sudah terkonstruk secara turun-temurun.
Uraian di atas menegaskan bahwa kehadiran karya sastra dalam hal ini novel tentunya lahir dari kondisi sosial yang tidak fakum, membawa pesan sosial atau nilai sosial yang mewakili komunitas masyarakat untuk disampaikan secara universal kepada masyarakat umum sebagai media informasi dan educatip.
c.       Fungsi Nilai Sosial
Kehidupan manusia sebagai mahluk sosial yang tidak bisah hidup tampa bantuan orang lain perlu dibimbimbing dengan sebuah aturan yang sifatnya mengikat untuk mengarahkan individu menjadi manusia bermartabat. Aturan yang dimaksud di sini bukanlah aturan formal yang tersusun dalam draf perundang-undangan, melainkan sebuah atuaran yang hanya menjadi acuan suatu masyarakat tertentu dalam sebuah komunitas yang tentunya berbeda dengan kemunitas masyarakat lainnya. Secara sederhana aturan atau nilai sosial  tersebut menjadi acuan untuk membedakan baik dan buruk, benar dan salah pantas dan tidak pantas yang merupakan produk dari masyarakat.
Menuru Suparto (http: //www. Fungsi-nilai-sosail-Ip, Diakses 10 Juni 2009) bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam masyarakat. Di antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain itu, nilai sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi peran-peran sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan harapan sesuai dengan perannya. Olek karena itu, secara garisbesar nilai sosial mempunyai fungsi antara lain:
a.       Sebagai petunjuk arah kehidupan.
b.      Sebagai kontrol sosial.
c.       Sebagai motivasi.     
Sebagai petunjuk arah kehidupan, nilai sosial dapat mempengaruhi karakter berpikir dan bertindak anggota masyarakat umumnya. Sebagai kontor sosial nilai sosial mampuh mengarahkan individu untuk melakukan aktivitas-aktivitas yang bermamfaat dan tidak melakukan anarkisme sosial yang dapat menimbulkan kerusuhan. Nilai sosial sebagai motivasi dan sekaligus menuntun manusia untuk berbuat baik, berdasarkan karena asumsi bahwa nilai sosial yang luhur dapat meningkatkan drajat dimata masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, relevansinya dengan karya sastra adalah kehadiran karya sastra dapat menjadi salah satu acuan untuk mendapatkan informasi pengetahuan yang dapat memberikan motivasi untuk melakukan aktivitas yang lebih baik. Dalam karya sastra nilai sosial tersebut dapat dilihat secara intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik misalnya, penggambaran karakter tokoh yang baik, selalu menolong, dermawan dan lain-lain, sedangkan pada aspek ekstrinsik dapat diterangkan nilai sosial politik yang terdapat dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer tentang etika politik yang baik.
d.      Pengertian Politik
Secara etimologis, politik bersal dari bahasa Yunani yaitu polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politea yang berarti semua yang berhubungan dengan negara. Ditinjau dari presfektif sejarah Aristoteles dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon politikon dengan istilah ini ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti akan melibatkan hubungan politik.
Menurut Mitchel (www.lintasberita.com/politik/pengertian-politik, Diakses, 10 Juni 2009) politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau pembuatan kebijakan umum untuk seluruh masyarakat. Sedangkan menurut Duetch (www.lintasberita.com/politik/pengertian-politik, Diakses 10 Juni 2009) bahwa politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum. Berbeda dengan ke dua tokoh di atas, Budiarjo (dalam Philipus, 2008: 90) mendefinisikan politik sebagai berbagai macam kegiatan yang terjadi di suatu negara, yang menyangkut proses menentukan tujuan dan berbagai cara mencapai tujuan itu. Ramlan (dalam Philipus, 2008: 92) mengemukakan bahwa sekurang-kurangnya ada lima pandangan tentang politik. Pertama, politik adalah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan kebaikan bersama. Kedua, politik ialah segala yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintah. Ketiga, politik ialah segala kegiatan yang diarahkan untuk mencapai dan  mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima, politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan  atau mempertanyakan sumber-sumber yang dianggap penting.
Sesuai dengan definisi politik yang dikemukakan Aristoteles dalam memandang masyarakat sebagai zoom politikon, maka jelas bahwa seluru aktivitas masyarakat tidak bisa terlepas dari wilaya politik. Politik yang dimaksud tidak hanya dalam bentuk struktur kenegaraan tetapi politik yang dimaksud adalah kebijakan yang mempengaruhi dan mengatur seluruh aktivitas masyarakat baik dari aspek pendidikan, ekonomi, hukum, budaya, dan lain-lain.
Menurut Toer (dalam Boef, 2008: 142) bahwa semua politik adalah panglima. Kita adalah warga negara, hal itu merupakan politik, kita membayar pajak, hal itu juga merupakan politik. Uraian tersebut mempertegas pandangan politiknya bahwa kehidupan manusia dalam lingkup masyarakat tidak bisah terlepas dari kehidupa politik. Oleh karena itu, hampir seluruh karyanya berbau politik yang sifatnya humanis dan sangat edukatif dalam memandang dinamika politik di Indonesia serta hubungannya dengan fungsi karya sastra.
e.       Bentuk Nilai Sosial Politik
Sosial politik adalah kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berhubungan langsung dan mempengaruhi kehidupan masyarakat. Berdasarkan objek penelitian yaitu Analisis Nilai Sosial Politik dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer secara garis besar lebih spesifek mengarah ke politik pendidikan, nasionalisme, dan politik ekonomi.
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa dalam suatu komunitas individu atau masyarakat diperlukan sebuah nilai untuk mengikat masyarakat. Aristoteles dalam teori politiknya mengatakan bahwa masyarakat sebagai zoom politikom. Maka, tidak bisa dipungkiri kalau seluruh aktivitas masyarakat terikat oleh sesuatu yang lebih besar yang sangat mempengaruhi struktur atau bangunan masyarakat yaitu politik. Namun, idealnya aktivitas politik tersebut tetap bersandar dan terikat oleh nilai-nilai moral yang berdasarkan pada nilai pancasila dan konstitusi negara.
Masyarakat dan politik merupakan dua dimensi yang tidak bisah terpisahkan dan saling mempengaruhi. Dalam hubungannya dengan masyarakat, Cipto (1999: 84) membagi masyarakat menjadi dua yaitu masyarakat sipil dan masyarakat politik. Eksistensi masyarakat sipil bergantun pada masyarakat politik sebagai perumus kebijakan, begitupun sebaliknya. Kekuatan masyarakat politik yang tidak terkontrol dan tidak bertanggungjawab kepada masyarakat sipil akan melahirkan ketimpangan sosial. Oleh karena itu, diperlukan kontrol  antar lembaga yang terbentuk dalam masyarakat sipil  sehingga penyimpangan tidak tumbuh subur menjadi kekuatan yang tidak terkendali. Bentuk kontrol ini sering disebut horizontal acountability. Selain kontrol masyarakat sipil, juga diperlukan kesadaran individu dalam mengawal kebijakan. Kesadaran individu yang  dimaksud adalah kemampuan seorang pelaku politik menyandarkan aktivitas politik berdasarkan pada politik nilai, bukan politik pragmatis dan politik kapitalistik.
Uraian di atas mengatarkan kita pada satu titik kesimpulan bahwa nilai sosial politik adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (masyarakat politik) yang berhubungan langsung dan mempengaruhi kehidupan masyarakat idealnya bersandarkan pada nilai-nilai moral yang baik atau politik nilai bukan politik kepentingan, pragmatis, dan politik kapitalistik (money poltic). Berdasarkan objek penelitian yaitu analisi nilai sosial politik dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer secara garis besar lebih spesipik mengarah kepada politik pendidikan, nasionalisme, dan ekonomi politik, dengan menggunakan pendekatan teori poskolonialisme.
a.  Politik Pendidikan
Pendidikan adalah dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negeri, baik negara maju maupun negara berkembang. Pada hakikatnya, kedua elemen tersebut sering dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah dan tidak memiliki hubungan apa-apa. Namun ketika ketika dikaji secara mendalam beradasarkan realitas sosial yang trejadi, maka kita bisah menarik benang merah bahwa kedua elemen tersebut bahu-membahu dalam proses pembentuk karakteristik masyarakat di suatu negara. Lebih dari itu, keduanya saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga dan proses penjadian berperan penting dalam membenntuk perilaku politik di negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di suatu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan di negara tersebut. Menurut Sirozi, (2005: 1) bahwa ada hubungan erat dan dinamis antara pendidikan dan politik di setiap negara. Hubungan tersebut adalah realita empirik yang telah terjadi sejak awal-awal perkembangan pradaban manusia dan menjadi perhatian para ilmuan. Pandangan tersebut, mempertegas bahwa politik dan pendidikan merupakan dua elemen yang saling mempengaruhi dan bahu-membahu dalam membentuk karakter atau pola pikir dan sikap masyarakat.
Albernethy dan Coombe (dalam Sorozi, 2005: 7) mengemukakan bahwa hubungan timbal balik antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (unemployment), dan peranan politik kaum cendekia (the political rule of intelegensia). Menurut mereka kesempatan dan prestasi pendidikan pada suatu kelompok masyarakat dapat mempengaruhi akses kelompok tersebut dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Selain itu, Buchuri (dalam Sirozi, 2005: 29) mengemukakan bahwa politik adalah cara untuk mengelolah lingkungan yang luas, bukan hanya perebutan kekuasaan. Maka, adalah tugas sekolah untuk membantu para pelajar untuk dapat membedakan antara politik baik dan politik buruk.
Pendidikan merupakan sentrum utama untuk merubah pola pikir dan pola sikap masyarakat, sehingga tidak salah kalau elit-elit politik atau partai-partai politik menjadikan pendidikan sebagai program utama dalam kampanye-kampaye politik. Tujuannya adalah selain untuk memperoleh suarah maksimal dalam pemilu juga untuk melestarikan dominasi politik penguasa. Sebagaimana yang di kemukakan oleh Tilaar, (2008: 5) bahwa partai-partai politik menjadikan pendidikan sebagai program yang utama atau sebagai iming-iming utama untuk membujuk rakyat dalam pemilihan umum atau sebagai sarana untuk melestarikan kekuasaan atau jabatan.
Salah satu tolak ukur keberhasilan pemerintah baik pusat maupun daerah  adalah kemajuan dan peningkatan mutu pendidikan, yang tentunya ditopan oleh sistem pendidikan yang baik. Dalam konteks Indonesia kebijakan pemerintah mengenai anggaran pendidikan telah disepakati sebagaimana yang tertuan dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa sekurang kurangnyan 20% dari APBN/APBD di peruntukan bagi pengembangan pendidikan nasional. Pada aspek penyelenggaraan pendidikan perubahan kurikulum dalam setiap priode pergantian kepemimpinan dan penjelasan pasal 20 serta penyelenggaraan pendidikan gratis, merupakan penomena yang dapat mengantarkan kita pada satu titik kesimpulan bahwa pendidikan merupakan problem yang sangat penting dalam sebuah negara sehingga diperlukan sebuah aturan konstitusi sebagai patron atau acuan dalam proses penyelenggaraannya. Selain itu, antara pendidikan dan politik merupakan dua elemen yang tidak bisah di pisahkan hal ini dapat di buktikan dengan hadirnya berbagai kebijakan yang disatu sisis untuk memajukan pendidikan, namun disisi lain merupakan strategi untuk mempertahankan dominasi politik penguasa.
b.  Nasionalisme
Nasionalisme adalah salah satu paham yang berpendapat bahwa kesetiaan tertinggai individu harus di serahkan kepada negara kebangsaan. Selalin itu, paham nasionalisme berpendapat bahwa negara kebangsaan adalah sumber daripada semua tonggak kebudayaan kreatif  dan kesejahteraan ekonomi. Menurut Milito (dalam Kohn, 1984: 22) nasionalisme adalah pengakuan kemerdekaan perseorangan dari kekuasaan; peryataan diri dari peribadi terhadap pemerintahnya dan gerejanya, pembebasan manusia dari penindasan perbudakan dan takhyul. Pandangan tersebut bahwa paham nasionalisme tidak hanya terbatas pada persamaan drajat dan penyerahan diri, individu untuk memperjuangkan serta mempertahankan kemerdekaan suatu bangsa. Tapi nasionalisme dalam definisi luas merupakan wujud pengakuan kemerdekaan seseorang dari intimidasi, diskriminasi, dan kebebasan dari penguasa dalam suatu negara kebangsaan. Sedangkan menurut Smith (dalam Wildan, 2003: 5) memberikan definisi kerja nasionalisme sebagai suatu pergerakan ideologi untuk mencapai dan memelihara otonomi, kesatuan, dan identitas untuk suatu populasi yang sebahagian anggotanya mempertimbangkan untuk membuat satu "bangsa" yang nyata. Menurut Smith, perkara-perkara itulah yang menjadi doktrin nasionalisme.
Sejalan dengan doktrin dari Smith di atas, Kartodirdjo (dalam Wildan, 2003: 8) mengemukakan lima prinsip nasionalisme, yaitu kesatuan (unity) dalam wilayah tanah air, bangsa, bahasa, ideologi dan doktrin kenegaraan, sistem politik atau pemerintahan, sistem perekonomian, sistem pertahanan-keamanan, dan polise kebudayaan; kebebasan (liberty, freedom, independence) dalam beragama, berbicara dan berpendapat secara lisan dan bertulis, berkelompok dan berorganisasi; kesamaan (equality) dalam kedudukan hukum, hak dan kewajiban, serta kesamaan kesempatan (oportunity); keperibadian (personality) dan identitas (identity): memiliki harga diri (self esteem), rasa bangga (pride) dan rasa sayang (devotion) terhadap keperibadian dan identitas bangsanya yang tumbuh dan sesuai dengan sejarah dan kebudayaannya; dan prestasi (achievement, performance): cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare) serta kebesaran dan kemuliaan (the greatness and the glorification) terhadap bangsa.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa nasionalisme sebenarnya mengandung misi atau tujuan. Ia merupakan pandangan, perasaan, wawasan, sikap, sekaligus perilaku suatu bangsa yang terjalin karena persamaan sejarah, nasib dan tanggung jawab untuk hidup bersama-sama secara merdeka dan mandiri. Artinya, nasionalisme mengandung tujuan perjuangan suatu bangsa dan negara. Misi perjuangan yang terkandung dalam nasionalisme seseorang, bangsa atau negara berbeda atau sama dengan orang, bangsa atau negara lain. Para pejuang kemerdekaan Indonesia Raya seperti Soekarno dan Wahid Hasjim mengambil paham ini sebagai motivator perjuangan. Misi nasionalisme Soekarno berasaskan konsep nasakom, yang berbeda dengan nasionalisme Wahid Hasjim yang lebih berorientasi kepada agama. Organisasi pegerakan seperti Jong Java dan Jong Sumatranen Bond melihat bangsa berdasarkan kesamaan etnik, kesatuan budaya, dan kesamaan masa lalu sebagai asas nasionalisme mereka. Misi nasionalisme bangsa Indonesia secara umum dimaksudkan untuk menegakkan ideologi Pancasila dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nasionalisme barat modern secara historis pada abad ke-18 yang lalu, abad terang, merupakan suatu gerakan politik untuk membatasi kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak warganegara. Hal ini   sejalan dengan pandangan Kohn (1984:  39) yang  menyatakan bahwa nasionalisme mula-mula merupakan suatu gerakan kebudayaan, impian, dan harapan para serjana dan penyair. Di Indonesia kehadiran paham nasionalisme pada awal abad ke-19 merupakan respon cendekiawan (terpelajar) atas penjajahan kolonial Belanda dan kanter atas strategi politik kolonial yang di kenal dengan istilah devide et impera atau politik adudomba terhadap sesama masyarakat pribumi. Oleh karena itu, nasionalisme pada saat itu merupakan suatu  gerakan politik untuk membangkitkan kesadaran masyarakat pribumi yang masih menganut paham feodalisme. Pemberlakuan politik etis pada awal abad ke-19 yang memberikan kesempatan bagi pribumi untuk mendapatkan pendidikan barat menyebabkan paham nasionalisme dan patriotisme lebih cepat mengimpiltrasi ke tubuh pelajar pribumi yang selanjutnya mengilhami dan menjiwai lahirnya berbagai pergerakan di Indonesia diantaranya Syarekat Prijaji, Boedi Oetomo, Syarikat Dagang Islamiyah, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Selebes dan lain-lain yang kemudian melahirkan sumpa pemuda yang tujuannya adalah untuk mempertegas sikap nasionalisme Indonesia.
e.  Ekonomi Politik
Menurut ensiklopedi ekonomi islam, (dalam Sholahuddin, 2009: 50) secara terminologis politik ekoknomi adalah tujuan yang akan dicapai oleh kaidah-kaidah hukum yang  dipakai untuk  berlakunya suatu mekanisme pengaturan kehidupan masyarakat. Sedangkan menurut Staniland (dalam Philipus, 2006: 142) mengemukakan bahwa ekonomi politik menjelaskan interaksi sistematis antara aspek ekonomi dan aspek politik. Hubungan interaksi itu bisa dinyatakan dalam banyak cara baik itu dalam hubungan kausalitas antara satu proses dengan proses yang lain yang bersifat deterministik, atau hubungan yang bersifat timbal balik (resipositas) atau suatu proses prilaku yang berlangsung terus-menerus.
Sejarah pemikiran ekonomi sesungguhnya sudah ada sejak zaman Yunani Kuno ketika Aristoteles menerbitkan buku polite dalam politea Ia menjelaskan oikonomika yaitu studi tentang cara-cara mmengatur rummah tangga dan menguraikan tentang peraturan-peraturan tentang pertukaran. Keduanya menjadi dasar dari teori ekonomi modern, yaang oleh Aristoteles dianggap sebagai ilmu politik. Pemikiran ekonomi politik dalam bentuknya yang utuh baru sejak zaman pertengahan. Philipus, (2006: 146-147) membagi zaman ekonomi politik menjadi empat bagian yaitu zaman praklasisk (abad XVII-XVIII) menurutnya pada zaman ini pemikiran ekonomi politik didominasi aliran merkantilis. Merkantilis menganjurkan pertumbuhan penduduk yang tinggi agar memperoleh SDM yang melimpah sehingga lebih produktif. Dalam kenyataan aliran ini memnyebabkan semakin kuatnya pendudukan kaum kapitalis, bahkan mereka mampuh mempengaruhi semua kebijkan pemerintah termasuk dalam kepentingan nasional. Zaman klasik (akhir abad XVIII-XIX) menurut aliran ini, individu dan dunia usaha harus diberikan kkebebasan untuk mengurus kepentingan mereka sendiri untuk memperbaiki kedudukannya dibidang ekonomi. Zaman neoklasik (pertengahan abad XIX abad XX). Zaman keynesian (pertengahan abad XX sampai sekarang) berebeda dengan pemikiran sebelumnya, mazhab ini justru menganjurkan keterlibatan pemerintah dalam ekonomi dunia menstabilkan prekonomian nasional.
Sejak zaman Yunani kuno, hingga zaman praklasik menuju moderen para tokoh-tokoh intelektual telah menggunakan istilah ekonomi politik untuk melahirkan teori baru dalam bidang ekonomi serta hubungannya dengan kebijakan pemerintah sebagai elit politik. Dalam sejarah perkembangannya, pemikiran politik setiap zaman memiliki teori dan rumusan sendiri untuk membantu pemerintah dalam merumuskan baik dari aspek keuangan, ekonomi mikro, dan ekonomi makro. Oleh karena itu, seluruh kebijakan tersebut yang berhubungan dengan masyarakat luas disebut sebagai ekonomi politik.
Setiap perubahan dalam sistem ekonomi berhubungan denga teori yang digagas oleh para tokoh (akademisi) dengan perubahan zaman. Pada awal tahun 70 an Amerika sebagai negara adidaya menggunakan sistem ekonomi liberal, namun keris ekonomi yang melanda Amerika dan dunia pada awal tahun 80 an menyebabkan para ekonom Amerika meninggalkan sistem liberal dan menggunakan sistem ekonomi (teori ekonomi) keynesian sampai pada tahun 1998 kerisis ekonomi kembali melanda dunia sehingga para okonom liberal berasumsi bahwa teoro ekonomi keynesian gagal, kegagalan tersebut menyebabkan terjadinya perubahan strategi ekonomi Amerika dari Keynesian kembali ke konsep ekonomi leberal yang dikenal sekarang dengan istilah Neoliberalisme. Hal ini menunjukkan bahwa betapa kuatnya para tokoh ekonomi mempengaruhi kebijakan bahkan merumuskan kebijakan ekonomi nasional.


