ANALISIS NILAI SOSIAL POLITIK DALAM NOVEL JEJAK LANGKAH KARYA PRAMOEDYA
ANANTA TOER
SKRIPSI
Diajukan
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh
Gelar
Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas
Muhammadiyah Makassar
Oleh
MUH. RISAL HAMID
10533 3087 05
JURUSAN
BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS
KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
MUHAMMADIYAH MAKASSAR
2009
PERSETUJUAN
PEMBIMBING
Nama : Muh. Risal Hamid
Nim :
10533 3087 05
Juruan : Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas : Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Judul skripsi : Analisis Nilai Sosial Politik
Dalam Novel Jejak Langkah
Karya
Pramoedya Ananta Toer
Setelah
diperiksa dan diteliti ulang, skripsi ini telah memenuhi persyaratan untuk
ujian meja pada jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
Makassar, November 2009
Disetujui:
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs. H. Tjoddin, SB Drs. Abd. Munir K, M.Pd
Mengetahui:
Dekan FKIP Ketua Jurusan Pendidikan
Universitas Muhammadiyah
Makassar Bahasa dan Sastra Indonesia
Dr. A. Sukri Syamsuri, M. Hum. Dra.
Munirah, M.Pd
NBM. 858 625 NBM. 951 576
MOTO
TIDAK ADA KAWAN SEJATI
TANPA MUSUH SEJATI
JIKA TIDAK MAMPU
MEMBENCI
APA YANG KITA BENCI,
KITA TIDAK AKAN MAMPU
MENCINTAI
APA YANG KITA CINTAI
KETENGAN ADALAH SUMBER KEKUATAN YANG TERPENDAM
PENINDASAN MERUPAKAN PUPUK PERLAWANAN,
IKHTIAR DAN DOA ADALAH MEDAN JIHAT
Kusemai tulisan ini
dengan tintah perjuangan
Dibalik
saf-saf kerta untuk kedua
Orang
tua tercinta, saudara-saudariku
MUTIARA HIKMAH
Ilmu
Tanpa Agama Buta
Dan
Agama Tanpa Ilmu Lumpuh
(Pepatah
Arab)
Allah Meninggikan Orang-Orang Yang Beriman Di
Antar Kamu Dan Orang-Orang Berilmu Pengetahuan Beberapa Derajat
(Qs.Al-Mujadila: 11)
Allah
Tidak Akan Membebani Seseorang Melaingkan Sesuai Dengan Kemampuannya
(Qs.Al-Baqarah:286)
Karya
ini kurakit dan kupersembahkan kepada
Ayahanda
tercinta yang kini berada di alam kedamaian
Ibunda yang telah lelah mengukur deretan masa
Untuk
mengais keping-keping logam untukku. Serta………
ABSTRAK
Muh. Risal Hamid, 2009. Nilai Sosial
Politik dalam Novel Jejak Langkah Karya Pramoedya Ananta Toer. Skripsi Fakultas
Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
Penelitian
ini bertujuan mendeskripsikan nilai sosial politik yang terdapat dalam novel
Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer dengan menggunakan pendekatan teori poskolonialisme. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yakni
mengumpullkan data dari sumber yang ada hubungannya dengan penulisan skripsi
ini. Sumber data pada penelitian ini adalah keseluruhan isi cerita dalam novel Jejak Langakah karya Pramoedya Ananta
Toer yang menyangkut nilai sosial politik. Adapun teknik yang digunakan dalam
penelitian ini adalah observasi tidak langsung atau biasa disebut dengan teknik
analisis. Berdasarkan hasil analisis data yang dihimpun, peneliti menemukan dan
menunjukkan bahwa novel Jejak Langkah
karya Pramoedya Ananta Toer mengandung nilai sosial politik seperti: politik
pendidikan, nasionalisme, dan ekonomi politik.
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah senantiasa penulis ucapkan
kehadirat Allah swt, berkat rahmat dan hidayah-NYA, sehingga skripsi yang
berjudul Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer dapat di selesaikan.
Skripsi ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat
memperoleh gelar sarjana pendidikan pada jurusan pendidikan bahasa dan sastra Indonesia Fakultas Keguruan dan
Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar.
Sejak awal hingga akhir penyususan skripsi ini,
penulis tidak terlepas dari berbagai rintangan. Namun, berkat rahmat dan
karuniah Allah semua rintangan dapat diatasi. Penulis sadar bahwa keberhasilan
penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari motivasi dan arahan dari pembimbing.
Oleh karena itu, penulis patut
mengucapkan banyak terimakasih kepada Drs. H. Tjoddin SB. dan Drs. Abd.
Munir K., M.Pd. sebagai pembimbing I dan pembimbing II, yang dengan ikhlas
meluangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk membimbing penulis dalam
menyelesaikan skripsi.
Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Dr.
Irwan Akib, S.Pd., M.Pd. Rektor Universitas Muhammadiyah Makassar, Dr. A.
Syukri Syamsuri, M.Hum. Dekan Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Makassar, dan Dra. Munira,
M.Pd. ketua Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastar Indonesia .
Ucapan terimakasih yang tak terhingga penulis ucapkan
kepada kedua orang tua. Ayahanda Abd. Hamid (Alm) dan ibunda St. Nuri, atas doa
dan tetesan keringat serta air mata untuk menyekolahkan ananda, semoga Allah memuliakan ayahanda dan ibunda. Ucapan terimakasih kepada kakanda
Syarifuddin, S.Pd., Rosyani, A. Muh. Tawil, Hastin, Isdar, Ense, dan
Misbahuddin, serta kepada adik-adik saya. Risawan, Herwan, dan Yusril. Atas dorongan
dan motivasi serta bantuan materi yang dikorbankan selama saya kuliah. Kepda
teman-teman angkatan 2005 Ratnawati, Raming ode, Rajja, Jumriani, Ramadhan,
Irfan, yang telah merelakan laktopnya untuk penulis pergunakan selama menyusun
skripsi. Kepada Lia, Fatmawati, Anti, Tiwi, dan Riswayunita. Yang telah
merelakan kosnya untuk penulis tempati sebagai tempat istrahat selama
penyusunan skripsi. Kepada usd. Muliadi, Mamat dan Hanafi. Yang selalu
memberikan pesan-pesan spiritual kepada
penulis. Serta teman-teman yang tidak tercantum namanya. Penulis
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuannya, semoga niat tulus teman-teman
mendapat pahala disisi Allah swt.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini
masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis berlapangdada untuk menerima
kritik dan saran dari semua pihak demi kesempurnaan skripsi ini.
Akhirnya, penulis berharap semoga skripsi ini dapat
bermamfaat khususnya bagi diri pribadi dan pembaca pada umumnya.
Makassar, November 2009
Penulis
SURAT
PERNYATAAN
Saya
yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Muh. Risal Hamid
Stambuk : 10533 3087 05
Jurusan :
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Dengan Judul : Anlisis Nilai Sosial Politik dalam Novel Jejak Langkah Karya Pramoedya Ananta Toer
Dengan ini menyatakan bahwa:
Skripsi yang saya ajukan
di depan tim penguji adalah asli hasil karya sendiri, bukan
hasil jiplakan dan tidak
di buat oleh siapapun.
Demikian
pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan saya bersedia menerima sanksi
apabila pernyataan ini tidak benar.
Makassar, 16 November 2009
Yang Membuat Pernyataan,
Muh. Risal Hamid
Diketahui oleh,
Pembimbing I
Pembimbing II
Drs.
H. Tjoddin SB. Drs. Abd. Munir K.,M.Pd.
DAFTARA ISI
Halaman Judul ………………………………………………………………… i Halaman Pengesahan
………………………………………………………….. ii
Halaman Persetujuan
…………………………………………………………. iii
Moto
…………………………………………………………………………… iv
Mutiara Hikmah
………………………………………………………………. v
Abstrak
………………………………………………………………..……… vi
Kata Pengantar
………………………………………………...……………… vii
Daftar Isi ………………………………………………...……………………..
x
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah ………………..……………………………
1
B. Rumusan
Masalah …………………………………………………… 7
C. Tujuan Penelitian
……………………………………………………. 7
D. Mamfaat Penelitian
………………………………………………….. 7
BAB
II TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA
PIKIR
A. Tinjauan Pustaka
……………………………………………………. 8
B. Kerangka
Pikir ………………………………………………………. 39
BAB
III METODE PENELITIAN
A. Variabel dan
Desain Penelitian ………………………………………
42
B. Definisi
Operasional Variable ………………………………………..
43
C. Data dan
Sumber Data ………………………………………………. 45
D. Teknik
Pengumpulan Data …………………………………………..
46
E. Teknik
Analisis Data …………………………………………………
46
BAB
IV HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
A. Penyajian
Hasil Analisis Data ………………………………………..
50
B. Pembahasan
………………………………………………………….. 65
BAB
V PENUTUP
A. Kesimpulan
…………………………………………………………… 78
B. Saran ………………………………………………………………….. 80
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………… 82
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………………... 85
LAMPIRAN ……………………………………………………………………..
86
JADILAH
IDEALIS DI SAAT ORANG PRAGMATIS
KARNAH
KESUKSESAN YANG DIRAIH DENGAN TETESAN AIR MATAH
JAUH
LEBIH NIKMAT DARI PADA SECANGKIR KAPUCINO
JADILAH
ORANG YANG SELALUH BERBAGI
KARNA
DENGAN BERBAGI SESEORANG MAMPUH MEMAKNAI
KETIADAAN
KEHAMPAAN
BUKAN BERARTI KETIADAAN
NAMUN
KETIADAAN AKAN MELAHIRKAN KEHAMPAAN
SESUTU
AKAN BERARTI DALAM HIDUP INI
KETIKA
SESEATU ITU RAIB DALAM KEHIDUPAN KITA
MUHAMMAD RISAL HAMID
DINDA
KAMU TERLAMBAT HADIR DI MUARA HATIKU
UNTUKMU
MAWAR YANG TAK BERWAJAH
KULANTUNGKAN
SAJAK PENYESALAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Sastra adalah roh kebudayaan, sastra
lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya
ketegangan atas kebudayaan. Sastra sering juga di tempatkan sebagai potret yang
mampuh mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu dan dapat memancarkan semangat zamannya. Dari
sinilah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan,
ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan
kebudayaan bangsa.
Asumsi di atas memberikan gambaran bahwa
karya sastra yang berbentuk prosa dalam hal ini novel yang hadir di tengah
masyarakat merupakan representasi dari realitas kehidupan sosial, taradisi,
kepercayaan, dan ideologi. Oleh karena itu, narasi yang kemudian hadir dalam
konstruksi-konstruksi novel adalah pengejawantahan dari situasi yang sedang
terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Pada hakikatnya, unsur pembangun karya
sastra terbagi atas dua bahagian yaitu unsur instriksik dan unsur ekstrinsik.
Unsur instriksik atau unsur struktural merupakan unsur pembangun karya sastra
dari dalam
sedangkan unsur ekstrinsik merupakan unsur pembangun karya sastra dari
luar. Unsur ekstrinsik karya sastra memiliki hubungan erat dengan disiplin ilmu
lain seperti filsafat, politik, budaya, pendidikan dan disiplin ilmu lainnya.
Seperti yang dikemukaka Mahayana, (2007: 32) bahwa terjadinya perubahan
sosial-politik-ekonomi-budaya, secara langsung ikut mempengaruhi gaya dan
tema-tema yang diangkatnya. Unsur-unsur tersebut hadir dalam karya sastra tidak
serta merta sebagaimana unsur instriksik yang kehadirannya dalam karya sastra
merupakan keharusan, tetapi kehadirannya merupakan interprestasi terhadap
realitas sosial yang dialami oleh penulis sehingga dalam mengkaji karya sastra
prosa dalam hal ini novel tidak akan tuntas ketika hanya melihat dari unsur
dalamnya atau instrinsiknya saja.
Proses terbentuknya karya sastra prosa
dalam hal ini novel, pada hakikatnya dilatarbelakangi oleh berbagai macam problem
psikologis, sosial, kultural, spritual, bahkan juga idiologis yang justru
sering mempengaruhi struktur karya tersebut. Ketika kita membaca karya sastra
prosa berupa novel, akan kita jumpai betapa problem di luar teks menawarkan
medan tafsir yang menuntut bantuan disiplin ilmu lain. Disinilah faktor
ekstrinsik memegan peran penting dalam menuntun pembaca memahami makna teks
lebih utuh.
Salah satu problem prioritas yang sering
mewarnai karya sastra jika ditinjau dari presfektif ekstrinsik adalah problem sosial.
Kehadiran karya sastra prosa dalam hal
ini novel dalam kehidupan masyarakat mewakili setiap lompatan-lompatan atau
perubahan sosial dalam kurung waktu tertentu sehingga dapat disimpulkan bahwa
setiap karya sastra yang hadir tidak terlepas dari problem sosial.
Novel jejak langkah karya Pramoedya
Ananta Toer merupakan novel ketiga dari tetralogi pulau buru dengan menggunakan
latar belakan sejarah sekitar abad ke-19 atau awal abad ke-20 yang berusaha
menyoroti dinamika sosial politik yang terjadi pada saat itu di Hindi Belanda
atau indonesia saat ini. Sesuai dengan judulnya jejak langkah dimaksudkan untuk
merepresentasikan jejak-jajak langkah perjuangan manusia indonesia dalam
melakukan pengorganisasian dan perlawanan atas penjajahan serta diskriminasi
terhadap pribumi.
Kemiskinan, kemelaratan, diskriminasi
hukum, nasionalisme, budaya sentralistik, dan pendidikan merupakan rangkaian
masalah dalam novel ini yang nantinya
menimbulkan perlawanan. Mobilisasi segala daya untuk melakukan perlawanan atas
bercokolnya kekuasaan Hindia atau Belanda yang sudah berlarut-larut umurnya,
perlawanan dalam konteks novel ini tidak dilakukan dalam bentuk bersenjata atau
pemberontakan tetapi dengan jalan jurnalistik dan organisasi-organisasi sosial.
Perpaduan jurnalis dan organisasi, tidak hanya membangkitkan nasionalisme
disetiap kantong perlawanan di daerah tetapi juga menusuk penjajah di
pusat-pusat pemerintahan. Uraian di atas merupakan gambaran realitas kehidupan
perlawanan bumi putra yang sifatnya sosial politik tampa aksi kekerasan pada
awal abad ke-20 yang di abadikan Pramoedya Ananta Toer dalam novel Jejak Langkah.
Menanggapi karya-karya Pramoedya,
Sastrawati (2003: 119) mengatakan bahwa hampir semua karya Pramodya berbau
politik. Tidak terkecuali novel Jejak
Langkah sehingga pada tahun 1988 novel ini diambil dari pasaran dan
diperintahkan kepada setiap warga negara yang memiliki novel-novel itu untuk
menyerahkannya. Jaksa agung menilai novel itu dengan kemampuan pena yang
sempurnah dan licin dari penulisnya dengan cara yang halus dan tersembunyi di
selipkan konsep-konsep Marxis dengan menggunakan data-data sejarah. Menurut
hemat penulis, fatwa yang dikeluarkan jaksa agung pada masa rezim orde baru
terhadap novel Jejak Langkah tidak
sesuai dengan realitas isi novel tersebut. Justru novel Jejak Langkah merupakan novel yang sarat dengan nilai pendidikan
dan sangat humanis walaupun tidak dipungkiri di dalamnya ada kepentingan politi
tetapi hanya sebatas pandangan penulis dalam memandang Indonesia pada masa lalu
yaitu awal abad ke-20 dan hubungannya dengan perilaku politik penguasa
indonesia masa sekarang yang tidak ada bedanya dengan masa kolonial.
Disisi lain kehadiran novel Jejak Langkah memiliki tujuan untuk
mengungkapkan sejarah penindasan masyarakat Indonesia, perampasan hak asasi
manusia, dan pembatasan kreatifitas berpikir, serta berkarya melalui
lembaga-lembaga kebudayaan yang dibentuk Belanda. Hakikatnya novel tersebut
secara tidak langsung melakukan keritik terhadap sistem diktatorial orde baru.
Melalui novel Jejak Langkah pengarang
menggunakan analisis perbandingan antara penjajahan pada awal abad ke-20 dengan
masa kemerdekaan tepatnya masa pemerintahan Soeharto untuk mengungkapkan
bentuk-bentuk penindasan dan pelanggaran
hak asasi manusia sehingga dengan kehadiran novel ini diharapkan mampuh membuka
mata dan membangkitkan kesadaran keritis masyarakat atas hegemoni pemerintah
orde baru untuk melakukan perlawanan. Sebagaimana ungkapan yang sangat populer bagi
Toer (dalam Boef, 2008: i) saya berharap bahwa pembaca di Indonesia, setelah
membaca buku saya, merasa berani, merasa dikuatkan. Dan kalau ini terjadi, saya
menganggap tulisan saya berhasil. Itu adalah suatu kehormatan bagi seorang
pengarang, terutama bagi saya. Lebih berani. Berani. Lebih berani.
Novel ini mencoba memotret berbagai
problem sosial politik yang sangat sensitif pada masa pemerintahan kolonial
Belanda. Diantara problem tersebut adalah problem pendidikan, ekonomi, budaya,
dan nasionalisme.
Keberhasilan kaum sosialis memperoleh
suara terbanyak dalam parlemen Belanda, melahirkan kebijakan yang lebih
prokepada pribumi diantaranya lahir kebijakan politik etis yang salah satunya
adalah dibidang pendidikan. Walaupun pribumi berhak mendapat pendidikan
moderen, namun Kebijakan pada aspek pendidikan yang di terapkan pemerintah Belanda
sangat diskriminatif dan sarat dengan kepentingan politik penjajah. Pada aspek
ekonomi, monopoli perdagangan yang didominasi kaum pemilik modal dan
pemberlakuan tanam paksa kepada pribumi semuanya hanya untuk kepentingan kolonial
atau penjajah. Begitupun pada aspek budaya juga terjadi diskriminasi yang
sifatnya sentralistik sehingga melahirkan sifat kedaerahan.
Penerapan sistem pendidikan moderen walaupun sangat
diskriminatif dan sarat dengan muatan sosial politis. Tetap, mampu
membangkitkan kesadaran pribumi, akumulasi diskriminasi pada seluruh aspek
kehidupan dan kesadaran politis yang sedikit telah terbangun dalam benak kaum
terdidik melahirkan sikap nasionalisme untuk melakukan perlawanan melalui
perhimpunan-perhimpunan atau organisasi-organisasi sosial politik.
Berdasarkan uraian di atas, ada lima hal
yang mendasari karya ini menarik untuk dikaji. Pertama, sebagai akibat kekayaan
informasi yang di sampaikan, kedewasaan, baik dalam menggunakan bahasa maupun
menggali isi. Kedua, produktivitasnya. Ketiga, kontorversi novel ini sebagai
akibat keterlibatan penulisnya dalam organisasi lekra (lembaga kebudayaan
rakyat) yang merupakan lembaga seni bentukan PKI sehingga beberapa dasawarsa
karya-karyanya di larang beredar, tetapi menjadi karya terlaris setelah
reformasi. Keempat, keberhasilan karyanya menarik minak pembaca di dunia
sehingga karya-karyanya diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Kelima, kehidupan
penulisnya yang selama hidupnya di habiskan dalam penjara sebagai tapol atau tahanan
politik.
Berdasarkan latar belakang masalah di
atas penulis mengangkat judul Analisis Nilai Sosial Politik dalam Novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta
Toer, dengan alasan bahwa nilai sosial politik dalam novel tersebut memiliki
nilai-nilai edukatif yang erat hubungannya kehidupan pembaca dan kehidupan
sosial masyarakat pada umumnya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang
dikemukakan di atas, maka yang menjadi masalan
dalam rumusan masalah di dalam penelitian ini adalah bagaimanakah nilai
sosial politik yang terdapat dalam novel Jejak
Langkah karya Pramoedya Ananta Toer?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengungkapkan
atau mendeskripsikan nilai-nilai sosial politik yang terdapat dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedaya Ananta Toer.
D. Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian yang diperoleh
berdasarkan tujuan penelitian ini, maka diharapkan dapat:
1.
Mengambil pedoman dari pola-pola
nilai pendidikan yang baik, dan menghindari nilai pendidikan yang tidak sesuai dengan adat yang berlaku
lewat cerita yang dibacanya.
2.
Melanjutkan penelitian, bermanfaat
sebagai bahan perbandingan dengan karya-karya ilmiah lainnya.
3.
Diharapkan memberikan sumbangsi
terhadap orang banyak.
4.
Memberikan konstribusi terhadap
perkembangan khasana ilmu pengetahuan sastra pada umumnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA
PIKIR
A. Tinjauan Pustaka
Keberhasilan suatu penelitian tergantung
teori yang mendasarinya. Selain itu, teori merupakan landasan suatu penelitian
untuk mencapai target yang diinginkan dalam penelitian ini tersebar diberbagai
pustaka yang erat kaitannya dengan pokok permasalahan.
Berdasarkan uraian di atas, aspek teoritis
yang akan dibicarakan pada tinjauan pustaka ini adalah aspek-asapek sosial
politik. Namun, sebelum mengurai aspek-aspek sosial politik terlebih dahulu
penulis mengurai unsur karya sastra dalam prespektif intrinsik dengan tujuan
untuk memperkaya khasana konsepsi tentang karya sastra dalam hal ini novel.
1. Pengertian Novel
Secara etimologi, novel berasal dari bahasa
Latin novellus yang diturunkan dari
kata novles yang berarti baru.
Sedangkan secara istilah novel adalah sebagai salah satu jenis karya sastra
dapat didefinisikan sebagai pemakaian bahasa yang indah yang menimbulkan rasa
seni pada pembaca. Seperti yang dikemukakan oleh Sumardjo (1984: 3) yang
menurutnya bahwa novel (sastra) adalah ungkapan pribadi manusia merupakan
pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk
gambaran konkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa.
Berbeda dengan Sumardjo, Abrams
(dalam Nurgiyantoro, 2005: 9) mengungkapkan bahwa secara harfiah novella
berarti sebuah barang baru yang kecil, dan kemudian diartikan sebagai cerita
pendek dalam bentuk prosa.
Menurut Adhar (1997: 9). Novel merupakan suatu
bentuk karya sastra yang dapat dijadikan sebagai sarana untuk menyampaikan ide
atau gagasan pengarang, sedangkan menurut Wellek dan Austin (1990: 182-183). Novel adalah gambaran dari kehidupan dan
perilakunya sehingga terjadi perubahan jalan hidup baru baginya.
Novel adalah suatu jenis karya sastra yang
berbentuk naratif dan berkesinambungan ditandai oleh adanya aksi dan reaksi
antar tokoh, khususnya antara antagonis dan protagonis seperti diungkapkan oleh
Semi (1988: 36). Menurut Reeve (dalam Wellek, 1993: 282) fiksi (novel)
merupakan salah satu bentuk narasi yang mempunyai sifat bercerita: yang
diceritakan adalah manusia dengan segala kemungkinan tentangnya. Oleh karena
itu ciri utama yang membedakan antara narasi (termasuk fiksi atau novel) dengan
desripsi adalah aksi, tindak tanduk atau pelaku.
Uraian di atas dapat dijabarkan bahwa pada
dasarnya novel berisi tentang cerita kehidupan tokoh yang diciptakan secara
fiktif, namun dinyatakan sebagai suatu yang nyata. Nyata yang dimaksudkan dalam
hal ini bukanlah hal yang merujuk pada fakta yang sebenarnya, melainkan nyata
dalam arti sebagai suatu kebenaran yang dapat diterima secara logis hubungan
antara sesuatu peristiwa dengan peristiwa lain dalam cerita itu sendiri, dan
merupakan alat untuk memberikan informasi kepada peminat sastra. Novel juga
diartikan sebagai karangan prosa yang panjang mengandung rangkaian cerita
kehidupan seseorang dengan orang-orang disekelilingnya dengan menonjolkan watak
dan sifat setiap pelaku (Depdibud, 1993: 694).
Berdasarkan uraian di atas maka dapat
disimpulkan bahwa novel merupakan cerita berbentuk prosa dalam ukuran luas yang
menyajikan lebih dari objek berdasarkan stuktur tertentu.
Dengan demikian, novel sangat penting
dipelajari dan dikaji untuk mendapatkan pengetahuan tentang hal yang diungkapkan
pengarang serta landasan sosiologis yang mempengaruhi kehidupan pengarang.
2. Jenis Novel
Dalam arti luas, novel adalah cerita berbentuk
prosa dalam unsur yang luas. Ukuran yang luas di sini dapat diartikan cerita
dengan plot (alur). Namun, yang kompleks, suasana yang beragam, dan setting
cerita yang beragam pula. Namun ukuran luas disini juga mutlak demikian,
mungkin yang luas hanya saah satu unsur fiksi saja, misalnya sedang karakter
dan setting hanya satu saja.
Sumardjo (1984: 16) membagi novel itu atas tiga
jenis, yaitu novel percintaan, novel petualangan dan novel fantasi.
a.
Novel percintaan melibatkan
peranan tokoh wanita dan pria seimbang, bahkan kadang-kadang peranan wanita
lebih dominan pelakunya.
b.
Novel petualangan hanya dominasi
hanaya kaum pria, karena tokoh didalamnya pria dengan sendirinya melibatkan
banyak masalah lelaki yang tidak ada hubungannya dengan wanita.
c.
Novel fantasi bercerita tantang
hal yang tidak logis yang tidak sesuai dengan keadaan dalam hidup manusia.
Jenis novel ini mementingkan ide, konsep dan gagasan sastrawan hanya dapat
jelas kalau diutarakan bentuk cerita fantastic, artinya menyalami hukum
empiris, hukum pengalaman sehari-hari.
Penggolongan di atas
merupakan penggolongan pokok saja, sehingga dalam praktek ketiga jenis novel
tersebut sering dijumpai dalam suatu novel. Secara khusus Lubis (dalam Tarigan,
1985: 166) membagi novel atas beberapa bagian seperti:
a.
Novel avontur dipusatkan pada
seseorang tokoh atau hero utama wanita, merupakan rintangan untuk mencapai
suatu tujuan;
b.
Novel psikologis perhatian tidak
ditujukan pada avontur lahir maupun rohani, terjadi lebih diutamakan
pemeriksaan seluruhnya dari semua pikiran para pelaku;
c.
Novel detektif kecuali
dipergunakan untuk meragukan pikiran pembaca, menunjukkan jalan penyasalan
cerita. Untuk membongkar rahasia kejahatan, tentu dibutuhkan bukti agar dapat
menangkap si pembunuh.
d.
Novel sosial dan politik pelaku
pria dan wanita tenggelam dalam masyarakat sebagai pendukung jalan cerita.
e.
Novel kolektif tidak hanya membawa
cerita tetapi lebih mengutamkan cerita masyarakat sebagai suatu totalitas,
keseluruhan mencampur adukkan pandangan antrologis dan sosiologis.
f.
Novel sejarah hanya sekedar
kenangan indah buat dukumen, mengisahkan kepahlawanan seorang gadis yang
keluarganya menjadi korban revolusi.
g.
Novel keluarga pengalaman batin
dijejahi pembaca tentang kegelisahan, baik berupa kegelisahan sosial,
kegelisahan batin maupun kegelisahan rumah tangga.
3. Unsur yang Membangun Novel
Untuk mengkaji karya sastra dikenal dua
pendekatan yaitu pendekatan intrinsik dan pendekatan ekstrinsik. Pendekatan
intrinsik adalah pendekatan yang menyelidiki unsur-unsur karya sastra yang
membangun dari dalam seperti tema, alur, penokohan, tokoh, dan pusat
pengisahan. Sedangkan pendekatan ekstrinsik adalah usaha menafsirkan seni
sastra dalam hubungannya dengan lingkungan sosial. Pendekatan ekstrinsik juga
berusaha mencari hubungan dengan ilmu-ilmu lain seperti filsafat, sosial, politik,
pendidikan, dan budaya untuk membedah sebuah karya sastra berupa novel.
Penelitian ini menggunakan pendekatan
ekstrinsik dengan mengkaji nilai-nilai sosial politik. Walaupun hakikatnya
penelitian ini menitih beratkan pada aspek ekstrinsik tapi tidak ada salahnya
kalau sedikit dideskriptifkan unsur intrinsik sebagai unsur internal karya
sastra prosa berupa novel. Unsur-unsur intrinsik tersebut antara lain sebagai:
a. Tema
Tema adalah karya inti sari atau pokok
bahasan karya sastra yang secara keseluruhan sehingga di dalam novel, tema
menetukan panjang waktu yang diperlukan untuk mengungkapkan isi cerita, atau
tema adalah gagasan utama pokok pikiran.
Menurut Aminuddin (1991: 91)
istilah tema berasal dari bahasa Latin yang berarti “tempat meletakkan sesuatu
perangkat”, sedangkan menurut Tarigan (1985: 125) tema merupakan
pandangan-pandangan hidup yang terentu atau perasan tertentu mengenai kehidupan
yang membentuk gagasan utama dari suatu karya sastra.
Tema adalah kaitan hubungan antara makna dan tujuan pemaparan prosa fiksi oleh
pengarangnya, maka untuk memahami tema, seperti telah disinggung di atas,
pembaca terlebih dahulu harus memehami unsur-unsur signifikan yang
menghubungkan dengan tujuan penciptaan pengarangnya.
Tema tidak perlu berwujud moral, atau
ajaran moral. Tema biasanya hanya berwujud pengamatan pengarang terhadap
kehidupan. Kesimpulannya, bahkan bahan mentah pengamatan saja. Pengarang bisa
saja mengungkapkan suatu masalah kehidupan, dan problema tersebut tidak perlu
dipecahkan.
b. Tokoh dan Penokohan (Karakter)
a.Tokoh
Tokoh cerita adalah pelaku dalam sebuah
cerita baik fiksi maupun non fiksi yang dapat dibedakan atas beberapa jenis
penamaan berdasarkan dari sudut mana penamaan itu dilakukan yakni tokoh utama
adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Ia
merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik sebagai pelaku kejadian
maupun yang dikenai kejadian
Tokoh protogonis merupakan tokoh yang
mewakili yang baik atau terpuji sehingga biasanya menarik simpati pembaca,
sebaliknya tokoh antagonis adalah tokoh yang mengimbangi atau membayang-bayangi
bahkan menjadi musuh palaku dan merupakan tokoh yang memiliki sifat yang jahat
sehingga dibenci olah pembaca.
Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki
dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya dan jati dirinya. Sedengkan
tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki sutu kualitas pribadi
tertentu.
Tokoh statis memiliki sikap dan watak
yang relatif tidak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita berbeda dengan
tokoh berkembang, sedangkan tokoh perkembangan adalah tokoh cerita yang
mengalami perubahan dan perkembangan
perwatakan sejalan dengan perkembangan peristiwa plot dikisahkan.
Tokoh tipikal adalah penggambaran,
pencerminan atau penunjukkan terhadap orang, atau kelompok orang yang terikat
dalam sebuah lembaga atau seorang individu bagian dari suatu lembaga. Tokoh
netral adalah tokoh yang hanya hidup dan berekstensi, dalam cerita itu sendiri.
b. Penokohan
Penokohan adalah sifat atau ciri khas
pelaku yang diceritakan. Masalah penokohan atau perwatakan merupakan salah satu
di antara beberapa unsur dalam karya fiksi yang kehadirannya sangat memegang
peranan panting, dikatakan demikian karena tidak akan mungkin ada cerita tanpa
adanya tokoh yang diceritakan dan tanpa adanya tokoh yang bergerak dan akhirnya
membentuk alur cerita. Menurut Suroto (1989: 22) penokohah adalah bagaimana
pengarang menampilkan tokoh-tokoh tersebut ini tampil berarti ada dua hal
penting, yang pertama hubungan dengan teknik penyampaian sedangkan yang kedua
berhubungan dengan watak kepribadian tokoh yang ditampilkan. Kedua hal tersebut
memiliki hubungan yang sangat erat.
Penokohan sebagai salah satu unsur
pembangun lainnya. Jika fiksi yang bersangkutan merupakan suatu karya yang
berhasil, penokohan pasti terjalin secara harmonis dan saling melengkapi dengan
unsur lain.
Penilaian terhadap cerita merupakan
ukuran tentang berhasil tidaknya pengarangnya mengisi cerita itu dengan
karakter-karakter yang menggambarkan manusia sebenarnya supaya pembaca dapat
memahami ide dan emosinya.
Menurut Aminuddin (1991: 80) pembaca
dapat menelusuri karakter melalui beberapa hal, antara lain:
1.
Lewat tuturan pengarang terhadap
karakteristik pelakunya,
2.
Gambaran yang diberikan pengarang
lewat penggambaran lingkungan kehidupan maupun cara berpakaiannya,
3.
Menunjukkan bagaimana pelakunya,
4.
Melihat bagaimana tokoh itu
berbicara tentang dirinya sendiri,
5.
Mamahami bagaimana tokoh lain
berbicara tentangya,
6.
Melihat bagaimana tokoh lain
bebicara tentangnya,
7.
Melihat bagaimana tokoh lain itu
memberikan reaksi terhadapnya,
8.
Melihat bagaimana tokoh itu dalam
mereaksi tokoh lainnya.
Pelaku yang mengemban peristiwa dalam
cerita fiksi sehingga peristiwa iru mampu menjalin suatu cerita disebut dengan
tokoh sedangkan cara pengarang menampilkan tokoh atau pelaku disebut penokohan.
Dengan demikian, istilah “penokohan” lebih luas pengartiannya sebab ia
sekaligus mencakup masalah setiap tokoh cerita, bagaimana perwatakan dan
bagaimana penempatan dan pelukisannya dalam sebuah cerita sehingga sanggup
memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.
c. Karakter
Menurut Suhaeb (1979: 85) Karakter adalah
sifat kemauan yang mengikuti seseorang pada beberapa prinsip tertentu yang oleh
rasionya dipastikan sebagai yang tidak dapat diubah, baik fisik maupun moral
yang membedakanya dengan orang lain secara khas. Selanjutnya, Tarigan (1985: 89)
memberikan batasan bahwa yang dimaksud dengan karakter adalah totalitas keadaan
dan reaksi jiwa terhadap perangsangnya.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan karakter adalah tabiat; watak; sifat-sifat kejiwaan, akhlak
atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain (Poerwadarminta,
1976: 445).
Watak sering disamakan artinya dengan
karakter. Sehubungan dengan hal itu, maka penggambaran tokoh atau watak sang
tokoh harus wajar dan masuk akal. Maksudnya bahwa tutur kata, tingkah laku dan
perbuatan yang menggambarkan watak sang tokoh harus biasa terjadi kehidupan
sehari-hari, sehingga hal tersebut diterima secara wajar.
Dari beberapa batasan pengertian tentang
karakter, dapat disimpulkan secara sederhana bahwa karakter adalah kondisi jiwa
manusia yang diakibatkan oleh faktor dari dalam diri manusia maupun dari luar,
yang membedakan seseorang dari orang lain secara khas. Baik yang dapat berubah
maupun yang tetap demi perkembangan kehidupannya yang ditampakkan dalam tingkah
laku.
Dari definisi di atas dapatlah dikatakan
bahwa pensifatan sebagai simbol diri seseorang atau tokoh merupakan pembawaan
yang melekat pada diri sebagai penggambaran ciri khas dirinya. Sifat seseorang
atau tokoh merupakan cermin karakter yang ditunjukkan dan sebagai alat
identifikasi yang membedakan dirinya dengan orang lain. Sehingga pensifatan
diri seseorang adalah perwujudan nilai, ideologi, cara pandang yang menjadi
anutan yang menyertainya.
d. Plot atau Alur
Plot adalah jalan cerita yang berupa
peristiwa-peristiwa yang disusu satu persatu dan saling berkaitan menutut hukum
sebab akibat dari awal sampai akhir cerita (Suroto, 1989: 89). Pendapat lain
mengatakan bahwa alur atau plot adalah struktur gerak yang terdapat dalam fiksi
atau drama, (Tarigan, 1985: 126).
Kalau diperhatikan dengan teliti sebuah
cerita, ternyata ia merupakan rangkaian peristiwa yang disusun sedemikian rupa
hingga membentuk satu kesatuan yang utuh, hubungan unsur cerita yang satu
dengan peristiwa yang lain.
Ada beberapa alur yang dikenal antara
lain: (a) alur maju, (b) alur mundur, (c) alur zikzak, (d) alur naik, (e) alur
turun, (f) alur tunggal, (g) alur datar, (h) alur ganda dan (i) alur longgar.
Tahapan plot dibentuk oleh satuan-satuan
peristiwa, setiap peristiwa selalu diemban oleh pelaku-pelaku dengan perwatan
tentu, selalu memiliki setting tertentu dan selalu menampilkan suasana yang
tentu pula.
e. Latar (setting)
Menurut Tarigan, (1985: 136) latar adalah
latar belakang fiksi, unsur tempat dan ruang dalam cerita, sedangkan menurut
Aminuddin (1999: 67) latar atau setting
dalam karya fiksi adalah tempat peristiwa dalam karya fisi serta memiliki
fungsi fisikal dan fungsi psikologis (Aminuddin, 1999: 67).
Sebuah cerita akan senantiasa berlangsung
pada ruang dan waktu tertentu, ruang dapat terwujud tempat tinggal desa, kota
atau wilayah yang lebih luas. Waktu dapat tewujud siang, malam, hari, bulan
atau tahun. Bahkan waktu dapat menunjukkan lamanya cerita berlangsung, sejam,
sehari, sebulan, dan beberapa tahun. Sehubungan dengan hal tersebut, Suroto
(1989: 94) mengatakan yang dimaksud dengan latar atau setting adalah
penggambaran sutuasi tempat dan waktu serta terjadinya suatu peristiwa.
Latar atau setting dapat memberikan
gambaran kapan dan dimana peristiwa itu terjadi, latar dapat diketahui melalui
lima unsur, yaitu: (1) lokasi geografis yang aktual yang meliputi tipografi,
cadangan (2) pekerjaan dan cara hidup sehari-hari, (3) waktu peristiwa itu
berlangsung, (4) lingkungan religius, moral, intelektual dan sosial dan (5)
alat yang digunakan sang tokoh.
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa latar atau setting adalah segala keterangan mengenai waktu,
tempat-tempat suasana terjadinya peristiwa serta memiliki fisikal dan fungsi
psikologis yang dituliskan dalam suatu karya sastra.
f. Amanah
Sebuah karya sastra tercipta sebagai
respon terhadap berbagai problem sosial
yang kemudian diaktualisasikan penulis dalam sebuah karya sastra.
Melalui karya sastra tersebut penulis menuangkan pandangan-pandagan atau pesan,
baik pesan secara tersirat maupun tersurat yang akan menjadi medan tafsir bagi
pembaca. Hal ini, senada dengan pandangan Zaidan, (1994: 27) yang menurutnya
bahwa amanah adalah pesan pengarang kepada pembaca, baik tersurat maupun
tersirat yang disampaikan melalui karya sastra. Selain itu, menurut Suroto, (1989:
89) Amanah adalah pemecahan persoalan biasanya berisi pandangan pengarang
tentang bagaimana sikap kita kalau menghadapai persoalan tersebut.
Pendapat lain mengatakan bahwa amanah
adalah keseluruhan makna atau isi suatu wacana konsep dan perasaan yang ingin
disampaikan pembicara untuk dimengerti dan diterima pendengar (Kridalaksana, 2001:
11)
Sebuah karya sastra betapa pun susahnya
atau rumitnya, senantiasa memuat dua hal yaitu:
1)
Keindahan dan kenikmatan; dan
2)
Ide, gagasan dan ajaran.
Menurut Junaedi, (1992: 98) ada dua
jenjang amanah yakni utama, amanah bawahan. Amanah utama adalah amanah dasar
cerita. Amanah bawahan adalah amanah tambahan atau amanah sampingan cerita.
g. Titik
Pengisahan (Sudut Pandang)
Titik pengisahan adalah kedudukan atau
posisi pengarang dalam cerita tersebut. Apakah ia ikut terlibat langsung dalam
cerita itu atau hanya sebagai pengamat yang berdiri di luar cerita (Suroto,
1989: 96). Ini dapat dilihat dalam penggunaan kata ganti “aku” dan “dia” di dalam
karangan.
Lebih lanjut Suroto (1989: 96)
menguraikan penempatan diri pengarang dalam suatu cerita dapat bermacam-macam;
(1) pengarang sebagai tokoh utama; (2) pengarang sebagai tokoh bawahan dan (3)
pengarang hanya sebagai pengamat yang berada di luar cerita.
Menurut Aminuddin, (1999: 90) titik
pandang atau biasa istilahkan dengan point
of view (titik kisah) meliputi: (1) narrator
omniscent, (2) narrator observer, (3)
narrator observer omniscent and (4) narrator the third person omniscent.
Narrator
observer omniscent adalah pengisah yang berfungsi
sebafai pelaku cerita. Karena pelaku juga dalam pengisah, maka akhirnya
pengisah juga merupakan penutur yang serba tahu tentang apa yang ada dalam
benak pelaku utama maupun sejumlah pelaku lainnya.
Narrator
observer adalah bila pengisah hanya berfungsi sebagai
pengamat terhadap permunculan para tokoh serta hanya dalam batas tertentu
tentang perilaku batin para pelaku. Dalam narrator omniscient pengarang
meskipun hanya menjadi pengamat dari pelaku, dalam hal ini juga menyebut nama
pelaku dengan ia, mereka.
Menurut pendapat Junaedi, (1992: 172)
jika kita menghayati cerita fiksi dengan saksama akan ditemui cara pengisahan;
(1) pengarang berada di luar cerita; (2) pengarang terlibat di dalam pengisahan
dan (3) pengarang larut sepenuhnya dalam cerita.
h. Gaya Bahasa
Istilah Style (gaya bahasa) berasal dari bahasa Latin, Stilus, yang mempunyai arti suatu alat untuk menulis di atas kertas
(yang telah dilapisi) lilin.
Poedjosoedarmo membicarakan gaya bahasa
sebagai salah satu variasi bahas, yaitu termasuk ragam, ditandai oleh “suasana
indah”, dalam artikelnya “Kode dan Alih Kode”
Berdasarkan uraian di atas dapatlah disimpulkan,
bahwa analisis gaya basasa sebuah fiksi, terutama menekankan gaya bahasa
perbandingan, sebab dalam gaya bahasa itulah tampak dengan jelas faktor
intelektialitas, emosionalitas pengarang dalam karyanya.
4. Aspek Sosial dan politik
a. Pengertian Nilai
Sebelum mengurai
pengertian sosial dalam kehidupan masyarakat, terlebih dahulu penulis menjelaskan
pengertian nilai secara umum. Kehidupan manusia dalam masyarakat baik sebagai
pribadi maupun sebagai mahluk sosial, senantiasa berhubungan dengan
nilai-nilai, norma, dan moral. Oleh karena itu, setiap aktivitas dalam hubungannya dengan masyarakat terikat
oleh nilai.
Nilai adalah suatu yang berharga, yang berguna, yang indah, yang memperkaya
batin, yang menyadarkan manusia akan
harkat dan martabatnya. Sesuatu dikatakan mempunyai nilai apabila ada sifat
atau kualitas yang melekat pada sesuatu atau objek itu. Sifat atau kualitas
dapat berupa: berguna, berharga, (nilai kebenaran), indah (nilai estetika),
baik (nilai moral atau etika), religius (nilai agama). Jadi nilai adalah
kualitas dadripada sesuatu atau kemampuan yang dipercayai yang ada pada suatu
benda untuk memuaskan dan mengatur aktivitas manusia.
b. Pengertian Nilai Sosial
Nilai sosial adalah nilai yang dianut
oleh suatu masyarakat mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap
buruk oleh masyarakat. Sebagai contoh, orang menganggap menolong memiliki nilai
baik, sedangkan mencuri bernilai buruk.
Menurut Woods (http: //www.
Pengertian-nilai-sosial-Ip, Diakses 10 Juni 2009) bahwa nilai sosial adalah
petunjuk umum yang telah berlangsung lama, yang mengarahkan tingkah laku dan
kepuasan dalam kehidupan sehari-hari.
Berdasarkan asumsi di atas, maka nilai
sosial merupakan acuan dalam kehidupan masyarakat untuk menentukan sesuatu itu
dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas untuk dilakukan masyarakat.
Sehingga dapat dikatakan bahwa nilai sosial diluar dari nilai agama dapat
dijadikan sebagai acuan untuk melakukan kontrol sosial atas segala aktivitas
yang dilakukan manusia dalam suatu komunitas masyarakat. Setiap komunitas
masyarakat tentu memiliki nila sosial yang berbeda dalam memandang suatu pokok
permasalahan, hal ini dipengaruhi oleh culture
atau budaya yang dianut masyarakat. Contoh, masyarakat yang tinggal di
perkotaan lebih menyukai persaingan karena dalam persaingan akan muncul
pembaharuan-pembaharuan, sementara pada masyarakat tradisional atau pedesaan
lebih cenderung menghindari persaingan karena dalam persaingan akan mengganggu
harmonisasi kehidupan dan tradisi yang sudah terkonstruk secara turun-temurun.