B.     Kerangka Pikir
Dengan memperhatikan uraian pada tinjauan pustaka, maka pada bagian ini akan diuraikan beberapa hal yang dijadikan penulis sebagai landasan berpikir. Selanjutnya, landasan berpikir yang dimaksud tersebut akan mengarahkan penulis untuk menemukan data dan informasi dalam penelitian ini guna memecahkan masalah yang telah dipaparkan untuk itu akan menguraikan secara rinci landasan berpikir yang dijadikan pegangan dalam penelitian ini:
1.       Karya prosa adalah karangan yang bersifat menerangkan secara terurai mengenai sesuatu masalah atau hal peristiwa dan lain-lain. Dengan demikian, karangan bentuk ini jelas tidak bisa disingkat dan pendek karena harus menerangkan secara panjang lebar dan sejelas-jelasnya akan sesuatu. Itulah sebabnya ketetapan dan kejelasan kalimat menjadi sangat penting.
2.       Karya sastra bentuk prosa pada dasarnya dibangun oleh unsur instinsik; yaitu tema, amanah, plot, perwatakan atau penokohan, latar, dan karakter, titik pengisahan serta gaya bahasa. Selah satu bagian unsur instrinsik adalah karakter perwatakan yang mempunyai peranan sangat penting, karena tanpa karakter perwatakan suatu cerita tidak akan tercipta.




















Bagan Kerangka Pikir


Karya Sastra
 
Novel  
 
                         













 




Unsur Intrinsik

 
Unsur Ekstrinsik

 






Nilai Sosial Politik
 


Nasionalisme
 


Analisis
 
                       


 




BAB III
METODE PENELITIAN

A.    Variabel dan Desain Penelitian
  1. Variabel Penelitian
Sebelum diuraikan mengenai variabel yang digunakan dalam penelitian, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian variabel dalam suatu penelitian. Variabel tidak pernah lepas dari suatu penelitian, dan boleh dikatakan bahwa variabel merupakan syarat mutlak dalam suatu penelitian.
Arikunto (1992: 89) mendefinisikan variabel adalah sebagai karakteristik tertentu yang mempunyai nilai atau ukuran yang berbeda untuk unit obsetvasi atau individu yang berbeda. Variabel adalah objek penelitian, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitas. Variabel dapat dibedakan atas dua jenis, yaitu variabel kuantitatif dan kualitatif. Variabel kuantitatif misalnya luasnya kota, umur, banyaknya dan jam dalam sehari dan sebagainya. Contohnya variabel kualitatif adalah kemakmuran, kepandaian dan lain-lain.
Setelah memperhatikan uraian di atas, maka dapatlah ditentukan variabel sebuah penelitian yang digunakan untuk direncanakan, sehingga dengan itu pula maka jelaslah penelitian ini merupakan penelitian yang harus dibatasi variabelnya, agar data yang dikumpulkan dapat mengarah pada tujuan pengungkapan nilai-nilai sosial politik dalam novel tersebut. Subvariabel adalah tuturan, gambaran, perilaku, bahasa, jalan pikiran, dan reaksi politik.
  1. Desain Penelitian
Desain penelitian pada hakekatnya merupakan strategi yang mengatur ruang atau teknis penelitian agar memperoleh data maupun kesimpulan penelitian. Menurut jenisnya, penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Oleh karena itu, dalam penyusunan desain harus dirancang berdasarkan pada prinsip metode deskriptif kualitatif, yang mengumpulkan, mengolah, mereduksi, menganalisis dan menyajikan data secara objekti atau sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan untuk memperoleh data. Untuk itu, peneliti dalam menjaring data mendeskripsikan nilai-nilai sosial politik yang terdapat dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer sebagaimana adanya.


B.     Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional pada hakikatnya merupakan pendefinisian variabel dalam bentuk yang dapat diukur, agar lebih lugas dan tidak menimbulkan bias atau membingungkan. Penelitian bebas merumuskan, menentukan definisi operasional sesuai dengan tujuan penelitinya, dan tatanan teoritik dari variabel yang ditelitinya (Adi, 1993: 17).
Aspek sosial politik pada novel Jejak Langkah adalah salah satu unsur penentu terciptanya suatu cerita dalam novel tersebut. Nilai-nilai sosial politik ini mencerminkan watak, sifat, pribadi dan tingkah laku dalam politik sebagai pengemban amanah yang dipaparkan lewat peran yang dimainkan. Oleh karena itu, aspek sosial politik diperankan diibaratkan sebagai “juru kunci” amanah pengarang.
Untuk memeperoleh pemaknaan yang sama terhadap variable yang digunakan dalam penelitian ini, penulis merasa perlu mengemukakan defenisi berikut ini
1.                Analisis
Analisis adalah pegamatan yang dilakukan untuk memperoleh  data yang lebih akurat terhadap satu pokok permasalahan misalnya problem agama, politik, budaya, pendidikan dan lain-lain.
2.                Politik
Secara klasik Politik didefinisikan sebagai suatu takti atau strategi untuk melakukan suatu hal dalam rangka mejatuhkan lawan untuk memperoleh kemenangan, kedudukan, dan jabatan. Namun, dalam arti luas politik dapat diasumsikan bahwa segala kebijakan yang dikeluarkan oleh elit politik yang berhubungan langsung dengan kepentingan masyarakat baik dengan tujuan untuk meraih kekuasaan maupun sebagai bentuk mempertahankan eksistensi hegemoni atau dominasi kekuasaan. Misalnya, kebijakan dalam dunia pendidikan, ekonomi, pertanian, pangan, dan lain-lain.



3.        Nilai
Nilai adalah sesuatu yang berharga, yang berguna, yang indah, yang dapat memperkaya batin, yang dapat menyadarkan manusia akan harkat dan martabatnya.
4.         Nilai Sosial
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat, yang kemudian menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat.

C.    Data dan Sumber Data
  1. Data
Data dalam penelitian ini adalah keterangan yang dijadikan objek kajian, yakni setiap kata, kalimat ungkapan yang mendukung aspek poilitik atau strategi dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer. Studi pustaka mencoba sejumlah buku dan tulisan yang relevan atau objek kajian.
  1. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah novel berjudul Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer yang berjumlah 721 halaman diterbitkan oleh Lentera Dipantara pada tahun 2007 di Jakarta Timur.