Uraian di atas menegaskan bahwa kehadiran
karya sastra dalam hal ini novel tentunya lahir dari kondisi sosial yang tidak
fakum, membawa pesan sosial atau nilai sosial yang mewakili komunitas
masyarakat untuk disampaikan secara universal kepada masyarakat umum sebagai
media informasi dan educatip.
c. Fungsi Nilai Sosial
Kehidupan manusia sebagai mahluk sosial
yang tidak bisah hidup tampa bantuan orang lain perlu dibimbimbing dengan
sebuah aturan yang sifatnya mengikat untuk mengarahkan individu menjadi manusia
bermartabat. Aturan yang dimaksud di sini bukanlah aturan formal yang tersusun
dalam draf perundang-undangan, melainkan sebuah atuaran yang hanya menjadi
acuan suatu masyarakat tertentu dalam sebuah komunitas yang tentunya berbeda
dengan kemunitas masyarakat lainnya. Secara sederhana aturan atau nilai sosial tersebut menjadi acuan untuk membedakan baik
dan buruk, benar dan salah pantas dan tidak pantas yang merupakan produk dari
masyarakat.
Menuru Suparto (http: //www. Fungsi-nilai-sosail-Ip,
Diakses 10 Juni 2009) bahwa nilai-nilai sosial memiliki fungsi umum dalam
masyarakat. Di antaranya nilai-nilai dapat menyumbangkan seperangkat alat untuk
mengarahkan masyarakat dalam berpikir dan bertingkah laku. Selain itu, nilai
sosial juga berfungsi sebagai penentu terakhir bagi manusia dalam memenuhi
peran-peran sosial. Nilai sosial dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan
harapan sesuai dengan perannya. Olek karena itu, secara garisbesar nilai sosial
mempunyai fungsi antara lain:
a.
Sebagai petunjuk arah kehidupan.
b.
Sebagai kontrol sosial.
c.
Sebagai motivasi.
Sebagai petunjuk arah kehidupan, nilai
sosial dapat mempengaruhi karakter berpikir dan bertindak anggota masyarakat
umumnya. Sebagai kontor sosial nilai sosial mampuh mengarahkan individu untuk
melakukan aktivitas-aktivitas yang bermamfaat dan tidak melakukan anarkisme
sosial yang dapat menimbulkan kerusuhan. Nilai sosial sebagai motivasi dan
sekaligus menuntun manusia untuk berbuat baik, berdasarkan karena asumsi bahwa
nilai sosial yang luhur dapat meningkatkan drajat dimata masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, relevansinya
dengan karya sastra adalah kehadiran karya sastra dapat menjadi salah satu
acuan untuk mendapatkan informasi pengetahuan yang dapat memberikan motivasi
untuk melakukan aktivitas yang lebih baik. Dalam karya sastra nilai sosial
tersebut dapat dilihat secara intrinsik dan ekstrinsik. Secara intrinsik
misalnya, penggambaran karakter tokoh yang baik, selalu menolong, dermawan dan
lain-lain, sedangkan pada aspek ekstrinsik dapat diterangkan nilai sosial
politik yang terdapat dalam novel Jejak
Langkah karya Pramoedya Ananta Toer tentang etika politik yang baik.
d. Pengertian Politik
Secara etimologis, politik bersal dari
bahasa Yunani yaitu polis yang berarti kota atau negara kota. Kemudian arti itu
berkembang menjadi polites yang berarti warganegara, politea yang berarti semua
yang berhubungan dengan negara. Ditinjau dari presfektif sejarah Aristoteles
dapat dianggap sebagai orang pertama yang memperkenalkan kata politik melalui
pengamatannya tentang manusia yang ia sebut zoon
politikon dengan istilah ini ia ingin menjelaskan bahwa hakikat kehidupan
sosial adalah politik dan interaksi antara dua orang atau lebih sudah pasti
akan melibatkan hubungan politik.
Menurut Mitchel (www.lintasberita.com/politik/pengertian-politik,
Diakses, 10 Juni 2009) politik adalah pengambilan keputusan kolektif atau
pembuatan kebijakan umum untuk seluruh masyarakat. Sedangkan menurut Duetch
(www.lintasberita.com/politik/pengertian-politik, Diakses 10 Juni 2009) bahwa
politik adalah pengambilan keputusan melalui sarana umum. Berbeda dengan ke dua
tokoh di atas, Budiarjo (dalam Philipus, 2008: 90) mendefinisikan politik
sebagai berbagai macam kegiatan yang terjadi di suatu negara, yang menyangkut
proses menentukan tujuan dan berbagai cara mencapai tujuan itu. Ramlan (dalam
Philipus, 2008: 92) mengemukakan bahwa sekurang-kurangnya ada lima pandangan
tentang politik. Pertama, politik
adalah usaha-usaha yang ditempuh warga negara untuk membicarakan dan mewujudkan
kebaikan bersama. Kedua, politik
ialah segala yang berkaitan dengan penyelenggaraan negara dan pemerintah. Ketiga, politik ialah segala kegiatan
yang diarahkan untuk mencapai dan
mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat. Keempat, politik adalah segala kegiatan yang berkaitan dengan
perumusan dan pelaksanaan kebijakan umum. Kelima,
politik sebagai konflik dalam rangka mencari dan atau mempertanyakan sumber-sumber yang
dianggap penting.
Sesuai dengan definisi politik yang
dikemukakan Aristoteles dalam memandang masyarakat sebagai zoom politikon, maka jelas bahwa seluru aktivitas masyarakat tidak bisa
terlepas dari wilaya politik. Politik yang dimaksud tidak hanya dalam bentuk
struktur kenegaraan tetapi politik yang dimaksud adalah kebijakan yang
mempengaruhi dan mengatur seluruh aktivitas masyarakat baik dari aspek
pendidikan, ekonomi, hukum, budaya, dan lain-lain.
Menurut Toer (dalam Boef, 2008: 142)
bahwa semua politik adalah panglima. Kita adalah warga negara, hal itu
merupakan politik, kita membayar pajak, hal itu juga merupakan politik. Uraian
tersebut mempertegas pandangan politiknya bahwa kehidupan manusia dalam lingkup
masyarakat tidak bisah terlepas dari kehidupa politik. Oleh karena itu, hampir
seluruh karyanya berbau politik yang sifatnya humanis dan sangat edukatif dalam
memandang dinamika politik di Indonesia serta hubungannya dengan fungsi karya
sastra.
e. Bentuk Nilai Sosial Politik
Sosial politik adalah kebijakan-kebijakan
yang dikeluarkan oleh pemerintah yang berhubungan langsung dan mempengaruhi
kehidupan masyarakat. Berdasarkan objek penelitian yaitu Analisis Nilai Sosial
Politik dalam novel Jejak Langkah
karya Pramoedya Ananta Toer secara garis besar lebih spesifek mengarah ke
politik pendidikan, nasionalisme, dan politik ekonomi.
Berdasarkan uraian di atas jelas bahwa
dalam suatu komunitas individu atau masyarakat diperlukan sebuah nilai untuk
mengikat masyarakat. Aristoteles
dalam teori politiknya mengatakan bahwa masyarakat sebagai zoom politikom. Maka, tidak bisa dipungkiri kalau seluruh aktivitas
masyarakat terikat oleh sesuatu yang lebih besar yang sangat mempengaruhi
struktur atau bangunan masyarakat yaitu politik. Namun, idealnya aktivitas
politik tersebut tetap bersandar dan terikat oleh nilai-nilai moral yang
berdasarkan pada nilai pancasila dan konstitusi negara.
Masyarakat
dan politik merupakan dua dimensi yang tidak bisah terpisahkan dan saling
mempengaruhi. Dalam hubungannya dengan masyarakat, Cipto (1999: 84) membagi
masyarakat menjadi dua yaitu masyarakat sipil dan masyarakat politik. Eksistensi masyarakat sipil bergantun pada
masyarakat politik sebagai perumus kebijakan, begitupun sebaliknya. Kekuatan
masyarakat politik yang tidak terkontrol dan tidak bertanggungjawab kepada
masyarakat sipil akan melahirkan ketimpangan sosial. Oleh karena itu,
diperlukan kontrol antar lembaga yang
terbentuk dalam masyarakat sipil sehingga
penyimpangan tidak tumbuh subur menjadi kekuatan yang tidak terkendali. Bentuk
kontrol ini sering disebut horizontal
acountability. Selain kontrol masyarakat sipil, juga diperlukan kesadaran
individu dalam mengawal kebijakan. Kesadaran individu yang dimaksud
adalah kemampuan seorang pelaku politik menyandarkan aktivitas politik
berdasarkan pada politik nilai, bukan politik pragmatis dan politik
kapitalistik.
Uraian di
atas mengatarkan kita pada satu titik kesimpulan bahwa nilai sosial politik
adalah kebijakan-kebijakan yang dibuat oleh pemerintah (masyarakat politik)
yang berhubungan langsung dan mempengaruhi kehidupan masyarakat idealnya
bersandarkan pada nilai-nilai moral yang baik atau politik nilai bukan politik
kepentingan, pragmatis, dan politik kapitalistik (money poltic). Berdasarkan objek penelitian yaitu analisi nilai
sosial politik dalam novel Jejak Langkah
karya Pramoedya Ananta Toer secara garis besar lebih spesipik mengarah kepada
politik pendidikan, nasionalisme, dan ekonomi politik, dengan menggunakan
pendekatan teori poskolonialisme.
a. Politik
Pendidikan
Pendidikan adalah
dua elemen penting dalam sistem sosial politik di setiap negeri, baik negara
maju maupun negara berkembang. Pada hakikatnya, kedua elemen tersebut sering
dilihat sebagai bagian-bagian yang terpisah dan tidak memiliki hubungan
apa-apa. Namun ketika ketika dikaji secara mendalam beradasarkan realitas
sosial yang trejadi, maka kita bisah menarik benang merah bahwa kedua elemen
tersebut bahu-membahu dalam proses pembentuk karakteristik masyarakat di suatu
negara. Lebih dari itu, keduanya saling menunjang dan saling mengisi. Lembaga-lembaga
dan proses penjadian berperan penting dalam membenntuk perilaku politik di
negara tersebut. Begitu juga sebaliknya, lembaga-lembaga dan proses politik di
suatu negara membawa dampak besar pada karakteristik pendidikan di negara
tersebut. Menurut Sirozi, (2005: 1) bahwa ada hubungan erat dan dinamis antara
pendidikan dan politik di setiap negara. Hubungan tersebut adalah realita
empirik yang telah terjadi sejak awal-awal perkembangan pradaban manusia dan
menjadi perhatian para ilmuan. Pandangan tersebut, mempertegas bahwa politik
dan pendidikan merupakan dua elemen yang saling mempengaruhi dan bahu-membahu
dalam membentuk karakter atau pola pikir dan sikap masyarakat.
Albernethy
dan Coombe (dalam Sorozi, 2005: 7) mengemukakan bahwa hubungan timbal balik
antara pendidikan dan politik dapat terjadi melalui tiga aspek, yaitu
pembentukan sikap kelompok (group attitudes), masalah pengangguran (unemployment), dan peranan politik kaum
cendekia (the political rule of intelegensia). Menurut mereka kesempatan dan
prestasi pendidikan pada suatu kelompok masyarakat dapat mempengaruhi akses
kelompok tersebut dalam bidang sosial, politik, dan ekonomi. Selain itu,
Buchuri (dalam Sirozi, 2005: 29) mengemukakan bahwa politik adalah cara untuk
mengelolah lingkungan yang luas, bukan hanya perebutan kekuasaan. Maka, adalah
tugas sekolah untuk membantu para pelajar untuk dapat membedakan antara politik
baik dan politik buruk.
Pendidikan
merupakan sentrum utama untuk merubah pola pikir dan pola sikap masyarakat,
sehingga tidak salah kalau elit-elit politik atau partai-partai politik
menjadikan pendidikan sebagai program utama dalam kampanye-kampaye politik.
Tujuannya adalah selain untuk memperoleh suarah maksimal dalam pemilu juga
untuk melestarikan dominasi politik penguasa. Sebagaimana yang di kemukakan
oleh Tilaar, (2008: 5) bahwa partai-partai politik menjadikan pendidikan
sebagai program yang utama atau sebagai iming-iming utama untuk membujuk rakyat
dalam pemilihan umum atau sebagai sarana untuk melestarikan kekuasaan atau
jabatan.
Salah satu
tolak ukur keberhasilan pemerintah baik pusat maupun daerah adalah kemajuan dan peningkatan mutu
pendidikan, yang tentunya ditopan oleh sistem pendidikan yang baik. Dalam
konteks Indonesia kebijakan pemerintah mengenai anggaran pendidikan telah
disepakati sebagaimana yang tertuan dalam UUD 1945 yang menyatakan bahwa
sekurang kurangnyan 20% dari APBN/APBD di peruntukan bagi pengembangan
pendidikan nasional. Pada aspek penyelenggaraan pendidikan perubahan kurikulum
dalam setiap priode pergantian kepemimpinan dan penjelasan pasal 20 serta
penyelenggaraan pendidikan gratis, merupakan penomena yang dapat mengantarkan
kita pada satu titik kesimpulan bahwa pendidikan merupakan problem yang sangat
penting dalam sebuah negara sehingga diperlukan sebuah aturan konstitusi
sebagai patron atau acuan dalam proses penyelenggaraannya. Selain itu, antara
pendidikan dan politik merupakan dua elemen yang tidak bisah di pisahkan hal
ini dapat di buktikan dengan hadirnya berbagai kebijakan yang disatu sisis
untuk memajukan pendidikan, namun disisi lain merupakan strategi untuk
mempertahankan dominasi politik penguasa.
b. Nasionalisme
Nasionalisme adalah salah satu paham yang
berpendapat bahwa kesetiaan tertinggai individu harus di serahkan kepada negara
kebangsaan. Selalin itu, paham nasionalisme berpendapat bahwa negara kebangsaan
adalah sumber daripada semua tonggak kebudayaan kreatif dan kesejahteraan ekonomi. Menurut Milito
(dalam Kohn, 1984: 22) nasionalisme adalah pengakuan kemerdekaan perseorangan
dari kekuasaan; peryataan diri dari peribadi terhadap pemerintahnya dan
gerejanya, pembebasan manusia dari penindasan perbudakan dan takhyul. Pandangan
tersebut bahwa paham nasionalisme tidak hanya terbatas pada persamaan drajat
dan penyerahan diri, individu untuk memperjuangkan serta mempertahankan
kemerdekaan suatu bangsa. Tapi nasionalisme dalam definisi luas merupakan wujud
pengakuan kemerdekaan seseorang dari intimidasi, diskriminasi, dan kebebasan
dari penguasa dalam suatu negara kebangsaan. Sedangkan menurut Smith (dalam Wildan, 2003: 5) memberikan definisi kerja
nasionalisme sebagai suatu pergerakan ideologi untuk mencapai dan memelihara
otonomi, kesatuan, dan identitas untuk suatu populasi yang sebahagian
anggotanya mempertimbangkan untuk membuat satu "bangsa" yang nyata.
Menurut Smith, perkara-perkara itulah yang menjadi doktrin nasionalisme.
Sejalan dengan doktrin dari Smith di
atas, Kartodirdjo (dalam Wildan, 2003: 8) mengemukakan lima prinsip
nasionalisme, yaitu kesatuan (unity) dalam wilayah tanah air, bangsa,
bahasa, ideologi dan doktrin kenegaraan, sistem politik atau pemerintahan,
sistem perekonomian, sistem pertahanan-keamanan, dan polise kebudayaan;
kebebasan (liberty, freedom, independence) dalam beragama, berbicara dan
berpendapat secara lisan dan bertulis, berkelompok dan berorganisasi; kesamaan
(equality) dalam kedudukan hukum, hak dan kewajiban, serta kesamaan
kesempatan (oportunity); keperibadian (personality) dan identitas
(identity): memiliki harga diri (self esteem), rasa bangga (pride)
dan rasa sayang (devotion) terhadap keperibadian dan identitas bangsanya
yang tumbuh dan sesuai dengan sejarah dan kebudayaannya; dan prestasi (achievement,
performance): cita-cita untuk mewujudkan kesejahteraan (welfare)
serta kebesaran dan kemuliaan (the greatness and the glorification)
terhadap bangsa.
Dari uraian di atas jelaslah bahwa nasionalisme sebenarnya mengandung
misi atau tujuan. Ia merupakan pandangan, perasaan, wawasan, sikap, sekaligus
perilaku suatu bangsa yang terjalin karena persamaan sejarah, nasib dan
tanggung jawab untuk hidup bersama-sama secara merdeka dan mandiri. Artinya,
nasionalisme mengandung tujuan perjuangan suatu bangsa dan negara. Misi
perjuangan yang terkandung dalam nasionalisme seseorang, bangsa atau negara
berbeda atau sama dengan orang, bangsa atau negara lain. Para pejuang
kemerdekaan Indonesia Raya seperti Soekarno dan Wahid Hasjim mengambil paham
ini sebagai motivator perjuangan. Misi nasionalisme Soekarno berasaskan konsep
nasakom, yang berbeda dengan nasionalisme Wahid Hasjim yang lebih berorientasi
kepada agama. Organisasi pegerakan seperti Jong Java dan Jong
Sumatranen Bond melihat bangsa berdasarkan kesamaan etnik, kesatuan budaya,
dan kesamaan masa lalu sebagai asas nasionalisme mereka. Misi nasionalisme
bangsa Indonesia secara umum dimaksudkan untuk menegakkan ideologi Pancasila
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Nasionalisme barat modern secara historis
pada abad ke-18 yang lalu, abad terang, merupakan suatu gerakan politik untuk
membatasi kekuasaan pemerintah dan menjamin hak-hak warganegara. Hal ini sejalan dengan pandangan Kohn (1984: 39) yang
menyatakan bahwa nasionalisme mula-mula merupakan suatu gerakan
kebudayaan, impian, dan harapan para serjana dan penyair. Di Indonesia kehadiran
paham nasionalisme pada awal abad ke-19 merupakan respon cendekiawan
(terpelajar) atas penjajahan kolonial Belanda dan kanter atas strategi politik
kolonial yang di kenal dengan istilah devide
et impera atau politik adudomba terhadap sesama masyarakat pribumi. Oleh
karena itu, nasionalisme pada saat itu merupakan suatu gerakan politik untuk membangkitkan kesadaran
masyarakat pribumi yang masih menganut paham feodalisme. Pemberlakuan politik
etis pada awal abad ke-19 yang memberikan kesempatan bagi pribumi untuk
mendapatkan pendidikan barat menyebabkan paham nasionalisme dan patriotisme
lebih cepat mengimpiltrasi ke tubuh pelajar pribumi yang selanjutnya mengilhami
dan menjiwai lahirnya berbagai pergerakan di Indonesia diantaranya Syarekat
Prijaji, Boedi Oetomo, Syarikat Dagang Islamiyah, Jong Java, Jong Sumatra, Jong
Selebes dan lain-lain yang kemudian melahirkan sumpa pemuda yang tujuannya
adalah untuk mempertegas sikap nasionalisme Indonesia.
e. Ekonomi Politik
Menurut ensiklopedi ekonomi islam, (dalam
Sholahuddin, 2009: 50) secara terminologis politik ekoknomi adalah tujuan yang
akan dicapai oleh kaidah-kaidah hukum yang
dipakai untuk berlakunya suatu mekanisme
pengaturan kehidupan masyarakat. Sedangkan menurut Staniland (dalam Philipus, 2006: 142) mengemukakan bahwa
ekonomi politik menjelaskan interaksi sistematis antara aspek ekonomi dan aspek
politik. Hubungan interaksi itu bisa dinyatakan dalam banyak cara baik itu
dalam hubungan kausalitas antara satu proses dengan proses yang lain yang
bersifat deterministik, atau hubungan yang bersifat timbal balik (resipositas)
atau suatu proses prilaku yang berlangsung terus-menerus.
Sejarah
pemikiran ekonomi sesungguhnya sudah ada sejak zaman Yunani Kuno ketika
Aristoteles menerbitkan buku polite dalam
politea Ia menjelaskan oikonomika yaitu studi tentang cara-cara
mmengatur rummah tangga dan menguraikan tentang peraturan-peraturan tentang
pertukaran. Keduanya menjadi dasar dari teori ekonomi modern, yaang oleh
Aristoteles dianggap sebagai ilmu politik. Pemikiran ekonomi politik dalam
bentuknya yang utuh baru sejak zaman pertengahan. Philipus, (2006: 146-147)
membagi zaman ekonomi politik menjadi empat bagian yaitu zaman praklasisk (abad
XVII-XVIII) menurutnya pada zaman ini pemikiran ekonomi politik didominasi
aliran merkantilis. Merkantilis menganjurkan pertumbuhan penduduk yang tinggi
agar memperoleh SDM yang melimpah sehingga lebih produktif. Dalam kenyataan aliran
ini memnyebabkan semakin kuatnya pendudukan kaum kapitalis, bahkan mereka
mampuh mempengaruhi semua kebijkan pemerintah termasuk dalam kepentingan
nasional. Zaman klasik (akhir abad XVIII-XIX) menurut aliran ini, individu dan
dunia usaha harus diberikan kkebebasan untuk mengurus kepentingan mereka
sendiri untuk memperbaiki kedudukannya dibidang ekonomi. Zaman neoklasik
(pertengahan abad XIX abad XX). Zaman keynesian (pertengahan abad XX sampai
sekarang) berebeda dengan pemikiran sebelumnya, mazhab ini justru menganjurkan
keterlibatan pemerintah dalam ekonomi dunia menstabilkan prekonomian nasional.
Sejak zaman
Yunani kuno, hingga zaman praklasik menuju moderen para tokoh-tokoh intelektual
telah menggunakan istilah ekonomi politik untuk melahirkan teori baru dalam
bidang ekonomi serta hubungannya dengan kebijakan pemerintah sebagai elit
politik. Dalam sejarah perkembangannya, pemikiran politik setiap zaman memiliki
teori dan rumusan sendiri untuk membantu pemerintah dalam merumuskan baik dari
aspek keuangan, ekonomi mikro, dan ekonomi makro. Oleh karena itu, seluruh
kebijakan tersebut yang berhubungan dengan masyarakat luas disebut sebagai
ekonomi politik.
Setiap
perubahan dalam sistem ekonomi berhubungan denga teori yang digagas oleh para tokoh
(akademisi) dengan perubahan zaman. Pada awal tahun 70 an Amerika sebagai
negara adidaya menggunakan sistem ekonomi liberal, namun keris ekonomi yang
melanda Amerika dan dunia pada awal tahun 80 an menyebabkan para ekonom Amerika
meninggalkan sistem liberal dan menggunakan sistem ekonomi (teori ekonomi)
keynesian sampai pada tahun 1998 kerisis ekonomi kembali melanda dunia sehingga
para okonom liberal berasumsi bahwa teoro ekonomi keynesian gagal, kegagalan
tersebut menyebabkan terjadinya perubahan strategi ekonomi Amerika dari
Keynesian kembali ke konsep ekonomi leberal yang dikenal sekarang dengan
istilah Neoliberalisme. Hal ini menunjukkan bahwa betapa kuatnya para tokoh
ekonomi mempengaruhi kebijakan bahkan merumuskan kebijakan ekonomi nasional.
B. Kerangka Pikir
Dengan memperhatikan uraian pada
tinjauan pustaka, maka pada bagian ini akan diuraikan beberapa hal yang
dijadikan penulis sebagai landasan berpikir. Selanjutnya, landasan berpikir
yang dimaksud tersebut akan mengarahkan penulis untuk menemukan data dan informasi
dalam penelitian ini guna memecahkan masalah yang telah dipaparkan untuk itu
akan menguraikan secara rinci landasan berpikir yang dijadikan pegangan dalam
penelitian ini:
1.
Karya prosa adalah karangan yang
bersifat menerangkan secara terurai mengenai sesuatu masalah atau hal peristiwa
dan lain-lain. Dengan demikian, karangan bentuk ini jelas tidak bisa disingkat
dan pendek karena harus menerangkan secara panjang lebar dan sejelas-jelasnya
akan sesuatu. Itulah sebabnya ketetapan dan kejelasan kalimat menjadi sangat
penting.
2.
Karya sastra bentuk prosa pada
dasarnya dibangun oleh unsur instinsik; yaitu tema, amanah, plot, perwatakan
atau penokohan, latar, dan karakter, titik pengisahan serta gaya bahasa. Selah
satu bagian unsur instrinsik adalah karakter perwatakan yang mempunyai peranan
sangat penting, karena tanpa karakter perwatakan suatu cerita tidak akan
tercipta.
Bagan
Kerangka Pikir
|
|
|
|
|
|
|
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Variabel dan Desain
Penelitian
- Variabel
Penelitian
Sebelum diuraikan mengenai variabel yang
digunakan dalam penelitian, terlebih dahulu akan diuraikan pengertian variabel
dalam suatu penelitian. Variabel tidak pernah lepas dari suatu penelitian, dan
boleh dikatakan bahwa variabel merupakan syarat mutlak dalam suatu penelitian.
Arikunto (1992: 89) mendefinisikan variabel
adalah sebagai karakteristik tertentu yang mempunyai nilai atau ukuran yang
berbeda untuk unit obsetvasi atau individu yang berbeda. Variabel adalah objek
penelitian, baik yang bersifat kuantitatif maupun kualitas. Variabel dapat
dibedakan atas dua jenis, yaitu variabel kuantitatif dan kualitatif. Variabel
kuantitatif misalnya luasnya kota, umur, banyaknya dan jam dalam sehari dan
sebagainya. Contohnya variabel kualitatif adalah kemakmuran, kepandaian dan
lain-lain.
Setelah memperhatikan uraian di atas, maka
dapatlah ditentukan variabel sebuah penelitian yang digunakan untuk
direncanakan, sehingga dengan itu pula maka jelaslah penelitian ini merupakan
penelitian yang harus dibatasi variabelnya, agar data yang dikumpulkan dapat
mengarah pada tujuan pengungkapan nilai-nilai sosial politik dalam novel
tersebut. Subvariabel adalah tuturan, gambaran, perilaku, bahasa, jalan
pikiran, dan reaksi politik.
- Desain
Penelitian
Desain penelitian pada hakekatnya merupakan
strategi yang mengatur ruang atau teknis penelitian agar memperoleh data maupun
kesimpulan penelitian. Menurut jenisnya, penelitian ini adalah penelitian
deskriptif kualitatif. Oleh karena itu, dalam penyusunan desain harus dirancang
berdasarkan pada prinsip metode deskriptif kualitatif, yang mengumpulkan,
mengolah, mereduksi, menganalisis dan menyajikan data secara objekti atau
sesuai dengan kenyataan yang ada di lapangan untuk memperoleh data. Untuk itu,
peneliti dalam menjaring data mendeskripsikan nilai-nilai sosial politik yang
terdapat dalam novel Jejak Langkah karya
Pramoedya Ananta Toer sebagaimana adanya.
B. Definisi Operasional Variabel
Definisi operasional pada hakikatnya
merupakan pendefinisian variabel dalam bentuk yang dapat diukur, agar lebih
lugas dan tidak menimbulkan bias atau membingungkan. Penelitian bebas
merumuskan, menentukan definisi operasional sesuai dengan tujuan penelitinya,
dan tatanan teoritik dari variabel yang ditelitinya (Adi, 1993: 17).
Aspek sosial politik pada novel Jejak Langkah adalah salah satu unsur
penentu terciptanya suatu cerita dalam novel tersebut. Nilai-nilai sosial
politik ini mencerminkan watak, sifat, pribadi dan tingkah laku dalam politik
sebagai pengemban amanah yang dipaparkan lewat peran yang dimainkan. Oleh karena
itu, aspek sosial politik diperankan diibaratkan sebagai “juru kunci” amanah
pengarang.
Untuk memeperoleh pemaknaan yang sama
terhadap variable yang digunakan dalam penelitian ini, penulis merasa perlu
mengemukakan defenisi berikut ini
1.
Analisis
Analisis adalah pegamatan yang dilakukan untuk
memperoleh data yang lebih akurat
terhadap satu pokok permasalahan misalnya problem agama, politik, budaya,
pendidikan dan lain-lain.
2.
Politik
Secara klasik Politik didefinisikan sebagai suatu takti
atau strategi untuk melakukan suatu hal dalam rangka mejatuhkan lawan untuk
memperoleh kemenangan, kedudukan, dan jabatan. Namun, dalam arti luas politik
dapat diasumsikan bahwa segala kebijakan yang dikeluarkan oleh elit politik
yang berhubungan langsung dengan kepentingan masyarakat baik dengan tujuan
untuk meraih kekuasaan maupun sebagai bentuk mempertahankan eksistensi hegemoni
atau dominasi kekuasaan. Misalnya, kebijakan dalam dunia pendidikan, ekonomi,
pertanian, pangan, dan lain-lain.
3.
Nilai
Nilai adalah sesuatu yang berharga, yang berguna, yang
indah, yang dapat memperkaya batin, yang dapat menyadarkan manusia akan harkat
dan martabatnya.
4.
Nilai Sosial
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat
mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat,
yang kemudian menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat.
C. Data dan Sumber Data
- Data
Data dalam penelitian ini adalah
keterangan yang dijadikan objek kajian, yakni setiap kata, kalimat ungkapan
yang mendukung aspek poilitik atau strategi dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer. Studi pustaka mencoba
sejumlah buku dan tulisan yang relevan atau objek kajian.
- Sumber
Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah novel
berjudul Jejak Langkah karya Pramoedya
Ananta Toer yang berjumlah 721 halaman diterbitkan oleh Lentera Dipantara pada
tahun 2007 di Jakarta Timur.
D. Teknik Pengumpulan Data
Teknik yang digunakan dalam pengumpulan
data yaitu teknik dokumentasi dengan jalan mengumpulkan data melalui sumber
tertulis.
Dengan cara penelitian pustaka yaitu:
1.
Membaca berulang-ulang novel Jeak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer
2.
Mencatat data yang termasuk nilai
sosial politik yang terdapat di dalam novel Jeak
Langkah, misalnya karakter dari watak, sifat, tingkah laku dan lain-lain
serta berapa banyak dalam kartu pencatatan data.
3.
Mengklasifikasi data yang termasuk
sosial politik misalnya aspek pendidikan dari watak, sifat, tingkah laku dan
lain-lain serta berapa banyak dalam kartu pencatatan data.