D.    Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data yaitu teknik dokumentasi dengan jalan mengumpulkan data melalui sumber tertulis.
Dengan cara penelitian pustaka yaitu:
1.      Membaca berulang-ulang novel Jeak Langkah  karya Pramoedya Ananta Toer
2.      Mencatat data yang termasuk nilai sosial politik yang terdapat di dalam novel Jeak Langkah, misalnya karakter dari watak, sifat, tingkah laku dan lain-lain serta berapa banyak dalam kartu pencatatan data.
3.      Mengklasifikasi data yang termasuk sosial politik misalnya aspek pendidikan dari watak, sifat, tingkah laku dan lain-lain serta berapa banyak dalam kartu pencatatan data.

E.     Teknik Analisis Data
Berdasarkan teknik pengumpulan data yang dipergunakan, maka unsur nilai sosial politik yang dapat dicocokkan dengan sosial politik yang dimaksud, kemudian diseleksi kutipan atau data yang mana lebih spesifik itulah yang akan diambil. Selanjutnya, menentukan watak, sifat, nilai sosial politik  sesuai dengan bukti atau penunjuk yang telah dipilih.
Sebagai hasil akhir, memaparkan watak, sifat, sosial politik dengan senantiasa mengutip bagian cerita yang menunjukkan kebenaran analisis yang dimaksud, selanjutnya dideskripsikan bedasarkan fenomena sosial yang dijadikan acuan penelitian meliputi:
1. Menelaah/menganalisis seluruh data yang telah diperoleh berupa  nilai-nilai sosial politik dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer
2. Mendeskripsi unsur yang membangun karya sastra khususnya  menyangkut nilai-nilai sosial politik dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer.
3.  Mendeskripsikan nilai-nilai sosial politik yang terdapat pada novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer.






















BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN


Bab ini menguraikan secara merenik hasil penelitian dari Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer  dengan menggunakan pendekatan poskolonialisme. Poskolonialisme, berasal dari kata post dan kolonialisme yang secarah harfiah dimaknai sebagai paham mengenai teori yang lahir sesudah zaman kolonial. Sesuai dengan uraian di atas, maka yang dimaksud dengan teori poskolonial adalah cara-cara yang diguakan untuk menggali berbagai gejalah kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya yang terjadi di negara-negara bekas kolonial Eropa modern. Menurut Ascoroft, dkk. (dalam Ratna, 2008: 90) bahwa objek penelitian poskolonialisme mencangkup aspek-aspek kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal terjadinya kolonialisme hingga sekarang, termasuk berbagai efek yang ditimbulkannya. Hal yang sama di kemukakan oleh Wali, dalam (Ratna, 2008: 90) mendefenisikan objek poskolonialisme sebagai segala tulisan yang berkaitan dengan  pengalaman kolonial.
Hal yang paling esensial dalam teori poskolonial adalah kenyataan bahwa secara defenitif teori poskolonial dimamfaatkan untuk menganalisis khasanah kultural yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di negara-negara pascakolonial, lebih khusus lagi adalah negara-negara bekas  koloni Eropa modern dalam hungannya dengan kolonialisme Indonesia jelas menyediakan berbagai naska yang dapat di analisis melalui teori posklonialisme, baik naskah dalam bentuk ilmu pengetahuan, seperti sejarah, antropologi, sosiologi, hukum, dan geografi, maupun dalam bentuk karya sastra. Dalam hubungannya dengan karya sastra, Ratna (2008: 108) berpendapat bahwa paling sedikit terdapat lima alasan mengapa karya sastra dianggap tepat dianalisis melalui teori-teori poskolonial.
1.      Sebagai gejala cultural sastra menampilkan sistem komunikasi yang sangat kompleks yang secara garis terjadi melalui triadik pengarang, karya sastra, dan pembaca. Kemunikasi ini sekaligus merupakan mediator antara masa lampau dengan masa sekarang.
2.      Karya satra menampilkan berbagai problematika kehidupan, emosionalitas, dan intelektualitas, fiksi dan fakta, karya sastra adalah masyarakat itu sendiri.
3.      Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan waktu, konteporalitas adalah manifestasinya yang paling signifikan.
4.      Karya sastra adalah bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri adalah satu-satunya cara mentrasmisikan ideologi, yaitu ideologi kolonial.
5.      Berbagai masalah yang di maksud dilukiskan secara simbolis, terselubung, sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak tampak. Disinilah ideologi oriental di tanam, di sini pulalah analisis memegan peranan.
Uraian di atas menegaskan relepansi teori poskolonialisme dengan karya sastra dalam rangka mengurai makna-makna di balik teks yang di gagas penulis. Dalam hubungannya dengan objek penelitian, maka pendekatan teori poskolonialisme yang paling layak untuk mengurai makna terhadap karya-karya Pramoedya dengan pertimbangan bahwa sebagian besar di antaranya menampilkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kolnialisme, nasionalisme dan berbagai konflik yang di timbulkannya.

A. Penyajian Hasil Analisis
Untuk memperjelas esensi dari penelitian ini, maka nilai sosial politik yang penulis maksud adalah kebijakan-kebijakan yang di keluarkan oleh elit politik atau penguasa (pemerintah) baik dari aspek pendidikan, ekonomi, maupun aspek-aspek lain dalam kehidupan masyarakat yang langsung mempengaruhi sendi-sendi kehidupan sosial masayarakat. Oleh karena itu, berdasarkan analisis dalam novel Jejak Langkah karaya Pramoedya Ananta Toer, terdapat nilai sosial politik yang dapat dideskripsikan sebagai berikut:
a. Politik Pendidikan
Novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer, dari sisi pendidikan mengurai berbagai masalah dalam dunia pendidikan pada masa kolonial. Kemelaratan dan pembodohan yang tersusun secara sistematis berdasarkan kerangka kebijakan Gubermen Jenderal Hindia yang tidak mengingingkan masyarakat pribumi menjadi masyarakat terdidik dan memamahami posisinya sebagai bangsa terjajah, lebih mengutamakan ekspolitasi dan inpansi ekonomi. Namun, kebijakan tersebut menjadi sorotan dunia internasional dan melahirkan perdebatan alot dalam parlemen Belanda antara kubuh konserpatif sebagai otoritas penguasa di Hindia dengan kaum liberal. Keinginan kaum konserpatif untuk tidak memberlakukan politik etis, di tetang keras oleh kaum liberal yang justru mengiginkan perubahan kebijakan untuk negara jajahan. Pertarungan antara kaum liberal dan konserpatif tidak hanya berlangsung di parlemen yang merambat langsung ke tingkatan elit dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di lingkungan masyarakat pribumi dan nonpribumi yang memiliki perhatian atas nasip pribumi. Hal ini dapat di lihat dalam kutipan sebagai berikut:
Di kamar bola ini, ” ia sengaja memberikan ceramah,” pernah di cetuskan gerakan pertama Golongan Liberal, Tuan Domine Baron Van Huevell angkat bicara, menuntut di adakan sekolah-sekolah menegah di Hindia. Setengah abad yang lalu! Bukan main lamanya waktu beredar. Gubermen Jendral sendiri yang memerintahkan penangkapan atasnya. Kamar bola ini di kepung sepasukan serdadu, termasuk moncong-moncong meriam di tujukan ke sini – hanya karena ada yang menghendaki sekolah menengah. Van Huevell di tangkap, di sekap dalam istana yang Tuan lewati tadi kemudian di angkat langsung ke kapal, tak boleh lagi menginjakkan kaki di bumi Hindia, kembali ke Nederlan”(Ananta Toer, 2007: 30-31)

Maksud kutipan di atas adalah keprihatinan kaum liberal atas nasib pribumi dan keinginan untuk mengambil alih pemerintahan dari tangan kaum konserpatif mengharuskan tokoh-tokoh golongan Liberal turung langsung melakukan propaganda di tengah elit-elit yang berpengaruh di tengah masyarakat baik pengusaha, pemuda, maupun elit politik untuk bersama-sama mengagas dan menuntut kepada pemerintah agar di adakan sekolah-sekolah menengah sebagai bentuk balas budi pemerintah atas kebijakan sistem rodi atau tanam paksa. Namun, aktifitas propaganda yang dilakukan golongan Liberal di tanggapi represif  golongan konserpatif dengan cara menangkap aktor-aktor golongan liberal dan mengembalikan mereka ke negeri Belanda.
Kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi golongan pribumi di jadikan alat propaganda dan kampanye politik bagi golongan liberal yang tergabung dalam partai Vrijzinning Demokratsche Partj untuk mengambil alih pemerintahan di Hindia, dalam sebuah kampanye dialogis di Hindia tokoh liberal Ir. H. Van Kollewij yang di gambarkan dalam novel ini sebagai berikut:
”Ikatan atara Nederlan dan Hindia semakin hari semakin erat. Persyaratan moderen semakin mendekatkan dua negeri yang berjauhan ini. Persyaratan kerja pun semakin baik, semakin tinggi. Juga di Hindia satu kondisi baru dituntut pada kita untuk menyiapkan kaum terpelajar pribumi memasuki jaman baru ini. Kalau tidak, sehebat-hebatnya mesin dan pabrik baru yang di datangkan kemari, tiada akan berguna kalau pribumi tak dapat menggunakannya.” (Ananta Toer, 2007: 39)

Kemudian dalam kutipan yang lain:
”..........lihat Tuan-tuan, sampai sekarang masinis-masinis keretapi masih juga orang Eropa, belum ada seorang pun pribumi, masih orang-orang indo. Tapi datangnya keretapi di Hindia bukan saja telah melahirkan syarat-syarat baru, juga hukum-hukum baru, yang harus di dengar dan di patuhi orang Eropa dan pribumi sekaligus. Mengapa pribumi harus cuma memikul beban, kalau syarat-syarat dan hukumnya harus dipikul bersama-sama?” (Ananta Toer, 2007: 39)
 
Hakikatnya, tujuan membentuk lembega pendidikan untuk pribumi yang digagas golongan liberal berdasarkan asumsi di atas tidak untuk mencerdaskan dan membentuk kesadaran keritis masyarakat pribumi, tetapi hanya  mencetak tenaga-tenaga kerja terdidik yang murah untuk dipekerjakan di kantor-kantor milik Belanda. Oleh karena itu, orientasi atau arah kebijakan pendidikan zaman Belanda mengarah ke working oriented bukan membangun kesadaran keritis pribumi.
Politik etis memiliki tiga gagasan utama yaitu pendidikan, irigasi, dan transmigrasi. Gagasan ini merupakan imbalan atas ribuan nyawa petani yang bekerja di bawah kebijakan pemerintah yang memberlakukan sistem culturstelsel atau tanampaksa untuk memulihkan prekonomian Belanda pascaperang di Eropa. Seperti kutipan berikut:
”Kita berhutang budi pada Hindia. Sedalam-dalamnya, sebagai Eropa, sebagai keristen kita akan berbuat sesuatu kebaikan pada pribumi untuk menyampaikan balas budi kita. Bukan sekedar peraturan-peraturan yang menguntungkan mereka. Juga memperlengkapi mereka dengan syarat-syarat baru untuk dapat memasuki jaman baru ini. Jembatan yang sebaik-baiknya adalah terpelajar pribumi.” (Ananta Toer, 2007: 40)

Kutipan di atas menegaskan bahwa untuk membela jasa-jasa masyarakat pribumi Hindia yang telah bekerja dengan sistem culturstelsel selama bertahun-tahun, tidak hanya cukup dengan membuatkan peraturan perundang-undangan yang menguntungkan pribumi, tetapi juga di perlukan pendidikan untuk melahirkan sosok terpelajar guna memasuki zaman baru yaitu zaman moderen.
Keberhasilan golongan liberal mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda berimplikasi pada penerapan politik etis. Walaupun pada sektor pedidikan sudah berhasil diterapkan oleh pemerintah kolonial, namun karakteristik penerapannya sangat diskriminatif sehingga tidak menyentuh semua golongan masyarakat pribumi. Pada zaman kolonial yang berhak memproleh pendidikan hanya anak-anak pejabat dan pengusaha, selain dari itu hanya memasuki sekolah rendahan dan setelah selesai tidak berhak lagi melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi disisi lain pandangan masyarakat saat itu sangat rasial menyebabkan golongan Tionghoa dan Arab mendirikan sekolah sendiri untuk mendidik generasinya berdasarkan kurikulum yang mereka kehendaki. Seperti pada kutipan di bawah ini:
”Sayang sekali. Memang bukan maksudku hendak mengaggu pelajaran Tuan-tuan. Biarpun begitu coba Tuan-tuan pikirkan barang sekedarnya. Mereka telah mendatangkan guru-guru dari Tionghoa dan Jepang, golongan Arab mendatangkan dari Tunisia dan Aljazair. Mereka berkokoh tak mengajarkan Belanda, tapi inggris, lulusannya kelak meneruskan di sekolah singapura dan negeri-negeri berbahasa inggris. Mereka akan kembali ke Hindia seagai terpelajar kelas satu. Kita akan lebih ketinggalan lagi. Usaha kita tak ada sampai sekarang. Tak ada.” (Ananta Toer, 2007: 50) 