E. Teknik Analisis Data
Berdasarkan teknik pengumpulan data yang
dipergunakan, maka unsur nilai sosial politik yang dapat dicocokkan dengan
sosial politik yang dimaksud, kemudian diseleksi kutipan atau data yang mana
lebih spesifik itulah yang akan diambil. Selanjutnya, menentukan watak, sifat,
nilai sosial politik sesuai dengan bukti
atau penunjuk yang telah dipilih.
Sebagai hasil akhir, memaparkan watak,
sifat, sosial politik dengan senantiasa mengutip bagian cerita yang menunjukkan
kebenaran analisis yang dimaksud, selanjutnya dideskripsikan bedasarkan
fenomena sosial yang dijadikan acuan penelitian meliputi:
1. Menelaah/menganalisis seluruh
data yang telah diperoleh berupa nilai-nilai
sosial politik dalam novel Jejak Langkah karya
Pramoedya Ananta Toer
2. Mendeskripsi unsur yang
membangun karya sastra khususnya menyangkut
nilai-nilai sosial politik dalam novel Jejak
Langkah karya Pramoedya Ananta Toer.
3. Mendeskripsikan nilai-nilai sosial politik
yang terdapat pada novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer.
BAB
IV
HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan secara merenik hasil penelitian dari Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta
Toer dengan menggunakan pendekatan
poskolonialisme. Poskolonialisme, berasal dari kata post dan kolonialisme yang
secarah harfiah dimaknai sebagai paham mengenai teori yang lahir sesudah zaman
kolonial. Sesuai dengan uraian di atas, maka yang dimaksud dengan teori
poskolonial adalah cara-cara yang diguakan untuk menggali berbagai gejalah
kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen
lainnya yang terjadi di negara-negara bekas kolonial Eropa modern. Menurut
Ascoroft, dkk. (dalam Ratna, 2008: 90) bahwa objek penelitian poskolonialisme
mencangkup aspek-aspek kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial
sejak awal terjadinya kolonialisme hingga sekarang, termasuk berbagai efek yang
ditimbulkannya. Hal yang sama di kemukakan oleh Wali, dalam (Ratna, 2008: 90) mendefenisikan
objek poskolonialisme sebagai segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman kolonial.
Hal yang paling esensial dalam teori poskolonial adalah kenyataan bahwa
secara defenitif teori poskolonial dimamfaatkan untuk menganalisis khasanah kultural
yang menceritakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di negara-negara
pascakolonial, lebih khusus lagi adalah negara-negara bekas koloni Eropa modern dalam hungannya dengan
kolonialisme Indonesia jelas menyediakan berbagai naska yang dapat di analisis
melalui teori posklonialisme, baik naskah dalam bentuk ilmu pengetahuan,
seperti sejarah, antropologi, sosiologi, hukum, dan geografi, maupun dalam
bentuk karya sastra. Dalam hubungannya dengan karya sastra, Ratna (2008: 108)
berpendapat bahwa paling sedikit terdapat lima alasan mengapa karya sastra
dianggap tepat dianalisis melalui teori-teori poskolonial.
1.
Sebagai gejala cultural sastra menampilkan sistem
komunikasi yang sangat kompleks yang secara garis terjadi melalui triadik
pengarang, karya sastra, dan pembaca. Kemunikasi ini sekaligus merupakan
mediator antara masa lampau dengan masa sekarang.
2. Karya satra menampilkan berbagai
problematika kehidupan, emosionalitas, dan intelektualitas, fiksi dan fakta,
karya sastra adalah masyarakat itu sendiri.
3. Karya sastra tidak terikat oleh ruang dan
waktu, konteporalitas adalah manifestasinya yang paling signifikan.
4. Karya sastra adalah bahasa, sedangkan
bahasa itu sendiri adalah satu-satunya cara mentrasmisikan ideologi, yaitu
ideologi kolonial.
5. Berbagai masalah yang di maksud dilukiskan
secara simbolis, terselubung, sehingga tujuan-tujuan yang sesungguhnya tidak
tampak. Disinilah ideologi oriental di tanam, di sini pulalah analisis memegan
peranan.
Uraian di atas menegaskan relepansi teori
poskolonialisme dengan karya sastra dalam rangka mengurai makna-makna di balik
teks yang di gagas penulis. Dalam hubungannya dengan objek penelitian, maka
pendekatan teori poskolonialisme yang paling layak untuk mengurai makna
terhadap karya-karya Pramoedya dengan pertimbangan bahwa sebagian besar di
antaranya menampilkan masalah-masalah yang berkaitan dengan kolnialisme,
nasionalisme dan berbagai konflik yang di timbulkannya.
A. Penyajian Hasil Analisis
Untuk
memperjelas esensi dari penelitian ini, maka nilai sosial politik yang penulis
maksud adalah kebijakan-kebijakan yang di keluarkan oleh elit politik atau
penguasa (pemerintah) baik dari aspek pendidikan, ekonomi, maupun aspek-aspek
lain dalam kehidupan masyarakat yang langsung mempengaruhi sendi-sendi
kehidupan sosial masayarakat. Oleh karena itu, berdasarkan analisis dalam novel
Jejak Langkah karaya Pramoedya Ananta
Toer, terdapat nilai sosial politik yang dapat dideskripsikan sebagai berikut:
a. Politik Pendidikan
Novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta
Toer, dari sisi pendidikan mengurai berbagai masalah dalam dunia pendidikan
pada masa kolonial. Kemelaratan dan pembodohan yang tersusun secara sistematis
berdasarkan kerangka kebijakan Gubermen Jenderal Hindia yang tidak mengingingkan
masyarakat pribumi menjadi masyarakat terdidik dan memamahami posisinya sebagai
bangsa terjajah, lebih mengutamakan ekspolitasi dan inpansi ekonomi. Namun,
kebijakan tersebut menjadi sorotan dunia internasional dan melahirkan
perdebatan alot dalam parlemen Belanda antara kubuh konserpatif sebagai
otoritas penguasa di Hindia dengan kaum liberal. Keinginan kaum konserpatif
untuk tidak memberlakukan politik etis, di tetang keras oleh kaum liberal yang
justru mengiginkan perubahan kebijakan untuk negara jajahan. Pertarungan antara
kaum liberal dan konserpatif tidak hanya berlangsung di parlemen yang merambat
langsung ke tingkatan elit dan tokoh-tokoh yang berpengaruh di lingkungan
masyarakat pribumi dan nonpribumi yang memiliki perhatian atas nasip pribumi.
Hal ini dapat di lihat dalam kutipan sebagai berikut:
”Di kamar bola ini, ” ia sengaja memberikan ceramah,”
pernah di cetuskan gerakan pertama Golongan Liberal, Tuan Domine Baron Van
Huevell angkat bicara, menuntut di adakan sekolah-sekolah menegah di Hindia.
Setengah abad yang lalu! Bukan main lamanya waktu beredar. Gubermen Jendral
sendiri yang memerintahkan penangkapan atasnya. Kamar bola ini di kepung
sepasukan serdadu, termasuk moncong-moncong meriam di tujukan ke sini – hanya
karena ada yang menghendaki sekolah menengah. Van Huevell di tangkap, di sekap
dalam istana yang Tuan lewati tadi kemudian di angkat langsung ke kapal, tak
boleh lagi menginjakkan kaki di bumi Hindia, kembali ke Nederlan”(Ananta Toer, 2007: 30-31)
Maksud
kutipan di atas adalah keprihatinan kaum liberal atas nasib pribumi dan
keinginan untuk mengambil alih pemerintahan dari tangan kaum konserpatif
mengharuskan tokoh-tokoh golongan Liberal turung langsung melakukan propaganda
di tengah elit-elit yang berpengaruh di tengah masyarakat baik pengusaha,
pemuda, maupun elit politik untuk bersama-sama mengagas dan menuntut kepada
pemerintah agar di adakan sekolah-sekolah menengah sebagai bentuk balas budi
pemerintah atas kebijakan sistem rodi atau tanam paksa. Namun, aktifitas
propaganda yang dilakukan golongan Liberal di tanggapi represif golongan konserpatif dengan cara menangkap
aktor-aktor golongan liberal dan mengembalikan mereka ke negeri Belanda.
Kesadaran
akan pentingnya pendidikan bagi golongan pribumi di jadikan alat propaganda dan
kampanye politik bagi golongan liberal yang tergabung dalam partai Vrijzinning Demokratsche Partj untuk
mengambil alih pemerintahan di Hindia, dalam sebuah kampanye dialogis di Hindia
tokoh liberal Ir. H. Van Kollewij yang di gambarkan dalam novel ini sebagai
berikut:
”Ikatan atara Nederlan dan Hindia
semakin hari semakin erat. Persyaratan moderen semakin mendekatkan dua negeri yang berjauhan ini. Persyaratan kerja pun semakin
baik, semakin tinggi. Juga di Hindia satu kondisi baru dituntut pada kita untuk
menyiapkan kaum terpelajar pribumi memasuki jaman baru ini. Kalau tidak,
sehebat-hebatnya mesin dan pabrik baru yang di datangkan kemari, tiada akan
berguna kalau pribumi tak dapat menggunakannya.” (Ananta Toer, 2007: 39)
Kemudian dalam kutipan yang
lain:
”..........lihat Tuan-tuan,
sampai sekarang masinis-masinis keretapi masih juga orang Eropa, belum ada seorang pun pribumi, masih orang-orang indo. Tapi
datangnya keretapi di Hindia bukan saja telah melahirkan syarat-syarat baru,
juga hukum-hukum baru, yang harus di dengar dan di patuhi orang Eropa dan
pribumi sekaligus. Mengapa pribumi harus cuma memikul beban, kalau
syarat-syarat dan hukumnya harus dipikul bersama-sama?” (Ananta Toer, 2007: 39)
Hakikatnya,
tujuan membentuk lembega pendidikan untuk pribumi yang digagas golongan liberal
berdasarkan asumsi di atas tidak untuk mencerdaskan dan membentuk kesadaran
keritis masyarakat pribumi, tetapi hanya
mencetak tenaga-tenaga kerja terdidik yang murah untuk dipekerjakan di
kantor-kantor milik Belanda. Oleh karena itu, orientasi atau arah kebijakan pendidikan
zaman Belanda mengarah ke working
oriented bukan membangun kesadaran keritis pribumi.
Politik etis
memiliki tiga gagasan utama yaitu pendidikan, irigasi, dan transmigrasi.
Gagasan ini merupakan imbalan atas ribuan nyawa petani yang bekerja di bawah
kebijakan pemerintah yang memberlakukan sistem culturstelsel atau tanampaksa untuk memulihkan prekonomian Belanda
pascaperang di Eropa. Seperti kutipan berikut:
”Kita berhutang budi pada Hindia.
Sedalam-dalamnya, sebagai Eropa, sebagai keristen kita akan berbuat sesuatu
kebaikan pada pribumi untuk menyampaikan balas budi kita. Bukan sekedar
peraturan-peraturan yang menguntungkan mereka. Juga memperlengkapi mereka
dengan syarat-syarat baru untuk dapat memasuki jaman baru ini. Jembatan yang
sebaik-baiknya adalah terpelajar pribumi.” (Ananta Toer, 2007: 40)
Kutipan di
atas menegaskan bahwa untuk membela jasa-jasa masyarakat pribumi Hindia yang
telah bekerja dengan sistem culturstelsel
selama bertahun-tahun, tidak hanya cukup dengan membuatkan peraturan perundang-undangan
yang menguntungkan pribumi, tetapi juga di perlukan pendidikan untuk melahirkan
sosok terpelajar guna memasuki zaman baru yaitu zaman moderen.
Keberhasilan
golongan liberal mengambil alih pemerintahan di Hindia Belanda berimplikasi
pada penerapan politik etis. Walaupun pada sektor pedidikan sudah berhasil
diterapkan oleh pemerintah kolonial, namun karakteristik penerapannya sangat
diskriminatif sehingga tidak menyentuh semua golongan masyarakat pribumi. Pada
zaman kolonial yang berhak memproleh pendidikan hanya anak-anak pejabat dan
pengusaha, selain dari itu hanya memasuki sekolah rendahan dan setelah selesai
tidak berhak lagi melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi disisi lain
pandangan masyarakat saat itu sangat rasial menyebabkan golongan Tionghoa dan
Arab mendirikan sekolah sendiri untuk mendidik generasinya berdasarkan
kurikulum yang mereka kehendaki. Seperti pada kutipan di bawah ini:
”Sayang sekali. Memang bukan
maksudku hendak mengaggu pelajaran Tuan-tuan. Biarpun begitu coba Tuan-tuan
pikirkan barang sekedarnya. Mereka telah mendatangkan guru-guru dari Tionghoa
dan Jepang, golongan Arab mendatangkan dari Tunisia dan Aljazair. Mereka
berkokoh tak mengajarkan Belanda, tapi inggris, lulusannya kelak meneruskan di
sekolah singapura dan negeri-negeri berbahasa inggris. Mereka akan kembali ke Hindia
seagai terpelajar kelas satu. Kita akan lebih ketinggalan lagi. Usaha kita tak
ada sampai sekarang. Tak ada.” (Ananta Toer, 2007: 50)
Maksud
kutipan di atas adalah pandangan yang sifatnya rasial melahirkan sekat-sekat di
tengah masyarakat atara pribumi, Eropa, Arab, dan Tionghoa. Namun, golongan
Tionghoa dan Arab sadar akan esensi nilai-nilai pendidikan dalam membentuk
karakter sehingga mereka lebih memilih mendirikan sekolah sendiri dan mendatangkan
guru-guru dari luar negeri untuk mengajarkan tidak hanya bahasa Belanda tetapi
juga bahasa Inggris agar anak-anak mereka dapat lanjut kenegara lain. Pada
akhirnya golongan Arab dan Tionghoa lebih memahami orientasi pendidikan
Belanda, sehingga mereka lebih memilih mendirikan sekolah sendiri dan membuat
kurikulum sendiri.
b. Nasionalisme
Paham
nasionalisme yang penulis maksud adalah kesadaran kebangsaan, senasib, dan
sepenanggungan yang mulai tumbuh dan mengilhami paradigma masyarakat Hindia
akibat penjajahan Belanda. Hadirnya paham nasionalisme dalam benak masyarakat
Hindia sedikit demi sedikit mengikis paham sukuisme dan feodalisme yang selama
ini mendominasi pemikiran masyarakat yang mengakibatkan penjajah begitu mudah
menggunakan strategi devide et impera
atau politik adu domba untuk mengaduh masyarakat Jawa, Bali, Aceh, dan
masyarakat yang ada di nusantara. Dalam konteks novel Jejeak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer, paham nasionalisme pertama
kali hadir pada diri Minke sebagai tokoh utama novel ini. Seperti pada kutipan
berikut:
”Aku kayu sepedaku pelan-pelan
dalam malam sejuk itu. Di atasku langit bertaburan bintang. Di sekelilingku
ketenangan kota Betawi di waktu malam. Di mana-mana lampu, lampu gas jalanan
dan lampu – minyak pedagang sepanjang jamlan. Hanya dalam hati tak ada lampu,
tak ada bintang. Gelap pekat. Aku malu pada bumi di bawah kakiku, pada langit
di atasku, pada semua manusia di lingkunganku. Mama telah memperingatkan
sekarang Gubermen Jenderal sendiri yang mengatakan: aku telah membantu Gubermen
dengan korangku medan. Sedang di seberang timu sana, sebangsaku orang-orang
Bali, pada merenggut nyawa menghadapi peluru meriam dan bendil kompeni atas
perintah dia.” (Ananta Toer, 2007: 330)
Perenungan
yang di lakukan Minke dalam novel ini telah mengantarkan dia pada titik
kesadaran bahwa selama ini potensi yang di milikinya dan ide-ide yang telah di
sebarkannya melalui korang medan tidak memberikan arti apa-apa terhadap
masyarakat pribumi. Justru lebih menguntungkan pemerintah Gubermen Jenderal,
dari perenungan tersebut nilai-nilai nasionalisme mulai tumbuh dalam dirinya.
Keinginan
pemerintah Belanada untuk menguasai daerah-daerah atau kerajaan-kerajaan di
nusantara semakin besar pascaperang Aceh. Pemerintah bertekat untuk menguasai
Bali dan Lombok namun kesadaran nasionalis yang mulai tumbuh pada diri
masyarakat Hindia akibat propaganda yang dilakukan secara diam-diam oleh Minke
menyebabkan pemerintah Belanda mengalami kesulitan untuk melancarkan politik
adu domba. Seperti pada kutipan berikut:
”Ia telah jalankan tugasnya di
Sala dan Yogya, setelah aku tugaskan dan selama mencurigai aku. Harian kami
telah memulihkan kepercayaannya padaku. Ia telah menghubungi abangnya bintara
legium itu. Waktu itu keberangkatan legium ke Lombok sedang di persiapkan. Para
bintara legium telah sepakat menolak berperang melawan saudara-saudarnya di
seberang Jawa sana.” (Ananta Toer, 2007: 364)
Maksud
kutipan di atas adalah keberhasilan Minke dan pembantunya Sadiman melakukan
propaganda kepada kakak Sadiman yang bekerja sebagai legium kraton untuk tidak
melawan sesama bangsa sendiri, menyebabkan pembatalan keberangkatan legium
untuk membantu Belanda dan ini merupakan bentuk kegagalan Belanda menjalankan
misi politik devide ed impera.
Awalnya
masyarakat pribumi berasumsi bahwa bangsa Hindia hanya sebatas pulau Jawa
sehingga problem yang dihadapi masyarakat di luar pulau Jawa bukanlah urusan
pulau Jawa. Pandagan ini telah mengilhami sebagian tokoh-tokoh terdidik pribumi
termasuk toko organisatoris Boedi Oetomo, dalam novel ini di uraikan bahwa
lahirnya gerakan Boedi Oetomo tidak terlepas dari pandangan Jawa sentris yang
menganggap bahwa Hindia berbangsa tunggal yaitu pulau Jawa, akibatnya pandangan
nasionalisme jauh dari pandangan tokoh-tokoh Boedi Oetomo. Seperti pada kutipan
berikut:
”Aku simpulkan, setidak-tidak
sementara: BO memisahkan diri dari bangsa-bangsa terperintah Hindia selebihnya,
dia telah bikin sempit hidup sendiri. Hindia bukan Jawa. Hindia berbangsa-ganda
organisasinya wajar kalau berwatak berbangsa-ganda Jawa sebagai pulau sudah berbangsa-ganda. Hindia
berbangsa-ganda memang kenyataan kolonial. Pengukuhan Van Heutz cuman sentuhan
pengukuhan terakhir.” (Ananta Toer, 2007: )
Pandangan Minke
dalam memandang Hindia yang terdiri dari ribuan pulau dan suku, merupakan satu
kesatuan yang kemudian di maknainya sebagai bangsa ganda. Berbeda dengan Boedi
Oetomo memandang Hindia yang hanya sebatas pulau Jawa, namun tidak di pungkiri
kehadiran BO merupakan cikal bakal gerakan pemuda yang banyak melahirkan
tokoh-tokoh intelektual pribumi.
Keberhasilan
Minke dan Sadiman melakukan propaganda dan penyebaran ide-ide nasionalis atau
bangsa-ganda telah mengilhami semua legium kraton. Seperti pada kutipan
berikut:
”Aku sendiri, Tuan Redaktur
mempunyai tiga orang anak perempuan. Kalau kami harus melakukan saudara-saudara
kami sendiri, apalagi perempuan-perempuan Bali, itu sama saja dengan dengan
peperangan melawan anak-anak sendiri sebab anak-anak perempuan ini sama saja
impiannya tentang hidup, baik di Bali ataupun di Jawa? Mereka akan melawan
kami, sama saja gigihnya dengan pria suami atau kekasih atau ayahnya.” (Ananta
Toer, 2007: 398)
Pada kutipan
yang lain, para legium kraton menyampaikan pandangannya tentang makna
nasionalisme sebagai berikut:
”Kalaupun berperan dengan mereka,
bisah pulang kembali pada anak-anak bagaimanakah aku harus bercerita? Untuk
mendapatkan permulaan cerita pun akan terlalu susah. Maka kami menolak untuk di naikkan ke kapal, apalagi di
turungkan ke medan perang Bali dan Lombok sebagai ayam aduan.” (Ananta Toer,
2007: 398)
Pada kutipan yang lain:
”Paduka Tuanku Redaktur, ijinkan
dengan ini kami menyampaikan isi hati kami, kesatuan legium mangkunegara, kami
sengaja menolak berangkat kemedang perang kami menolak berlaga dengan
saudara-saudara sebangsa. Kalau tidak di mulai sekarang, paduka Tuan, takan ada
habis-habisnya bangsa Jawa di pergunakan untuk menaklukkan sesaudara di luar
Jawa. Sudah terlalu banyak diantara sebangsa kami tewas di Aceh, di Sumatra
Minangkabau, di Sumatra negeri-negeri Batak, di negeri Bugis, kemudian Bali dan
sekarang pun akan di Lombok pula.........kalau untuk membuka hutan, membikin
sawah, ladang, menggali tambang, membikin jalanan, membuka perkebunan, meman
tangan Jawa telah lakukan di seluruh Hindia. Tak ada jembatan baja di luar Jawa
tidak di kerjakan oleh tangan Jawa. Tapi perang......”(Ananta Toer, 2007: 399)
Uraian novel
ini mendeskripsikan bahwa hadirnya paham nasionalisme pada sosok Minke
merupakan hidayah yang telah menginspirasi masyarakat Hindia khususnya legium
kraton untuk berhenti berperang melawan sebangsa sendiri. Atas dasar paham
nasionalisme ini pula yang mengilhami Minke untuk merumuskan nama Hindi yang
sebenarnya. Hal ini di rumuskan ketika dia bertemu dengan Dowanger yang dalam
sejarah di kenal dengan nama Dekker pembawa ide-ide sosialis Marx ke Hindia.
Melalui diskusinya Minke dan Douwanger mencoba merumuskan nama untuk bangsa
Hindia sekaligus mengokohkan paham nasionalis dalam benak Minke. Seperti
kutipan berikut:
”Menurut pikiranku, kita agak
berselisih sedikit Hindia tidak berbangsa-ganda. Hindi berbangsa Hindia bangsa
Indiseh. Menurut pikiran dasar ini pula, setiap orang Indiseh. Berbangsa
Hindia, tak peduli berbangsa asal apa, Arab, Jawa, Keling, Belanda, Tionghoa,
Melayu, Bugis, Aceh, Bali, peranakan, bahkan totok Asingpun yang tinggal dan
mati di Hindia dan bersetia pada Hindia, itulah
bangsa Hindia, bangsa Indiseh.”
(Ananta Toer, 2007: 465)
Kutipan di
atas menjelaskan bahwa Hindia bukanlah bangsa yang bernama bangsa ganda. Tapi
Hindia adalah adalah bangsa Hindia atau Indiseh
dan siapapun yang memiliki loyalitas dan perasaan senasip, sudah termauk
masyarakat Indiseh.
c. Ekonomi Politik
Salah satu
tujuan kehadiran penjajah Eropa di nusantara di latar belakangi oleh
kepentingan ekonomi. Namun, ekonomi politik yang dimaksud adalah kebijakan yang
dilakukan pemerintah Hindia Belanda dalam aspek ekonomi untuk mempertahankan
dominasi dan eksistensinya sebagai negarah penjajah. Dalam novel ini Pramodya
mendeskripsikan penomena yang terjadi pada abad ke-19 dari sisi ekonomi,
pertarungan antara Belanda, pedagang Arab, Tionghoa, dan Pribumi yang tentunya
memiliki orientasi berbeda. Belanda dengan orientasi ekspansi dan eksploitasi
untuk kepentingan negara Belanda, sedangkan Arab dan Tionghoa hanya untuk
kemakmuran dan kesejahteraan komunitas mereka. Tentu yang menjadi objeknya
adalah pribumi, pada satu sisi pribumi harus mempertahankan sumber ekonomi atas
desakan yang dilakukan Tionghoa dan Arab dan sisi lain menjadi sumber atau
objek eksploitasi dan ekspansi Belanda.
Benturan
ekonomi tidak hanya terjadi antara pribumi dan Tionghoa atau Arab tetapi juga
terjadi antara pengusaha Eropa dan Tionghoa. Hal ini dapat di lihat pada dilihat pada kutipan
berikut:
”Hanya dalam beberapa
minggu dan suatu yang mengagumkan terjadi semua pedagang Tionghoa di
Surabaya-kemudian juga menjalar ke kota-kota lain-menolak mengambil barang
dagang dari perusahaan yang belakang ini gulung tikar. Tiga buah perusahaan
perusahaan Besar Eropa lainnya menyusul gulung tikar kebangkrutan di ikuti oleh
keguncangan dalam dunia perbankan. Dunia perdagangan kalangkabut pengaruhnya
terasa sampai kelorong-lorong desa. Apalagi di kota-kota.” (Ananta Toer, 2007:
396)
Penindasan
yang di lakukan perusahaan Eropa terhadap pengusaha kecil Tionghoa memicu
terjadinya boikot yang dilakukan seluruh pengusaha Tionghoa terhadap barang
dagang Eropa. Boikot ini menyebabkan seluruh perusahaan Eropa yang berada di
Hindia mengalami kebangkrutan akibat terjadinya akumulasi barang. Kebangkrutan
perusahaan-perusahaan Eropa juga berimplikasi pada prekonomian dunia yang
mengakibatkan terjadinya krisis finansial, dalam novel ini istilah boyccot merupakan istilah baru sekaligus
strategi ekonomi baru yang di perkenalkan oleh orang yang bernama Boicot
kemudian strategi ini menyebar ke Hindia dan pertamakali di pergunakan oleh
pengusaha Tionghoan untuk melumpuhkan penindasan ekonomi yang di lakukan
perusahaan Eropa.
Hindia
merupakan negara agraria, selain kopi, pala, dan lada yang merupakan sumber
ekonomi Belanda pada saat itu, gula merupakan salah satu komoditi ekspor yang
sangat di butuhkan di seluruh negara Eropa. Bahkan dalam struktur pemerintahan
pengusaha-pengusaha perkebunan gula pada saat itu mampuh membatalkan dan
menginterpensi kebijakan yang di buat pemerintah sehingga dominasi ekonomi dan
kesewenangan terhadap pribumi semakin menjadi-jadi. Seperti kutipan berikut ini:
”.........mereka memang raja-raja
uang siapa heran? Gula dari Jawa dikehendaki di seluruh dunia. Biarpun Eropa
berkokoh membikin gula sendiri dari biet, tak urung mereka menghendaki gula
dari Jawa juga. Pada awal tahun 1909 ini, Tuan, Expor gula akan meningkat sepuluh porsen. Gula
furmosi tetap tidak mampuh mengejar soalnya memang atmistrasi orang-orang
Belanda tidak bisa di tandingi mereka dapat memperhitungkan hal-hal yang
kecil-kecilnya.” (Ananta Toer, 2007: 476)
Maksud
kutipan di atas adalah eksistensi pabrik gula dan perkebunan tebuh di Jawa
merupakan komoditi ekspor yang bernilai tinggi dan diminati di seluruh
negara-negara Eropa. Keberhasilan pengusaha gula dari Jawa mampuh mengalahkan
gula Eropa yang bahan bakunya dari biet
dan ekspornya mencapai sepuluh persen dari tahun-tahun sebelumnya.
Keberhasilan
pemerintah Belanda dan kapitalis Eropa dari sisi ekonomi tidak berbanding lurus
dengan apa yang dialami masyarakat pribumi. Kemamapuan Belanda yang telah
berselingkuh dengan pengusaha – pengusaha nonpribumi dan rekayasa ekonomi
politik penjajah mengakibatka
pribumi selamanya berada di bawah garis
kemeleratan. Setiap kebijakan yang buat pemerintah pejajah selalu mengutamakan
kepentingan pribadi, bahkan kebijakan politik etik tidak terlepas dari
kepentingan ekonomi Belanda. Seperti kutipan berikut:
”Ya, dagang yang berpolitik, dan
politik yang berdagang, dwitunggal yang bikin sensara bangsa-bangsa jajahan,
Tuan Hadji kalau tuan pernah dengar tentang politik ethiek, itulah dia isinya.
Yang jadi sasaran politik itu adalah pribumi, dan pribumi tetap hidup kapiran
dalam kemiskinan” (Ananta Toer, 2007: 477)
Benturan
antara pedagang Tionhoa, Arab, dan Pribumi yang mempertahankan sumber-sumber
pendapatan merupakan benturan segitiga. Benturan ini yang kemudian melahirkan
organisasi SDI (Sarekat Dagang Islamiyah) sebagai wadah untuk berkumpul dan
mempertahankan hasil-hasil batik sedangkan komunitas Tionghoa membentuk
perkumpulan yang di sebut reksorumekso.
Kutipan berikut mendiskripsikan pertikaian antara Tionghoa, Arab,dan pribumi:
”Perdagangan besar tetap berada
di tangan bangsa Eropa. Perdagangan di sepanjang pantai pulau Jawa
berangsur-angsur mulai berpindah tangan dari pribmi ke tangan Tionghoa, dalam
kelajuan yang luar biasa cepatnya pedagang-pedagang Arab juga mulai terdesak
oleh Tionghoa dari pantai-pantai Jawa para pedagang Tionghoa semakin mendesak
ke pedalaman. Nampaknya tinggal berapa tempat tertentu saja di Jawa dapat
bertahan terhadap desakan mereka. Sala, yogya, kudus, tasikmalaya.” (Ananta
Toer, 2007: 518)
Pada kutipan
lain di deskripsikan keterpojokan pedagang pribumi dan keberhasilan pendagang
Tionghoa mengambil alih sumber-sumber ekonomi pribumi, sebagai berikut:
”Sampai sekarang pedagang batik
di Sala dan Yogya tetap berada di tangan pedagang-pedagang pribumi setiap tahun
mencapai peredaran sampai beberapa ratus ribu gulden, di tambah lagi dari hasil
kerajinan tangan perak dan emas.pedagang-pedagang pribumi akan bertahan dan
berkelahi mati-matian untuk batik ini, sebaliknya perdagangan topi ayaman
Tangeran telah jatuh samasekali ke tangan para pedagang Tionghoa, dan di ekspor
ke Amerika Latin, terutama Mexico dan Prancis, terutama Marseille. Salah dan
Yogya tak sudi mengalami nasib seperti Tangerang.” (Ananta Toer, 2007: 519)
Keberhasilan
Mingke membentuk SDI, sebagai wadah untuk menyatukan pedagang-pedagang pribumi
direspon positif seluruh pedagang pribumi yang selama ini mengalami penindasan
dari pedagang Tionghoa, Arab, dan Eropa. Seperti pada kutipan berikut:
”Dalam program konfrensi
mendatang telah di sebutkan S.D.I. akan mendorong maju perdagangan pribumi
Hindia, membebaskan penghasil-penghasil kecil dari sewenang-wenangan tengkulak
dan periba membangun modal sebesar-besarnya untuk mendirikan
perusahaan-perusahaan, semua dengan tujuan untuk tetap mempertahankan
perdagangan pribumi dari desakan modal orang-orang bukan pribumi. Hasil dari
semua usaha akan dipergunakan untuk memajukan perdagangan, kerajinan tangan,
pendidikan dan pengajaran.” (Ananta Toer, 2007: 543)
Maksud
kutipan di atas adalah kehadiran SDI, merupakan tempat atau wadah untuk
mempersatukan pedagang-pedagang pribumi islam dari penindasan dan
kesewenan-wenangan para tengkulat Eropa, Arab, dan Tionghoa. Selain bertujuan
untuk mendirikan perusahaan-perusahaan besar yang dapat mengatvokasi para
pedagang pribumi dari keterbatasan modal. Semua usaha SDI sebagai syarikat pada
akhirnya bermuara pada satu titik yaitu memajukan perdagangan pribumi.