Maksud kutipan di atas adalah pandangan yang sifatnya rasial melahirkan sekat-sekat di tengah masyarakat atara pribumi, Eropa, Arab, dan Tionghoa. Namun, golongan Tionghoa dan Arab sadar akan esensi nilai-nilai pendidikan dalam membentuk karakter sehingga mereka lebih memilih mendirikan sekolah sendiri dan mendatangkan guru-guru dari luar negeri untuk mengajarkan tidak hanya bahasa Belanda tetapi juga bahasa Inggris agar anak-anak mereka dapat lanjut kenegara lain. Pada akhirnya golongan Arab dan Tionghoa lebih memahami orientasi pendidikan Belanda, sehingga mereka lebih memilih mendirikan sekolah sendiri dan membuat kurikulum sendiri.
b. Nasionalisme
Paham nasionalisme yang penulis maksud adalah kesadaran kebangsaan, senasib, dan sepenanggungan yang mulai tumbuh dan mengilhami paradigma masyarakat Hindia akibat penjajahan Belanda. Hadirnya paham nasionalisme dalam benak masyarakat Hindia sedikit demi sedikit mengikis paham sukuisme dan feodalisme yang selama ini mendominasi pemikiran masyarakat yang mengakibatkan penjajah begitu mudah menggunakan strategi devide et impera atau politik adu domba untuk mengaduh masyarakat Jawa, Bali, Aceh, dan masyarakat yang ada di nusantara. Dalam konteks novel Jejeak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer, paham nasionalisme pertama kali hadir pada diri Minke sebagai tokoh utama novel ini. Seperti pada kutipan berikut:
”Aku kayu sepedaku pelan-pelan dalam malam sejuk itu. Di atasku langit bertaburan bintang. Di sekelilingku ketenangan kota Betawi di waktu malam. Di mana-mana lampu, lampu gas jalanan dan lampu – minyak pedagang sepanjang jamlan. Hanya dalam hati tak ada lampu, tak ada bintang. Gelap pekat. Aku malu pada bumi di bawah kakiku, pada langit di atasku, pada semua manusia di lingkunganku. Mama telah memperingatkan sekarang Gubermen Jenderal sendiri yang mengatakan: aku telah membantu Gubermen dengan korangku medan. Sedang di seberang timu sana, sebangsaku orang-orang Bali, pada merenggut nyawa menghadapi peluru meriam dan bendil kompeni atas perintah dia.” (Ananta Toer, 2007: 330)
  
Perenungan yang di lakukan Minke dalam novel ini telah mengantarkan dia pada titik kesadaran bahwa selama ini potensi yang di milikinya dan ide-ide yang telah di sebarkannya melalui korang medan tidak memberikan arti apa-apa terhadap masyarakat pribumi. Justru lebih menguntungkan pemerintah Gubermen Jenderal, dari perenungan tersebut nilai-nilai nasionalisme mulai tumbuh dalam dirinya.
Keinginan pemerintah Belanada untuk menguasai daerah-daerah atau kerajaan-kerajaan di nusantara semakin besar pascaperang Aceh. Pemerintah bertekat untuk menguasai Bali dan Lombok namun kesadaran nasionalis yang mulai tumbuh pada diri masyarakat Hindia akibat propaganda yang dilakukan secara diam-diam oleh Minke menyebabkan pemerintah Belanda mengalami kesulitan untuk melancarkan politik adu domba. Seperti pada kutipan berikut:
”Ia telah jalankan tugasnya di Sala dan Yogya, setelah aku tugaskan dan selama mencurigai aku. Harian kami telah memulihkan kepercayaannya padaku. Ia telah menghubungi abangnya bintara legium itu. Waktu itu keberangkatan legium ke Lombok sedang di persiapkan. Para bintara legium telah sepakat menolak berperang melawan saudara-saudarnya di seberang Jawa sana.” (Ananta Toer, 2007: 364)

Maksud kutipan di atas adalah keberhasilan Minke dan pembantunya Sadiman melakukan propaganda kepada kakak Sadiman yang bekerja sebagai legium kraton untuk tidak melawan sesama bangsa sendiri, menyebabkan pembatalan keberangkatan legium untuk membantu Belanda dan ini merupakan bentuk kegagalan Belanda menjalankan misi politik devide ed impera.
Awalnya masyarakat pribumi berasumsi bahwa bangsa Hindia hanya sebatas pulau Jawa sehingga problem yang dihadapi masyarakat di luar pulau Jawa bukanlah urusan pulau Jawa. Pandagan ini telah mengilhami sebagian tokoh-tokoh terdidik pribumi termasuk toko organisatoris Boedi Oetomo, dalam novel ini di uraikan bahwa lahirnya gerakan Boedi Oetomo tidak terlepas dari pandangan Jawa sentris yang menganggap bahwa Hindia berbangsa tunggal yaitu pulau Jawa, akibatnya pandangan nasionalisme jauh dari pandangan tokoh-tokoh Boedi Oetomo. Seperti pada kutipan berikut:
”Aku simpulkan, setidak-tidak sementara: BO memisahkan diri dari bangsa-bangsa terperintah Hindia selebihnya, dia telah bikin sempit hidup sendiri. Hindia bukan Jawa. Hindia berbangsa-ganda organisasinya wajar kalau berwatak berbangsa-ganda Jawa  sebagai pulau sudah berbangsa-ganda. Hindia berbangsa-ganda memang kenyataan kolonial. Pengukuhan Van Heutz cuman sentuhan pengukuhan terakhir.” (Ananta Toer, 2007: )

Pandangan Minke dalam memandang Hindia yang terdiri dari ribuan pulau dan suku, merupakan satu kesatuan yang kemudian di maknainya sebagai bangsa ganda. Berbeda dengan Boedi Oetomo memandang Hindia yang hanya sebatas pulau Jawa, namun tidak di pungkiri kehadiran BO merupakan cikal bakal gerakan pemuda yang banyak melahirkan tokoh-tokoh intelektual pribumi.
Keberhasilan Minke dan Sadiman melakukan propaganda dan penyebaran ide-ide nasionalis atau bangsa-ganda telah mengilhami semua legium kraton. Seperti pada kutipan berikut:
”Aku sendiri, Tuan Redaktur mempunyai tiga orang anak perempuan. Kalau kami harus melakukan saudara-saudara kami sendiri, apalagi perempuan-perempuan Bali, itu sama saja dengan dengan peperangan melawan anak-anak sendiri sebab anak-anak perempuan ini sama saja impiannya tentang hidup, baik di Bali ataupun di Jawa? Mereka akan melawan kami, sama saja gigihnya dengan pria suami atau kekasih atau ayahnya.” (Ananta Toer, 2007: 398)

Pada kutipan yang lain, para legium kraton menyampaikan pandangannya tentang makna nasionalisme sebagai berikut:
”Kalaupun berperan dengan mereka, bisah pulang kembali pada anak-anak bagaimanakah aku harus bercerita? Untuk mendapatkan permulaan cerita pun akan terlalu susah. Maka kami  menolak untuk di naikkan ke kapal, apalagi di turungkan ke medan perang Bali dan Lombok sebagai ayam aduan.” (Ananta Toer, 2007: 398)

Pada kutipan yang lain:
”Paduka Tuanku Redaktur, ijinkan dengan ini kami menyampaikan isi hati kami, kesatuan legium mangkunegara, kami sengaja menolak berangkat kemedang perang kami menolak berlaga dengan saudara-saudara sebangsa. Kalau tidak di mulai sekarang, paduka Tuan, takan ada habis-habisnya bangsa Jawa di pergunakan untuk menaklukkan sesaudara di luar Jawa. Sudah terlalu banyak diantara sebangsa kami tewas di Aceh, di Sumatra Minangkabau, di Sumatra negeri-negeri Batak, di negeri Bugis, kemudian Bali dan sekarang pun akan di Lombok pula.........kalau untuk membuka hutan, membikin sawah, ladang, menggali tambang, membikin jalanan, membuka perkebunan, meman tangan Jawa telah lakukan di seluruh Hindia. Tak ada jembatan baja di luar Jawa tidak di kerjakan oleh tangan Jawa. Tapi perang......”(Ananta Toer, 2007: 399)

Uraian novel ini mendeskripsikan bahwa hadirnya paham nasionalisme pada sosok Minke merupakan hidayah yang telah menginspirasi masyarakat Hindia khususnya legium kraton untuk berhenti berperang melawan sebangsa sendiri. Atas dasar paham nasionalisme ini pula yang mengilhami Minke untuk merumuskan nama Hindi yang sebenarnya. Hal ini di rumuskan ketika dia bertemu dengan Dowanger yang dalam sejarah di kenal dengan nama Dekker pembawa ide-ide sosialis Marx ke Hindia. Melalui diskusinya Minke dan Douwanger mencoba merumuskan nama untuk bangsa Hindia sekaligus mengokohkan paham nasionalis dalam benak Minke. Seperti kutipan berikut:
”Menurut pikiranku, kita agak berselisih sedikit Hindia tidak berbangsa-ganda. Hindi berbangsa Hindia bangsa Indiseh. Menurut pikiran dasar ini pula, setiap orang Indiseh. Berbangsa Hindia, tak peduli berbangsa asal apa, Arab, Jawa, Keling, Belanda, Tionghoa, Melayu, Bugis, Aceh, Bali, peranakan, bahkan totok Asingpun yang tinggal dan mati di Hindia dan bersetia pada Hindia, itulah  bangsa Hindia, bangsa Indiseh.”  (Ananta Toer, 2007: 465)

Kutipan di atas menjelaskan bahwa Hindia bukanlah bangsa yang bernama bangsa ganda. Tapi Hindia adalah adalah bangsa Hindia atau Indiseh dan siapapun yang memiliki loyalitas dan perasaan senasip, sudah termauk masyarakat Indiseh.
c. Ekonomi Politik
Salah satu tujuan kehadiran penjajah Eropa di nusantara di latar belakangi oleh kepentingan ekonomi. Namun, ekonomi politik yang dimaksud adalah kebijakan yang dilakukan pemerintah Hindia Belanda dalam aspek ekonomi untuk mempertahankan dominasi dan eksistensinya sebagai negarah penjajah. Dalam novel ini Pramodya mendeskripsikan penomena yang terjadi pada abad ke-19 dari sisi ekonomi, pertarungan antara Belanda, pedagang Arab, Tionghoa, dan Pribumi yang tentunya memiliki orientasi berbeda. Belanda dengan orientasi ekspansi dan eksploitasi untuk kepentingan negara Belanda, sedangkan Arab dan Tionghoa hanya untuk kemakmuran dan kesejahteraan komunitas mereka. Tentu yang menjadi objeknya adalah pribumi, pada satu sisi pribumi harus mempertahankan sumber ekonomi atas desakan yang dilakukan Tionghoa dan Arab dan sisi lain menjadi sumber atau objek eksploitasi dan ekspansi Belanda.
Benturan ekonomi tidak hanya terjadi antara pribumi dan Tionghoa atau Arab tetapi juga terjadi antara pengusaha Eropa dan Tionghoa. Hal ini dapat di lihat pada dilihat pada kutipan berikut:
”Hanya dalam beberapa minggu dan suatu yang mengagumkan terjadi semua pedagang Tionghoa di Surabaya-kemudian juga menjalar ke kota-kota lain-menolak mengambil barang dagang dari perusahaan yang belakang ini gulung tikar. Tiga buah perusahaan perusahaan Besar Eropa lainnya menyusul gulung tikar kebangkrutan di ikuti oleh keguncangan dalam dunia perbankan. Dunia perdagangan kalangkabut pengaruhnya terasa sampai kelorong-lorong desa. Apalagi di kota-kota.” (Ananta Toer, 2007: 396)

Penindasan yang di lakukan perusahaan Eropa terhadap pengusaha kecil Tionghoa memicu terjadinya boikot yang dilakukan seluruh pengusaha Tionghoa terhadap barang dagang Eropa. Boikot ini menyebabkan seluruh perusahaan Eropa yang berada di Hindia mengalami kebangkrutan akibat terjadinya akumulasi barang. Kebangkrutan perusahaan-perusahaan Eropa juga berimplikasi pada prekonomian dunia yang mengakibatkan terjadinya krisis finansial, dalam novel ini istilah boyccot merupakan istilah baru sekaligus strategi ekonomi baru yang di perkenalkan oleh orang yang bernama Boicot kemudian strategi ini menyebar ke Hindia dan pertamakali di pergunakan oleh pengusaha Tionghoan untuk melumpuhkan penindasan ekonomi yang di lakukan perusahaan Eropa.
Hindia merupakan negara agraria, selain kopi, pala, dan lada yang merupakan sumber ekonomi Belanda pada saat itu, gula merupakan salah satu komoditi ekspor yang sangat di butuhkan di seluruh negara Eropa. Bahkan dalam struktur pemerintahan pengusaha-pengusaha perkebunan gula pada saat itu mampuh membatalkan dan menginterpensi kebijakan yang di buat pemerintah sehingga dominasi ekonomi dan kesewenangan terhadap pribumi semakin   menjadi-jadi. Seperti kutipan berikut ini:
”.........mereka memang raja-raja uang siapa heran? Gula dari Jawa dikehendaki di seluruh dunia. Biarpun Eropa berkokoh membikin gula sendiri dari biet, tak urung mereka menghendaki gula dari Jawa juga. Pada awal tahun 1909 ini, Tuan, Expor gula akan meningkat sepuluh porsen. Gula furmosi tetap tidak mampuh mengejar soalnya memang atmistrasi orang-orang Belanda tidak bisa di tandingi mereka dapat memperhitungkan hal-hal yang kecil-kecilnya.” (Ananta Toer, 2007: 476)

Maksud kutipan di atas adalah eksistensi pabrik gula dan perkebunan tebuh di Jawa merupakan komoditi ekspor yang bernilai tinggi dan diminati di seluruh negara-negara Eropa. Keberhasilan pengusaha gula dari Jawa mampuh mengalahkan gula Eropa yang bahan bakunya dari biet dan ekspornya mencapai sepuluh persen dari tahun-tahun sebelumnya.
Keberhasilan pemerintah Belanda dan kapitalis Eropa dari sisi ekonomi tidak berbanding lurus dengan apa yang dialami masyarakat pribumi. Kemamapuan Belanda yang telah berselingkuh dengan pengusaha – pengusaha nonpribumi dan rekayasa ekonomi politik  penjajah mengakibatka pribumi  selamanya berada di bawah garis kemeleratan. Setiap kebijakan yang buat pemerintah pejajah selalu mengutamakan kepentingan pribadi, bahkan kebijakan politik etik tidak terlepas dari kepentingan ekonomi Belanda. Seperti kutipan berikut:
”Ya, dagang yang berpolitik, dan politik yang berdagang, dwitunggal yang bikin sensara bangsa-bangsa jajahan, Tuan Hadji kalau tuan pernah dengar tentang politik ethiek, itulah dia isinya. Yang jadi sasaran politik itu adalah pribumi, dan pribumi tetap hidup kapiran dalam kemiskinan” (Ananta Toer, 2007: 477)

Benturan antara pedagang Tionhoa, Arab, dan Pribumi yang mempertahankan sumber-sumber pendapatan merupakan benturan segitiga. Benturan ini yang kemudian melahirkan organisasi SDI (Sarekat Dagang Islamiyah) sebagai wadah untuk berkumpul dan mempertahankan hasil-hasil batik sedangkan komunitas Tionghoa membentuk perkumpulan yang di sebut reksorumekso. Kutipan berikut mendiskripsikan pertikaian antara Tionghoa, Arab,dan pribumi:
”Perdagangan besar tetap berada di tangan bangsa Eropa. Perdagangan di sepanjang pantai pulau Jawa berangsur-angsur mulai berpindah tangan dari pribmi ke tangan Tionghoa, dalam kelajuan yang luar biasa cepatnya pedagang-pedagang Arab juga mulai terdesak oleh Tionghoa dari pantai-pantai Jawa para pedagang Tionghoa semakin mendesak ke pedalaman. Nampaknya tinggal berapa tempat tertentu saja di Jawa dapat bertahan terhadap desakan mereka. Sala, yogya, kudus, tasikmalaya.” (Ananta Toer, 2007: 518)

Pada kutipan lain di deskripsikan keterpojokan pedagang pribumi dan keberhasilan pendagang Tionghoa mengambil alih sumber-sumber ekonomi pribumi, sebagai berikut:
”Sampai sekarang pedagang batik di Sala dan Yogya tetap berada di tangan pedagang-pedagang pribumi setiap tahun mencapai peredaran sampai beberapa ratus ribu gulden, di tambah lagi dari hasil kerajinan tangan perak dan emas.pedagang-pedagang pribumi akan bertahan dan berkelahi mati-matian untuk batik ini, sebaliknya perdagangan topi ayaman Tangeran telah jatuh samasekali ke tangan para pedagang Tionghoa, dan di ekspor ke Amerika Latin, terutama Mexico dan Prancis, terutama Marseille. Salah dan Yogya tak sudi mengalami nasib seperti Tangerang.” (Ananta Toer, 2007: 519)

Keberhasilan Mingke membentuk SDI, sebagai wadah untuk menyatukan pedagang-pedagang pribumi direspon positif seluruh pedagang pribumi yang selama ini mengalami penindasan dari pedagang Tionghoa, Arab, dan Eropa. Seperti pada kutipan berikut:
”Dalam program konfrensi mendatang telah di sebutkan S.D.I. akan mendorong maju perdagangan pribumi Hindia, membebaskan penghasil-penghasil kecil dari sewenang-wenangan tengkulak dan periba membangun modal sebesar-besarnya untuk mendirikan perusahaan-perusahaan, semua dengan tujuan untuk tetap mempertahankan perdagangan pribumi dari desakan modal orang-orang bukan pribumi. Hasil dari semua usaha akan dipergunakan untuk memajukan perdagangan, kerajinan tangan, pendidikan dan pengajaran.” (Ananta Toer, 2007: 543)

Maksud kutipan di atas adalah kehadiran SDI, merupakan tempat atau wadah untuk mempersatukan pedagang-pedagang pribumi islam dari penindasan dan kesewenan-wenangan para tengkulat Eropa, Arab, dan Tionghoa. Selain bertujuan untuk mendirikan perusahaan-perusahaan besar yang dapat mengatvokasi para pedagang pribumi dari keterbatasan modal. Semua usaha SDI sebagai syarikat pada akhirnya bermuara pada satu titik yaitu memajukan perdagangan pribumi. 
Kesadaran Minke akan pentingnya pengorganisiran pedagang dan kemampuan perdagangan meningkatkan kesejahteraan hidup manusia, semakin memacu semangat untuk mempertahankan eksistensi SDI sebagai sebuah wadah pemersatu. Seperti kutipan berikut:
”Perdagangan adalah jiwa negeri, Tuan. Biar negeri tandus, kering kerontang seperti Arabia, kalau perdagangan berkembang subur, bangsanya bisa makmur juga. Biar negeri Tuan subur, kalau perdagangannya kembang-kempis semua ikut kembang-kempis, bangsanya tetap miskin. Negeri-negeri kecil menjadi besar karena perdagangan, dan  negeri besar menjadi kecil karena menciut perdagangannya.” (Ananta Toer, 2007: 519-520)

Kemajuan industri perdagngan di Hindia pada saat itu, serta permintaan negara-negara Eropa dan Amerika yang membutuhkan banyak barang-barang gubal dari Hindia sehingga permintaan untuk hasil-hasil pertanian menurung menyebabkan pemerintah Belanda merubah arah kebijakan ekonomi politiknya dari kerja rodi, menjadi pajak usaha untuk desa-desa yang sudah berkembang. Seperti kutipan berikut:
”Tahun-tahun ini negeri-negeri Eropa dan Amerika membutuhkan banyak barang gubal dari Hindia. Perdagangan berkembang dan membangun desa-desa yang tertidur. Makin lama uang makin banyak terhisap oleh desa dan meninggalkan kota. Di kalangan atasan sudah terbit desus untuk menghapus rodi, menggatinya dengan pajak kepala, yakni untuk desa-desa di mana uang sudah mulai beredar dan mengalir.” (Ananta Toer, 2007: 521)

Kemajuan dari aspek prekonomian negara-negara Eropa dan Amerika sangat mempengaruhi negara-negara jajahan termasuk Hindia di bawah kendali Belanda, dalam teori poskolonialisme, keberhasilan Barat membangun opini tentang Timur yang menurut Said (1997: 60) sebagai orientalisme menyebabkan Hindia sebagai tempat untuk ekspansi ekonomi agar tidak terjadi akumulasi barang di negara Eropa dan Amerika istilah ini kemudian yang dikenal dengan liberalisasi atau political marketyng. Ekspansi ini di perlancar dengan kerjasama medi dan kapital. Seperti kutipan berikut:
”Tapi di jaman moderen ini, ada banyak cara dan alat untuk membikin orang sukajual- beli, di negeri-negeri paling maju sekalipun, di Amerika serikat. Iklan-iklan raksasa seperti air laut bergelombang-gelombang membentuk kesan tanpa henti, orang di todong, di ancam kalau tidak membeli dan menggunakan produksinya akan rugi, akan begini,begitu. Lama-kelamaan orang percaya, terpaksa atau dipaksa membeli karena berhasil di bikin limbung. Juga dengan perusahaan-perusahaan pakaian. Orang dipaksa-paksa untuk membeli dan menggunakannya kalau tidak, orang akan dianggap ketinggalan jaman.” (Ananta Toer, 2007: 527).

Apa menjadi landasan atau tujuan utama SDI yaitu untuk menciptakan usaha-usaha yang tidak hanya bergerak dalam bidang perdagangan mulai di realisasikan. SDI yang tadinya hanya sebuah perkumpulan para pedagang telah membangun usaha-usaha dalam dunia pendidikan (pendirian sekolah-sekolah pribumi) dan membangun usaha perkapalan, namun usaha tersebut tidak diberikan izin oleh pemerintah Belanda karena adanya keinginan Gubermen Jenderal untuk monopoli perdagangan khususnya dalam bidang perkapalan. Seperti kutipan berikut:
”Dewan pimpinan merencanakan membeli-sewa kapal samudra. Pagi-pagi Gubermen telah memberi isyarat tidak membenarkan. Bahkan perusahaan perkapalan orang-orang Arab dan Tionghoa, dalam jaman emasnya mengangkuti kompeni dalam meluaskan wilayah kekuasaannya, sekarang di gulung kompeni itu juga, terpaksa menjual kapalnya dengan harga murah di Hongkong atau Singapura. Perusahaan perkapalan kerajaan K.M.P. setapak demi setapak menjadi perusahaan monopoli tanpa tandingan di perairan Hindia.” (Ananta Toer, 2007: 567)

Pergantian pemerintah Gubermen Jenderal sebagai penguasa di Hindia menyebabkan terjadinya perubahan kebijakan dalam bidang ekonomi. Perubahan kebijakan tersebut sifatnya sangat represif sehingga banyak perusahaan-perusahaan yang di tutup dan banyak usaha-usaha baru yang tidak diberikan izin usaha. Perubahan kebijakan ini di akibatkan oleh pemerintah terdahulu banyak menghabiskan dana untuk kebutuhan perang, sehingga kas negara Belanda mengalami defisit dan untuk memulihkan stabilitas prekonomian, Belanda melakukan monopoli perdagangan dan pemberlakuan pajak usaha. Selain itu, pemerintah tidak lagi toleran atas berbagai aktivitas gerakan pribumi khususnya gerakan SDI yang mulai tumbuh semangat nasionalis dan kesdaran keritis atas penjajahan yang selama ini di alami pribumi.
Untuk lebih jelas terkait objek analisi, dapat di lihat pada tabel nilai sosial politik di bawah ini:
Tabel: Nilai sosial politik yang terdapat pada novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer.
No
Nilai Sosial Politik
Halaman
1
2
3
Pendidikan
Nasionalisme
Ekonomi
30-31, 39, 35, 40.
330, 364, 391, 398, 398, 399, 465.
396, 476, 477, 518, 519, 543, 519-520, 521, 567.




B. Pembahasan

Berdasarkan analisis data, maka di ketahuibahwa novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer mempunyai nilai sosial politik yang terdiri:


a. Politik Pendidikan
Terdapat perbedaan karakter antara Belanda dan Inggris dalam memperlakukan daerah jajahannya. Mengapa kita menjadikan Inggris dan Belanda sebagai objek perbandingan, karna kedua negara inilah yang banyak melakukan penjajahan di wilayah Asia. Inggris merupakan negara industri paling maju di negra-negara Eropa, sehingga tujuan utama Inggris melakukan penjajahan hanya untuk menjual prodak-prodak industrinya kepada negara-negara jajahannya agar tidak terjadi akumulasi barang. Berbeda dengan Inggris, Belanda masih tahap industrialisasi sehingga untuk mempercepat laju industri, Belanda melakukan ekploitasi besar-besaran terhadap wilayah-wilayah jajahannya dan mengabaikan sisi yang urgen dalam kehidupan pribumi, misalnya aspek pendidikan pribumi.
Novel ini menguraikan bahwa selama kurang lebih tiga ratus enam pulu tahun atau tiga setengah abad lamanya, Belanda menjajah Hindia. baru sekitar awal abad ke-19 masyarakat pribumi sudah mulai memperoleh pendidikan yang layak akibat kebijakan politik etis penjaja. Keritik dunia internasional, atas perlakuan Belanda terhadap negara jajahan menyebabkan terjadinya dialektika dalam parlemen Belanda antara golongan konserpatif dan golongan liberal. Golongan liberal menilai bahwa kebijakan politik yang sangat eksploitasi dan lebih mengutamakan kepentingan ekonomi telah merusak citra pemerintah di mata dunia internasional. Selain itu, pada tahun 1848 di negeri Belanda terjadi gerakan Mei yang menuntut perombakan undang-undang dasar yang liberal.(Moeliono, tampa tahun: 56) Oleh karena itu, golongan liberal mengigingkan pemerintah menerapkan kebijakan politik etis. Keinginan golongan liberal, ditolak oleh golongan konserpatif yang ingin mempertahankan kebijakan yang sudah di buat pemerintah. Untuk mewujud keinginan golongan liberal, maka tokoh-tokohnya melakukan kampanye agar memperoleh kursi yang banyak dalam parlemen Belanda, karna kebijakan pemerintah di negara-negara jajahan sangat di tentukan oleh suara di parlemen.
Kampanye dialogis tokoh liberal di wilayah Hindia di wakili oleh Van Kollewijn dan Van Heutz, yang juga di hadiri oleh Minke sebagai representatisi pribumi. Menjajikan kepada tokoh-tokoh intelektual pribumi dan tokoh-tokoh Eropa yang simpati terhadap pribumi untuk menjadikan pribumi sebagai lokomotif penggerak dalam perusahaan dan perkebunan milik negara. Oleh karena itu, diperlukan pendidikan untuk melahirkan tenagah-tenagah terdidik.
Menurut Van Heutz yang juga merupakan utusan partai Vrijzining Demucratische Partij. Pemerintah Belanda sebagai negara Eropa dan juga negara beraga keristen, sudah seharusnya menajadikan pribumi sebagai lokomotif penggerak sehingga pemerintah tidak perlu lagi mendatangkan tenaga-tenaga dari Eropa untuk bekerja di perusahaan dan kantor milik negar. Menurutnya, semua itu bisah di raih ketika pribumi memiliki pengetahuan yang memadai dan pengetahuan itu bisah di raih melalui sistem pendidikan yang baik.
Sebagai kaum pribumi yang terdidik, Minke dengan menggunakan pisau analisis   untuk membedah kebijakan-kebijakan pemerintah dalam hal ini kebijakan politik etis, justru berasumsi bahwa pemberlakuan politik etis merupakan strategi baru pemerintah Belanda untuk menghemat anggaran negara Belanda. Dengan menyekolahkan pribumi dan setelah selesai langsung mempekerjakan di perusahaan dan kantor negara sebagai staf rendahan dan gaji rendahan, pemerintah Belanda tidak perlu lagi mendatangkan tenaga-tenaga pekerja dari Eropa yang memerlukan bianya banyak dan gaji yang juga mahal. Selain itu, kurikulum pendidikan Belanda hanya bertujuan untuk menghasilkan tenaga kerja (working oriented) murahan, tetapi pada sisi sikap sama sekali tidak mengantarkan kaum pribumi untuk bersikap kritis dan sadar akan posisinya sebagai objek penjajahan sehingga pascapemberlakuan politik etis banyak kalangan pribumi yang sadar mengambil inisiatip untuk membangun sekolah-sekolah sewasta di luar dari sekolah bentukan pemerintah.
Berbeda dengan Hindia, jauh sebelum pemberlakuan politik etis. Bangsa-bangsa pengembara Tionghoa dan Arab yang betul-betul sadar akan esensi pendidikan bagi generasi muda telah mendirikan sekolah-sekolah sebagai tempat untuk mendidik generasi muda berjiwa revolusi bahkan banyak di antara mereka yang hanya menjadikan Hindia sebagai tempat menyusun kekuatan untuk menggulingkan kekuatan diktor kaisar Yesi. Salah satu sekolah yang cukup populer pada saat itu, sesuai dengan gambaran novel ini adalah Tion Hoa Hwee Koan dan Jamiatul Khair.
Dengan menggunakan pendekatan poskolonialisme untuk mengurai makna di balik teks dan hubungannya dengan dunia pendidikan kontemporer, hakikatnya novel ini menyampaikan sebuah pesan bahwa pendidikan saat ini telah banyak di politisasi, bahkan kampanye-kampaye pemilu tentang prioritas pendidikan, tidak hanya di lakukan pada masa kolonial tetapi juga masih dilakukan dalam konteks modern saat ini. Secara realistis keberhasilan Gubernur terpilih Makassar priode 2008-2014 memperoleh suara terbanyak tidak terlepas dari ikrarnya yang akan memberlakukan pendidikan garatis.
Ketika popularitas SBY-JK menurun dimata publik, akibat kebijakan menaikkan BBM dua kali dalam dua tahun berturut-turut, maka SBY-JK cepat-cepat mengeluarkan kebijakan yang akan menaikkan aggaran pendidikan dari 11% menjadi 20% sesuai dengan amanat konstitusi pada tahun 2009, secara luar biasa kebijakan tersebut langsung mendongkrak popularitas SBY-JK dimata publik.
b. Nasionalisme
Pada awal abad ke-19 istilah nasionalisme merupakan istilah baru dan hanya segelintir orang pribumi yang dapat  memahami makna nasionalisme. Kehadiran paham nasionalisme merupakan dampak kolonialisasi Belanda selama bertahun-tahun, dalam novel ini di gambarkan bahwa Minke merupakan pribumi pertama menyuarakan rasa kebersamaan, senasib, sebangsa, dan menggunakan istilah bangsa ganda untuk menyebut bangsa-bangsa yang ada di Nusantara. Pertemuan Minke dengan tokoh sosialis Douwanger lebih memperdalam pemahamannya terhadap makna nasionalisme dan konsep negara kebangsaan.
Istilah nasionalisme atau paham kebangsaan di bawah pemerintahan Belanda merupakan istilah yang ampuh untuk mematahkan strategi politik adu domba yang di gunakan Belanda untuk  mecah belah kaum pribumi. Keinginan pemerintah Gubermen menyatukan seluruh kerajaan-kerajaan yang ada di nusantara, menyebabkan terjadinya impansi militer. Setelah mengalahkan kerajaan Aceh yang telah berperang selama bertahun, maka pemerintahan Belanda bergeser ketimur nusantara untuk mengusai kerajaan Bali dan Lombok. Untuk memudahkan pendudkan, pemerintah Belanda meminta bantuan kepada kraton Solo dan Yogya untuk menurunkan legiumnya.
Persaaan senasib, sebangsa, dan seperjuangan tanpa batasan atau sekat – sekat sukuisme, mendorong Minke untuk melahirkam propaganda melalui pembantunya atau kariawannya yang bernama Sadiman yang memeiliki saudara sebagaia komandan legium kraton, ide-ide nasionalisme dipropagandakan kepada legium-legium kraton agar mereka tidak terjebak dalam strategi politik Belanda yang akan menjadikan masyarakat pribumi sebagai aduan sesama pribumi yang sebangsa. Propaganda Minken melalui Sadiman ternyata berhasil, seluruh legium kraton Solo dan Yogya tidak ingin berangkat. Peristiwa ini merupakan titik awal lahirnya atau tersemianya nilai – nilai nasionalisme pada diri pribumi.
Walaupun Minke berhasil menggagalkan legium – legium kraton Solo dan Yogya untuk berperang melawan saudara sendiri, tetapi tidak semua tokoh – tokok intelektual pribumi menerima ide nasionalisme, hal ini disebabkan oleh paham Jawasentris dan sukuisme yang sudah mendarah daging. Di sisi lain permasalahan masyarakat pribumi khususnya yang berada di pulau Jawa hanya menganggap Jawa sebagai bangsa tersendiri dan berbeda dengan bangsa – bangsa atau pulau – pulau lainnya yang ada dinusantara. Kehadiran organisasi Boedi Otomo juga tidak terlepsa  dari paham Jawasentris sehingga dalam perjalanannya anggota – anggotanya hanya terdapat di pulau Jawa dan Madura. Melihat realitas tersebut Minke tidak tinggal diam, Dia langsung mengutarakan pesan nasionalisme kepada Boedi Oetomo untuk dijadikan landasan organisasi dan tidak dibatasi oleh sekat-sekat kepulauan. Namun, dialog tersebut tidak membuahkan hasil Boedi menolak paham nasionalisme sebagai landasan organisasi degan alasan bahwa Hindia tidak berbangsa ganda tapi hanya satu yaitu Jawa, jadi perasaan senasib yang dirasakan oleh Beodi hanya sebatas pulau Jawa di luar Jawa baginya adalah bangsa tersendiri.
Kegagalan Minke menarik simpati tokoh – tokoh intelektual pribumi tidak mematahkan semangat mereka untuk melakukan propaganda  agar pribumi bersatu dan tidak berpersepsi Jawasentris. Melalui media yang dikelolah dan dipimpimnya sendiri yaitu koran medan, Minke menyuarakan semangat berorganisasi dan keharusan pribumi memiliki rasa kebersamaan atau sikap nasionalisme. Minke merupakan pribumi pertama yang berhasil menerbitkan koran pribumi yaitu ”medan” kecerdasannya dan kedekatannya dengan Gubermen Jendral menjadikan Dia leluasa bergerak walaupun pada akhirnya Minke dibuang atau diasingkan di luar pulau Jawa sebagai Tapol (tahan politik) setelah Van Heutz diganti oleh Gubermen Jendral baru Van Derwig.
Pada masa pemerintahan Gubermen Jendral Van Heutz. Minke banyak melakukan aktivitas yang bertujuan untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak pribumi dari penindasan bangsa Eropa, Tionghoa, dan Arab. Selain itu, Minke juga bertujuan menyatukan masyarakat pribumi yang tidak hanya berada dalam pulau Jawa tetapi seluruh pulu- pulau yang ada di nusantara di bawah satu wadah atau payung organisasi yang diberi nama SDI (Sarekat Dagang Islamiyah). SDI merupakan organisasi modern pribumi pertama yang menjadikan paham nasionalisme sebagai landasan organosasi, sehingga cabangnya tidak hanya terbatas di pulau Jawa, tetapi berada di seluruh pulau di nusantara, termasuk pada saat itu Manado dan Palu juga tedapat cabang SDI.
Sebagai pribumi terdidik yang sadar posisinya sebagai bangsa terjajah, Minke memobilisasi segala daya untuk melawan bercokolanya kekuasaan Belanda yang sudah berabad-abad umurnya, namun secara politik Minke sadar bahwa perjuangan dengan jalur perlawanan bersenjata akan menyebabkan dia bunuh diri sebagaiman dikatakan oleh temannya sebagai bunuh diri politik. Oleh karena itu, Minke memilih jalan jurnalistik dengan membuat sebanyak-banyaknya bacaan propaganda untuk pribumi. Melalui korannya medan prijaji Minke berseruh kepada rakyat pribumi untuk meningkatkan boikot kepada pengusaha-pengusaha Eropa yang bertindak sewena-sewena, mendirikan organisasi dengan landasan nasionalisme, dan menghapus budaya feodalisme sebagai tradisi penindasan penguasa pribumi terhadap sesama.
Hakikatnya paham nasionalisme, pascakolonialisme telah bermetamorposis menuju perubahan bentuk yang merepresentasikan setiap zamannya. Pascaproklamasi kemerdekaan RI 1945, istilah nasionalisme pada saat itu dijadikan strtegi politik untuk membakar semangat perlawanan masyarakat Indonesia dengan tujuan mempertahankan eksistensi kemerdekaan yang telah diproklamirkan dan membendung masuknya penjajahan Belanda jilid II, yang kemudian dalam sejarah dikenal dengan istilah agresi militer Belanda I dan II. Dengan semangat nasionalisme tersebut, Indonesia mampuh mematahkan perlawanan Belanda walaupun melalui meja perundingan yang dinilai merugikan pihak terjajah.
Pascaorde lama hingga reformasi ide nasionalisme justru hanya bersifat istilah yang telah mengalami kematian makna. Kehadiran pahan nasionalisme pada diri masyarakat hanya bersifat spontan, yaitu ketika merasa terancam oleh negara tetangga. Setelah itu, ide tersebut hilang dan digantikan oleh paham-paham baru berupa ide individualistik, matrealistik, liberalisme, kapitalisme, sukuisme, dan neofeodalisme. Dengan pendekatan teori poskolonialisme istilah-istilah tersebut merupakan bentuk penjajahan baru negara-negara Eropa dan Barat yang lebih halus untuk mempengaruhi budaya, sikap, dan pemikiran masyarakat indonesia. Paham neoliberalisme dan kapitalisme merupakan istilah dan strategi baru untuk kembali menjajah negara-negara berkembang dari aspek ekonomi. Sukuisme dan feodalisme merupakan rengkarnasi dari sikap masyarakat pribumi seperti yang dijelaskan dalam novel Jejak Langkah yang hadir dalam dunia moderen saat ini. Sehingga tidak heran kalau saat ini sekat-sekat dan kekacauan sosial justruh banyak diakibatkan oleh sikap sukuisme. Selain itu feodalisme telah mengilhami banyak tokoh-tokoh kita yang gila penghargaan dan libido kedewaan sehingga merasa  sebagai generasi raja-raja dulu yang perlu dimuliakan dengan berbagai macam gelar dan status dalam ruang sosial. Oleh karena itu, novel ini melalalui tokohnya Minke hakikatnya, mengigatkan kita akan kerapuhan nasionalisme yang tidak hanya terjadi pada masa kolonial, tetapi juga pada sekarang akibat penjajahan model baru yang di kemas dalam bentuk yang berbeda yaitu penjajahan budaya dan pemikiran.
 
e. Ekonomi Politik
Kehadiran penjajah Belanda di Hindia awalnya bertujuan untuk berdagang dan menyebarkan agama keristen, namun melihat potensi sumberdaya alam Hindia yang pada saat itu didominasi oleh rempah – rempah.  Mendorong Belanda untuk melakukan impasi dan eksploitasi ekononmi secara besar- besaran. Untuk mewujudkan keinginan tersebut Belanda membuat VOC sebagai lembaga        ekonomi yang bertujuan untuk melakukan monopoli perdagangan. Hasil – hasil pertanian petani di beli dengan harga murah dan di jual ke negara lain dengan harga  yang sangat mahal.
Keberhasilan Belanda menaklukan kerajaan di nusantara semakin memperparah kondisi masyarakat pribumi. Libido kapitalistik Belanda untuk menghasilkan lebih banyak lagi hasil pertanian dan perkebunan, mendorong pemerintah Gubermen Jenderal membuat kebijakan ekonomi politik yang di kenal dengan istilah kerja rodi atau sistem tanam paksa selama ratusan tahun pribumi hidup di bawah sistem tanampaksa sampai keberhasilan golongan liberal mnengambil alih pemerintahan dari golongan konserpatif yang kemudian membuat kebijakan politik etis yang secara ekonomi kebijakan ini mengarah pada irigasi dan transmigrasi
Perubahan kebijakan tersebut tidak serta merta membuat petani pribumi hidup tenang perlakuan semena-mena dari penguasa Eropa, Tionghoa, dan Arab memebuat kehidupan pribumi semakin melarat. Melihat penindasan yang dialami sebangsanya Minke merasa prihati. Sebagai peribumi yang mendapat pendidikan tinggi Minke melakukan perlawanan dengan menulis kemedia – media Eropa. Setelah memiliki modal minke menerbitkan koran medan priyayi sebagai koran pertama pribumi untuk melindungi hak – hak pribumi. Minke mulai mempelajari startegi boikot guna dijadikan strategi untuk mematahkan arogansi pengusaha-pengusaha Eropa, Tionghoa, dan Arab.
Istilah boikot pertama kali di dengarkan oleh Minke melalui aksi boikot pedagang-pedagang Tionghoa, atas penindasan yang dilakukan pengusaha Eropa. Aksi boikot yang dilakukan pedagang Tionghoa ini menyebabkan terjadinya krisis ekonomi di dunia khususnya di Hindia, seluruh perusahaan Eropa yang berada di Hindia mengalami kebangkrutan. Melihat  penomena  ini, Minke terinspirasi untuk mempelajari strategi boikot yang dilakukan pedagang Tionghoa. Minke berasumsi bahwa strategi boikot merupakan strategi yang ampuh untuk dijadikan alat perlawanan atas dominasi dan penindasan pedagang Eropa, Tionghoa, dan Arab.
Kemajuan perdagangan di bumi Hindia yang mulai bergerak di bidang industri rumah tangga sepertti perdagangan batik, topi jerami, dan juga industri rokok, menyerap tenaga kerja yang cukup banyak sehingga di beberapa daerah tempat industri tersebut, masyarakatnya hidup dalam keadaan sejahtera. Selain itu, pada tahun 1909 dalam konteks novel ini negara Eropa dan Amerika Serikat tidak membutuhkan bahan-bahan hasil pertanian, sehingga untuk tetap menjaga stabilitas keuangan Belanda akibat lesuhnya pasar dunia. Penerintah Belanda merubah strategi ekonomi politik dari sistem kerja rodi menjadi pajak usaha, kebijakan tersebut mampu mempertahankan neraca keuangan pemerintah Belanda.
Kesadaran Minke melihat kemajuan perdaganaan pribumi dan esensi perdaganagn bagi kemajuan bangasa mendorong Minke untuk membuat perkumpulan atau organisasi perdagangan pribumi agar kegiatan pribumi semakin terorganisir dan dari perkumpulan tersebut dapat digunakan untuk memperlebar usaha-usaha besar serta membantu pribumi yang tidak memiliki modal. Maka pada saat itu, setelah melakukan pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh terdidik lainnya dibentuklah SDI (Sarekat Dagang Islamiyah) sebagai wadah pemersatu perdagangan pribumi. Selain itu, menurut Minke dengan hadirnya organisasi SDI para pedagang pribumi dapat melakukan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Eropa dan Tionghoa yang bertindak semena- mena.
Terbentuknya SDI direspon baik masyarakat pribumi, anggotanya tersebar diseluruh wilayah nusantara hinga pulau sulawesi diantaranya Palu dan Manado kesuksesan ini mengantarkan Minke sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di nusantara saat itu. Usaha Minke melalui SDI untuk membentuk perasaan-perasaan lain mulai nampak. Namun keinginan SDI untuk membentuk perusahaan perkapalan dan sekolah-sekolah pribumi mendapat tantangan dari pemerintah hindia belanda. Arogansi pemerintah Van Derbug yang menggantikan Van Heutz mulai nampak mereka menggagalkan usaha SDI yang sangat strategis dan juga usaha-usaha tionghoa untuk memberlakukan monopoli perdagangan khususnya diperairan dan perkapalan. Bahkan melalui surat yang dibuat panheus buat Minke. Panheus menganjurkan untuk menghentikan segala aktivitas ekonomi politiknya dan membubarkan SDI demi keselamatannya. Namun bagi Minke SDI adalah harga mati.
Melihat posisi pemerintah Gubermen yang mulai terncam akibat aktivtas Minke maka pemerintah berinisiatif untuk mengasingkan Minke keluar pulau Jawa agar aktivitas politiknya tidak dapat berjalan, hingga akhirnya keinginan tersebut terwujud Minke diasingkan dan perjuangan SDI tetap berlanjut. Inilah bentuk strategi politik pemerintah Gubermen Hindia Belanda untuk mematahakan perjuangan pribumi dan menutup kerang – kerang usaha yang dapat mengancam  mendominasi atau eksistensi ekonomi Belanda.


BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian ini di peroleh kesimpulan bahwa nilai sosial politik yang terdapat dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer adalah sebagai berikut:
a. Politik  Pendidikan
Dari sisi pendidikan dapat di urai dalam kerangka kebijakan pemerintah, strategi mempertahankan hegemoni kekuasaan, dan kebijakan untuk meraih posisi di mata pribumi Hindia, sesuai dengan gambaran novel ini sebagai berikut:
  1. Kebijakan pemerintah Hindia dari golongan liberal untuk menerapkan politik etis pascapemberlakuan sistem rodi.
  2. Untuk meraih suara terbanyak dalam parlemen Belanda, kaum liberal dari partai Vrijzining Demkratische Partij mengadakan kampanye dialogis di Hindia yang diwakili oleh Van Heutz dan Ir. Van Kollewijn. Dihadapan pengusaha dan tokoh intelektual pribumi (Minke) mereka berjanji akan menerapkan kebijakan politik etis.
  3. Kesadaran pribumi dan golongan Arab dan juga Tionghoa akan pendidikan Belanda yang jauh dari tujuan dan sangat diskriminatif, mendorong mereka untuk membuat sekolah sendiri.
  4. Untuk mempertahankan dominasi Belanda pascapemerintahan Van Heutz, Belanda membuat kebijakan untuk membatasi sekolah-sekolah sewasta.
b. Nasionalisme
Kesadaran Minke akibat dominasi politik yang dilakukan penjajah yang tidak memberikan ruang kepada pribumi untuk merdeka, mendorong Minke untuk melakukan aktifitas propaganda kepada legium kraton untuk tidak saling berperang sesama pribumi. Kesadaran nasionalisme Minke semakin kuat ketika bertemu dengan Douwanger dan orasi dokter jawa di sekolah dokter (STOVIA), pertemuan ini pula yang mendorong Minke untuk membentuk organisasi pribumi yang berasaskan nasioanalisme yang tidak di batasi sekat-sekat sukuisme atau kepulauan dan tidak berpandangan Jawa sentris. Setelah kegagalan oraganisasi pertama yaitu Syarikat Prijaji akibat penyalah gunaan keungan, Minke tidak patah semangat Dia membentuk organisasai SDI yang akhirnya mampuh mengantarkan pribumi ketitik kemajuan dari aspek ekonomi dan sedikit memberikan pemahaman kepada pribumi arti kebersamaan, persaudaraan, persatuan, yang kemudian dikemas dalam bentuk nasionalisme.
c. Ekonomi Politik
Keberhasilan pedagang Tionghoa melakukan boikot terhadap pengusaha Eropa akibat penindasan yang dialami pedagan Tionghoa, mengakibatkan kerisis ekonomi di Hindia dan seluruh dunia. Boikot ini menyebabkan seluruh perusahaan Eropa di Hindia mengalami kebangkrutan. Peristiwa ini membuka mata Minke bahwa kekuatan untuk meraih kemerdekaan dan pengakuan secara politik atas eksistensi pribumi terletak pada solidaritas dan sebuah komunitas (organisasi). Maka, Minke berisiatif  untuk membentuk organisasi perdagangan dengan tujuan untuk membangkitkan prekonomian pribumi dan memberi bantua modal kepada pribumi untuk berdagang, serta melakukan boikot ketika terjadi penindasan dari para pedagang Eropa, Tionghoa, dan Arab. Terbentuknya SDI ternyat mampuh meningkatkan tarab hidup masyarakat pribumi, bahkan kemajuan dari aspek perdagangan masyarakat pribumi mendorong perintah Hindia untuk merubah sistem kebijakan ekonomi politiknya dari kerja rodi menjadi pajak usaha.
Keberhasilan SDI dalam bidang perdagangan yang di motori oleh Minke, tidak hanya meramba dunia usaha jual beli tapi juga usaha perkapalan dan pendidikan. Namun, usaha tersebut digagalkan oleh Belanda karna keinginan Belanda kembali memberlakukan monopoli perairan dan melihat SDI sebagai ancaman bagi hegemoni politik Belanda, menyebabkan keinginan untuk membubarkan SDI dan menutup kantor Medan (korang medan), serta mengasinkan tokoh pergerakan yang sangat berbahaya bagi Belanda yaitu Minke.

B. Saran                                                     
Berdasarkan hasil penelitian, terdapat beberapa saran dan usulan sebagai berikut:
  1. Kepada mahasiswa jurusan Bahasa dan sastra Indonesia diharapkan dapat mengembangkan penelitian sastra dengan sebaik-baiknya, khususnya dalam menganalisis nilai sosial politik dalam sebuah novel.
  2. Kepada peneliti selanjutnya yang mengambil novel ini sebagai objek penelitian, di harapkan dapat meneliti dan mengkaji hal-hal lain yang juga sangat penting dalam karya sastra.
  3. Kepada pembaca novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer, di harapkan mengabil sebagai pelajaran bahwa kehidupan ini tidak pernah lepas dari kerangka politik. oleh karena itu, di harapkan hadir dalam benak individu kesadaran keritis untuk mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah.
  4. Kepada pembaca di harapkan dapat memperoleh mamfaat dari hasil penelitian ini.













DAFTAR PUSTAKA

Adhar, Al-Fisah. 1997. Penokohan dalam Novel Harimau-Harima. Karya Mukhtar Lubis. Skripsi. Ujung Pandang: UNISMUH.

Adi, S. Sutjarso. 1993. Penelitian Sastra. Ujung Pandang: FPBS IKIP.

Aminuddin. 1999. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru.

Arikunto, Suharsimi. 1992. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan. Jakarta: Rineka Cipta.

Boef, Agus Hans Den. 2008. Saya Ingin Lihat Semua ini Berakhir: Esei dan Wawancara Pramoedya Ananta Toer. Jakarta: Komunitas Bambu.

Cipto, bambang. 1999. Bebek Dungu Presiden Profesional atau Politik Dinasti. Yogyakarta: Bigraf Publishing.

Depdikbud. 1993. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Duetch. Sistem Politik .(http://www.lintasberita.com./politik/pengertian-politik, Diakses 10 Juni 2009)

Junaedi, Moha. 1994. Apresiasi Sastra Indonesia. Ujung Pandang: CV. Putra Maspul Ujung Pandang.

Kohn, Hans. 1984. Nasionalisme Arti dan Sejarahnya. Jakarta: Erlangga.

Kridalaksana, Harimukti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia.

Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia. Jakarta: Rajawali Perss.

Michel. Sistem Politik. (http://www.lintasberita.com./politik/pengertian-politik, Diakses 10 Juni 2009).

Moeliono, Anto M. Tanpa tahun. Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Indonesia: ancangan alternatif dalam di dalam perencanaan bahasa. Surabaya: Djambatan.


Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada Universitas Press.

Philipus dan Aini, Nurul. 2006. Sosiologi dan Politik. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.

Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Ratna, Yoman Kutha. 2008. Poskolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.  

_______, 2007. Sastra dan Cultural Studies: refresentase fiksi dan fakta. Yogyakarta: Pustaka Pela Sholahuddin, Muhammad. Ekonomi yang Sejahterah, Mandiri dan Berkah. Majalah al-wa’ie. No. 107 Tahun IX 1-31 Juli 2009.

_______, 2007. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sastrawati, Ekarini. 2007. Sosiologi Sastra. Surabaya: UMM Malang.
Semi, M. Atar. 1988. Apresiasi  Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Sholahuddin, Muhammad. Ekonomi yang Sejahterah, Mandiri dan Berkah. Majalah al-wa’ie. No. 107 Tahun IX 1-31 Juli 2009.

Sirozi, M. 2005. Politik pendidikan: Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan Praktik Penyelenggara Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Sudirman, Panuti. 1984. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Suhaeb. 1979. Karaktorologi. Ujung pandang: IKIP.
Sukada, Madu. 1993. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia Masalah      Sistematika Analisis Struktur Fiksi. Bandung: Angkasa.

Sumarjo, Jako. 1984. Memahami Kesusastraan. Bandung: Alumni.
Suparto. 2008. Fungsi dan Pengertian Nilai Sosial (http: //www.pengertian-nilai-sosial-sosiologi-ip, Diakses, 10 Juni 2009)
Suroto. 1989. Apresiasi Sastra Indonesia untuk SMA. Bandung: Erlangga.
Tarigan, Henri Guntur. 1985. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
 Tilaar, H.A.R. 2008. Kebijakan Pendidikan: pengantar untuk memahami kebijakan pendidikan dan pendidikan sebagai kebijakan publik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Toer, Pramoedya Ananta. 2007. Jejak Langkah. Jakarta Timur: Lentera Dipantara.
Wellek, Rene dan Weren, Austin. 1993. Teori Kesusastraan). Jakarta : PT. Gramedia.

Wildan. 2003. nasionalisme dalam novel-novel A. Hasjmin. Makala kongres bahasa X

Woods. 2008. Pengertian Nilai Sosial. (http://www. Pengertian- nilai- sosial-Ip, Diakses, 10 Juni 2009)

Zaidan, Abdul Razak, dkk. 1994. Kamus Istilah Sastra. Jakarta : Balai Pustaka.















RIWAYAT HIDUP

Muh. Risal Hamid, lahir 12 Mei 1986 di Kolaka Utara, Sulawesi
Tenggara. Penulis anak ke 4 dari 7 bersaudara dari pasangan AbdulHamid (alm) dan St. Nuri.
Latar belakang pendidikan, penulis Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD I Kalu-Kaluku, selanjutnya SLTP Negeri 3 Kab. Kolaka Utara tahun, tamat tahun 2003 sebagai lulusan terbaik ke IV. Pada tahun yang sama, penulis hijrah ke Makassar meninggalkan kampung halaman untuk mengenyam pendidikan yang lebih baik. Keterbatasan informasi mengakibatkan penulis melanjutkan study di SMU Wahyu Makassar, tamat tahun 2005 sebagai lulusan terbaik ke II dari 450 siswa jurusan IPS.
Tahun 2005 penulis kuliah di Universitas Muhammadiyah Makassar, jurusan Bahasa dan sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Kesadaran akan pentingnya pendidikan bagi generasi bangsa memotivasi penulis untuk mengambil Fakultas keguruan dengan satu harapan kelak dapat menjadi pendidik profesional. Selain kuliah, penulis juga banyak bergerak dalam dunia organisasi baik internal maupun eksternal. Diantaranya, ketua bidang advokasi HMJ Bahasa dan sastra Indonesia priode 2006-2007, staf bidang jaringan HMI MPO cabang Makassar priode 2007-2008, ketua kordinator komisariat Makassar selatan HMI MPO cabang Makassar priode 2007-2008, ketua bidang wacana HMI MPO cabang Makassar priode 2008-2009, ketua remaja masaji Hj. St. Saerah priode 2006-sekarang, Sekjen Rausyanfiqr comunity, ketua Lembaga Kekaryaan Ikatan Mahasiswa Sulawesi Tenggara priode 2009-2010 dan ketua Departemen Pengkaderan Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Kolaka Utara priode 2008-2010.
Tahun 2009, penulis berhasil menyelesaikan studi di Universitas Muhammadiyah Makassar, dengan judul skripsi Analisis Nilai Sosial Politik dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer.
















BIOGRAFI SINGKAT PRAMOEDYA ANANTA TOER

Pramoedya Ananta Toer, lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah. Ia anak sulung dari sembilan bersaudara, ayahnya adalah nasionalis tulen yang sebelum perang ikut dalam berbagai kegiatan, tetapi secara politik tergolong sayap kiri. Hampir separuh hidup Pramoedya di habiskan dalam pahitnya penjara sebagai tahanan politik, sebuah wajah semesta yang paling purba bagi manusia bermartabat. 3 tahun dalam pennjara kolonial Belanda, 1 tahun dalam penjara orde lama, dan 14 tahun yang melelahkan dalam penjara orde baru. 13 Oktober 1965 – Juli  1969, di tahan di pulau nusakambangan Juli 1969 – Agustus 1969, di pindahkan di pulau buru Agustus 1969 – 12 Nevember 1979, Magelang / Bayuwangi November – Desember 1979 tanpa proses pengadilan. Pada tanggal 21 Desember 1979, Pramoedya mendapat surat pembebasan dan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam Gerakan separatis 30 September  Partai Komunis Indonesia (G 30 S/ PKI), walaupun sudah bebas Ia masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara sampai tahun 1999 dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu selama kurang lebih 2 tahun. Beberapa karyanya lahir dari tempat purba ini, di antaranya tetralogi pulau buru, (Bumi manusia, anak semua bangsa, jejak langkah, dan rumah kaca).
Latar belakang pendidikan pramoedya ananta toer adalah selepas sekolah dasar, pramoedya masuk sekolah mulo. Karena kemiskinan keluarga karena kemiskinan keluarga, ia tidak lebih dari sampai kelas 2 memang ia menamatkan pendidikan sekolah teknik di surabaya sesudah jepang menduduki jawa dan ibunya meninggal, ia membiyai keluarganya dengan berjualan rokok dan tembakau untuk beberapa waktu lamanya. Ia lalu meninggalkan belora ke jakarta, bergabung dengan pamannya mudiklau di kamoung kebayoran. Disana ia belajar mengetik di kantor berita jepang lomei dijalan pos, dapat mengukuti pendidikan stenograf, di samping untuk orang dewasa beberapa waktu lamanya.
            Sesudah proklamasi republik, Pramodya ambil bagian aktif dalam perjuangan kemerdekaan, dalam dinas penerangan tentara yang memberinya pangkat letnan 2 pada pertengahan tahun 1946. namun pada akhur tahun itu juga, ia memutuskan keluar dari tentara akibat konflik internak yang hebat.
            Mulai awal 1947, Pramodya bekerja sebagai redaktur dan penerjemah seksi publik Indonesia dari de voice of free Indonesia. Paska kemerdekaan, tepatnya tahun  1960 masa pemerintahan orlap pramodya mempublikasikan penelitiannya tentang posisi orang Tionghoa di Indonesia yang sangat kritis sekitar diskriminasi terhadap mereka. Penelitian ini kemudian mencobloskannya di dalam orde lama pada tahun yang sama Pramodya menjadi ketua konfrensi pengarang afro – asia dan ia memeberikan kuliah sastra di universitas respublican  di jakarta. Semenjak tahun  1959, ia menjadi anggota lekra yang merupakan lemabaga seni bentukan paratai komunis Indonesia.
            Selama dalam penjara, sebagai tahanana politik ia tetap menulis. Penjara tak membuatnya berhenti sejenakpun menulis. Baginya, menulis adalah tugas nasional dan ia konsisten terhadap semua akibat yang kia peroleh. Tak henti-hentinya karyanya dilarang dan di bakar.
            Dari tangannya yang dingin, telah lahir lebih dari 50 karya yang telah diterjemahkan dalam lebih dari 35 bahasa asing. Adapun karya- karyanya di antaranya adalah di tepi kali bekasih 1947, Perburuan 1949, Keluarga Gerilya 1950, Mereka yang Dilumpuhkan 1951, Belora 1951, Bukan Pasar Malam 1951, Korupsi 1954, Cerita dari Jakarta: sekumpulan karikatur keadaan dan manusianya 1957, Percikan Revolusi 1950, Gadis Pantai 1987, Nyanyian Sunyi Seorang Bisu 1983, Arus Balik 1979, Arok Dedes 1976, Bumi Manusia 1980, Jejak Langkah 1985, Rumah Kaca 1988, Sang Pemula 1985, Anak Semua Bangsa 1983, dan masih banyak lagi karya Pramodya lainnya. Karena kiprahnya di gelanggang sastra dan kebudayaan, Pramodya dianugrahi berbagai penghargaa internasional diantaranya: the pen freedom-to writh award pada 1988 dan ramon mag saysay award pada 1995 sampai kini ia adalah satu-satunya wakil Indonesia yang namanya berkali-kali masuk nama kandidat pemenang nobel sastra.









SINOPSIS
            Novel Jejak Langkah merupakan novel ke tiga dari tetralogi pulau buru karya Pramoedya Anata Toer  setelah novel bumi manusia dan anak semua bangsa.secara singkat digambarkan bahwa bumi manusia merupakan periode penyemaian gerakan dan kegelisahan Minke atas realitas sosial Hindia, kemudian Anaka Semua Bangsa adalah periode ovserpasi atau turun kebawa mencari serangkaian spirit lapangan dan kehiupan arus bawa pribumi yang tidak  berdaya melawan kekuatan raksasa Eropa. Namun, novel yang ketiga Jejak Langkah adalah pengorganisasian dan perlawana Minke dalam novel ini sebagai tokoh utama mulai menggerakan bidang-bidang yang lebih banyak. Minke mendirikan mingguan pertama pribumi dalam bahasa melayu dengan nama “medan” mingguan ini memperoleh begitu banyak sukses, hingga segera Minke dapat merubahnya menjadi harian yang kemudian disebut sebagai koran medan priyayi. Kesadaran nasionalis yang dimiliki Minke mendorongnya mendirikan berbagai organisasi kepentingan pribumi, diantaranya sarekat priyai dan sarekat dagang islamiyah. Selanjutnya, mingke juga membangun komunikasi dengan orang-orang eropa dan pribumi yang peduli terhadap nasip pribumi,seperti warta wati Marya Van Zeggelen, Teerhar, dan Raden Ayu kartini. Bahkan untuk memudahkan aktifitasnya minke juga membangun komunikasi dengan gubermen jendral Van Heutz.
            Van Heutz semasa yang menjadi gubermen jendral berusaha berhubungan secara teratur dengan Minke. Dia meminjamkan buku multa tuli yang disayanginya dan memberikan bantuan keuangan kepada pribumi muda ini untuk melaksanakan rencana-rencana. Namun, Minke menyadari adanya pembatasan-pembatasan politik etis Van Heutz yaitu menyatukan hindia dibawah satu komando sentralistik, saat kerajaan–kerajaan otonom tunduk kepada kewibawaan batavia. Untuk merealisasikan keinginan Van Heutz melakukan infasi milter kepada kerajaan-kerajaan yang belum tunduk dengan strategi adu domba. Peristiwa ini mambangkitkan semangat nasionalisme Minke.
            Politik etis sangat bertentangan dengan gagasan – gagasan Minke mengenai Hindia yang merdeka, tempat semua orang dinilai setara. Disamping penguasa belanda dalam perjuangan untuk mewujudkan gagasan – gagasan itu, ia menyadari juga bahwa orang-orang jawa yang mapan menetang dirinya. Perpecahan intern pendududk pribumi merupakan rintangan besar bagi terwujudnya gagasan-gagasan mingke. Untuk bahasa koran, Ia pilih bahasa melayu karena dengan demikian ia dapat menjangkau bangsa-bangsa lainnya, selain bangsa jawa. Sebagian orang jawa keberatan dengan hal itu, karena mereka memandang bahsanya sendiri lebih tinggi dari yang lain. Salah satu organisasi tempat mingke terlibat yaitu Boedi Oetomo, hanya menerima kaum cendikiawan jawa. Tentu Ia memandang ini sebagai penghalang yang merintangi tumbihnya nilai-nilai nasionalisme.
            Organisasi yang pertama didirikannya adalah sarekat priyai yang terdiri dari kaum anteler atau proletariat ala Marx yang sangat berbeda dengan Boedi Oetomo. Segera kemudian mingke melihat bahwa kelompok ini yang paling kurang dapat digerakan. Namun, setelah melihat kaum proletariat, berkepentingan terhadap status quo, dan takut mengambil resiko. Ia mencari unsur pengikat dalam masyarakat pribumidan akhirnya karena alasan praktis memilih islam sebagai unsur yang ideal untuk jadi medium pemersatu pribumi, maka dibentuklah SDI (sarekat dagang islamiyah) dengan landasan nasionalisme yaitu kebersamaan, perasaan senasib, dan sebangsa.
            Usaha-usaha Mingke semakin hari semakin besar. Korang medan priyai telah bermetamorfosis menjadi korang yang terbesar di hindia yang banyak mempengaruhi opini publik. Selain itu, SDI juga telah melebarka sayap-sayap usahanya yang tidak hanya terbatas pada aspek perdagangan tetapi juga aspek pendidikan dan usaha perkapalan. Bahkan melalui korang medan, Minke melakukan propaganda untuk melakuka perlawanan kepada pengusaha-pengusaha Eropa atas kebijakan untuk menurnkan upah dan pembatasan tenaga kerka. Melihat realitas tersebut pemerintah bertindak kantor medan priyai tutup dan Minke ditangkap dan diasingkan di luar pulau Jawa.









Mungkin ku tak mampu mengusir gelap ini
Tapi dengan nyala yang redup ini
Ku ingin tunjukkan beda gelap dan terang
Kebenaran dan kebatilan
Orang yang menatap cahanya, meski temaram
Kan  menyala terang di hatinya yang dalam
Makassar, 12 November 2009
Sajak untuk Tuhan

Tuhan ku sapa engkau di waktu senja
Ku lantungkan kidung kerinduan-ku
Dalam desahan nafas tasbih-ku
  Tuhan singkaplah tabir ini
   Agar aku dapat meraih ma’rifat-Mu
   Mengayam Ros dalam taman-taman hati-Mu
Tuhan antarkan aku kemi’rajmu
Biarkan aku bertanya tentang keadilan dibumi-Mu
Biarkan aku bertanya tentang keadilan pejabat-Mu
Tuhan sajak ini ku-rakit untuk-Mu
Biar mereka tau untuk meraih-Mu
Tidak bisah dengan penindasan dan kezaliman
(makassar,12 November 2009)

Tuhan sejak ku-mengenal-Mu
Aku tersesak dalam langkah-ku

Kegelapan hanya jejak yang tertinggal
Menuju bingkai kesempurnaan.
(Muh. Risal Hamid )