Kesadaran
Minke akan pentingnya pengorganisiran pedagang dan kemampuan perdagangan
meningkatkan kesejahteraan hidup manusia, semakin memacu semangat untuk
mempertahankan eksistensi SDI sebagai sebuah wadah pemersatu. Seperti kutipan
berikut:
”Perdagangan adalah jiwa
negeri, Tuan. Biar negeri tandus, kering kerontang seperti Arabia, kalau
perdagangan berkembang subur, bangsanya bisa makmur juga. Biar negeri Tuan
subur, kalau perdagangannya kembang-kempis semua ikut kembang-kempis, bangsanya
tetap miskin. Negeri-negeri kecil menjadi besar karena perdagangan, dan negeri besar menjadi kecil karena menciut
perdagangannya.” (Ananta Toer, 2007: 519-520)
Kemajuan
industri perdagngan di Hindia pada saat itu, serta permintaan negara-negara Eropa
dan Amerika yang membutuhkan banyak barang-barang gubal dari Hindia sehingga
permintaan untuk hasil-hasil pertanian menurung menyebabkan pemerintah Belanda
merubah arah kebijakan ekonomi politiknya dari kerja rodi, menjadi pajak usaha
untuk desa-desa yang sudah berkembang. Seperti kutipan berikut:
”Tahun-tahun ini
negeri-negeri Eropa dan Amerika membutuhkan banyak barang gubal dari Hindia.
Perdagangan berkembang dan membangun desa-desa yang tertidur. Makin lama uang
makin banyak terhisap oleh desa dan meninggalkan kota. Di kalangan atasan sudah
terbit desus untuk menghapus rodi, menggatinya dengan pajak kepala, yakni untuk
desa-desa di mana uang sudah mulai beredar dan mengalir.” (Ananta Toer, 2007:
521)
Kemajuan dari
aspek prekonomian negara-negara Eropa dan Amerika sangat mempengaruhi
negara-negara jajahan termasuk Hindia di bawah kendali Belanda, dalam teori
poskolonialisme, keberhasilan Barat membangun opini tentang Timur yang menurut
Said (1997: 60) sebagai orientalisme menyebabkan Hindia sebagai tempat untuk
ekspansi ekonomi agar tidak terjadi akumulasi barang di negara Eropa dan
Amerika istilah ini kemudian yang dikenal dengan liberalisasi atau political marketyng. Ekspansi ini di
perlancar dengan kerjasama medi dan kapital. Seperti kutipan berikut:
”Tapi di jaman moderen ini, ada
banyak cara dan alat untuk membikin orang sukajual- beli, di negeri-negeri
paling maju sekalipun, di Amerika serikat. Iklan-iklan raksasa seperti air laut
bergelombang-gelombang membentuk kesan tanpa henti, orang di todong, di ancam
kalau tidak membeli dan menggunakan produksinya akan rugi, akan begini,begitu. Lama-kelamaan orang
percaya, terpaksa atau dipaksa membeli karena berhasil di bikin limbung. Juga
dengan perusahaan-perusahaan pakaian. Orang dipaksa-paksa untuk membeli dan
menggunakannya kalau tidak, orang akan dianggap ketinggalan jaman.” (Ananta
Toer, 2007: 527).
Apa menjadi
landasan atau tujuan utama SDI yaitu untuk menciptakan usaha-usaha yang tidak
hanya bergerak dalam bidang perdagangan mulai di realisasikan. SDI yang tadinya
hanya sebuah perkumpulan para pedagang telah membangun usaha-usaha dalam dunia
pendidikan (pendirian sekolah-sekolah pribumi) dan membangun usaha perkapalan,
namun usaha tersebut tidak diberikan izin oleh pemerintah Belanda karena adanya
keinginan Gubermen Jenderal untuk monopoli perdagangan khususnya dalam bidang
perkapalan. Seperti kutipan berikut:
”Dewan pimpinan merencanakan
membeli-sewa kapal samudra. Pagi-pagi Gubermen telah memberi isyarat tidak
membenarkan. Bahkan perusahaan perkapalan orang-orang Arab dan Tionghoa, dalam
jaman emasnya mengangkuti kompeni dalam meluaskan wilayah kekuasaannya,
sekarang di gulung kompeni itu juga, terpaksa menjual kapalnya dengan harga
murah di Hongkong atau Singapura. Perusahaan perkapalan kerajaan K.M.P. setapak demi
setapak menjadi perusahaan monopoli tanpa tandingan di perairan Hindia.”
(Ananta Toer, 2007: 567)
Pergantian
pemerintah Gubermen Jenderal sebagai penguasa di Hindia menyebabkan terjadinya
perubahan kebijakan dalam bidang ekonomi. Perubahan kebijakan tersebut sifatnya
sangat represif sehingga banyak perusahaan-perusahaan yang di tutup dan banyak
usaha-usaha baru yang tidak diberikan izin usaha. Perubahan kebijakan ini di
akibatkan oleh pemerintah terdahulu banyak menghabiskan dana untuk kebutuhan
perang, sehingga kas negara Belanda mengalami defisit dan untuk memulihkan
stabilitas prekonomian, Belanda melakukan monopoli perdagangan dan pemberlakuan
pajak usaha. Selain itu, pemerintah tidak lagi toleran atas berbagai aktivitas
gerakan pribumi khususnya gerakan SDI yang mulai tumbuh semangat nasionalis dan
kesdaran keritis atas penjajahan yang selama ini di alami pribumi.
Untuk lebih
jelas terkait objek analisi, dapat di lihat pada tabel nilai sosial politik di
bawah ini:
Tabel: Nilai
sosial politik yang terdapat pada novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta
Toer.
No
|
Nilai Sosial Politik
|
Halaman
|
1
2
3
|
Pendidikan
Nasionalisme
Ekonomi
|
30-31, 39, 35,
40.
330, 364, 391,
398, 398, 399, 465.
396, 476, 477,
518, 519, 543, 519-520, 521, 567.
|
B. Pembahasan
Berdasarkan
analisis data, maka di ketahuibahwa novel Jejak
Langkah karya Pramoedya Ananta Toer mempunyai nilai sosial politik yang
terdiri:
a. Politik Pendidikan
Terdapat
perbedaan karakter antara Belanda dan Inggris dalam memperlakukan daerah
jajahannya. Mengapa kita menjadikan Inggris dan Belanda sebagai objek
perbandingan, karna kedua negara inilah yang banyak melakukan penjajahan di
wilayah Asia. Inggris merupakan negara industri paling maju di negra-negara
Eropa, sehingga tujuan utama Inggris melakukan penjajahan hanya untuk menjual
prodak-prodak industrinya kepada negara-negara jajahannya agar tidak terjadi
akumulasi barang. Berbeda dengan Inggris, Belanda masih tahap industrialisasi
sehingga untuk mempercepat laju industri, Belanda melakukan ekploitasi
besar-besaran terhadap wilayah-wilayah jajahannya dan mengabaikan sisi yang
urgen dalam kehidupan pribumi, misalnya aspek pendidikan pribumi.
Novel ini
menguraikan bahwa selama kurang lebih tiga ratus enam pulu tahun atau tiga
setengah abad lamanya, Belanda menjajah Hindia. baru sekitar awal abad ke-19
masyarakat pribumi sudah mulai memperoleh pendidikan yang layak akibat
kebijakan politik etis penjaja. Keritik dunia internasional, atas perlakuan
Belanda terhadap negara jajahan menyebabkan terjadinya dialektika dalam
parlemen Belanda antara golongan konserpatif dan golongan liberal. Golongan
liberal menilai bahwa kebijakan politik yang sangat eksploitasi dan lebih
mengutamakan kepentingan ekonomi telah merusak citra pemerintah di mata dunia
internasional. Selain itu, pada tahun 1848 di negeri Belanda terjadi gerakan
Mei yang menuntut perombakan undang-undang dasar yang liberal.(Moeliono, tampa
tahun: 56) Oleh karena itu, golongan liberal mengigingkan pemerintah menerapkan
kebijakan politik etis. Keinginan golongan liberal, ditolak oleh golongan
konserpatif yang ingin mempertahankan kebijakan yang sudah di buat pemerintah.
Untuk mewujud keinginan golongan liberal, maka tokoh-tokohnya melakukan
kampanye agar memperoleh kursi yang banyak dalam parlemen Belanda, karna
kebijakan pemerintah di negara-negara jajahan sangat di tentukan oleh suara di
parlemen.
Kampanye
dialogis tokoh liberal di wilayah Hindia di wakili oleh Van Kollewijn dan Van
Heutz, yang juga di hadiri oleh Minke sebagai representatisi pribumi. Menjajikan
kepada tokoh-tokoh intelektual pribumi dan tokoh-tokoh Eropa yang simpati
terhadap pribumi untuk menjadikan pribumi sebagai lokomotif penggerak dalam
perusahaan dan perkebunan milik negara. Oleh karena itu, diperlukan pendidikan
untuk melahirkan tenagah-tenagah terdidik.
Menurut Van
Heutz yang juga merupakan utusan partai Vrijzining
Demucratische Partij. Pemerintah Belanda sebagai negara Eropa dan juga
negara beraga keristen, sudah seharusnya menajadikan pribumi sebagai lokomotif
penggerak sehingga pemerintah tidak perlu lagi mendatangkan tenaga-tenaga dari
Eropa untuk bekerja di perusahaan dan kantor milik negar. Menurutnya, semua itu
bisah di raih ketika pribumi memiliki pengetahuan yang memadai dan pengetahuan
itu bisah di raih melalui sistem pendidikan yang baik.
Sebagai kaum
pribumi yang terdidik, Minke dengan menggunakan pisau analisis untuk membedah kebijakan-kebijakan
pemerintah dalam hal ini kebijakan politik etis, justru berasumsi bahwa
pemberlakuan politik etis merupakan strategi baru pemerintah Belanda untuk
menghemat anggaran negara Belanda. Dengan menyekolahkan pribumi dan setelah
selesai langsung mempekerjakan di perusahaan dan kantor negara sebagai staf
rendahan dan gaji rendahan, pemerintah Belanda tidak perlu lagi mendatangkan
tenaga-tenaga pekerja dari Eropa yang memerlukan bianya banyak dan gaji yang
juga mahal. Selain itu, kurikulum pendidikan Belanda hanya bertujuan untuk
menghasilkan tenaga kerja (working oriented) murahan, tetapi pada sisi sikap
sama sekali tidak mengantarkan kaum pribumi untuk bersikap kritis dan sadar
akan posisinya sebagai objek penjajahan sehingga pascapemberlakuan politik etis
banyak kalangan pribumi yang sadar mengambil inisiatip untuk membangun
sekolah-sekolah sewasta di luar dari sekolah bentukan pemerintah.
Berbeda dengan Hindia, jauh sebelum pemberlakuan politik etis.
Bangsa-bangsa pengembara Tionghoa dan Arab yang betul-betul sadar akan esensi
pendidikan bagi generasi muda telah mendirikan sekolah-sekolah sebagai tempat
untuk mendidik generasi muda berjiwa revolusi bahkan banyak di antara mereka
yang hanya menjadikan Hindia sebagai tempat menyusun kekuatan untuk
menggulingkan kekuatan diktor kaisar Yesi. Salah satu sekolah yang cukup
populer pada saat itu, sesuai dengan gambaran novel ini adalah Tion Hoa Hwee
Koan dan Jamiatul Khair.
Dengan
menggunakan pendekatan poskolonialisme untuk mengurai makna di balik teks dan
hubungannya dengan dunia pendidikan kontemporer, hakikatnya novel ini
menyampaikan sebuah pesan bahwa pendidikan saat ini telah banyak di politisasi,
bahkan kampanye-kampaye pemilu tentang prioritas pendidikan, tidak hanya di
lakukan pada masa kolonial tetapi juga masih dilakukan dalam konteks modern
saat ini. Secara realistis keberhasilan Gubernur terpilih Makassar priode 2008-2014
memperoleh suara terbanyak tidak terlepas dari ikrarnya yang akan memberlakukan
pendidikan garatis.
Ketika
popularitas SBY-JK menurun dimata publik, akibat kebijakan menaikkan BBM dua
kali dalam dua tahun berturut-turut, maka SBY-JK cepat-cepat mengeluarkan
kebijakan yang akan menaikkan aggaran pendidikan dari 11% menjadi 20% sesuai
dengan amanat konstitusi pada tahun 2009, secara luar biasa kebijakan tersebut
langsung mendongkrak popularitas SBY-JK dimata publik.
b. Nasionalisme
Pada awal abad ke-19 istilah nasionalisme merupakan istilah baru dan hanya
segelintir orang pribumi yang dapat
memahami makna nasionalisme. Kehadiran paham nasionalisme merupakan
dampak kolonialisasi Belanda selama bertahun-tahun, dalam novel ini di gambarkan
bahwa Minke merupakan pribumi pertama menyuarakan rasa kebersamaan, senasib,
sebangsa, dan menggunakan istilah bangsa ganda untuk menyebut bangsa-bangsa
yang ada di Nusantara. Pertemuan Minke dengan tokoh sosialis Douwanger lebih
memperdalam pemahamannya terhadap makna nasionalisme dan konsep negara
kebangsaan.
Istilah
nasionalisme atau paham kebangsaan di bawah pemerintahan Belanda merupakan
istilah yang ampuh untuk mematahkan strategi politik adu domba yang di gunakan
Belanda untuk mecah belah kaum pribumi.
Keinginan pemerintah Gubermen menyatukan seluruh kerajaan-kerajaan yang ada di
nusantara, menyebabkan terjadinya impansi militer. Setelah mengalahkan kerajaan
Aceh yang telah berperang selama bertahun, maka pemerintahan Belanda bergeser
ketimur nusantara untuk mengusai kerajaan Bali dan Lombok. Untuk memudahkan
pendudkan, pemerintah Belanda meminta bantuan kepada kraton Solo dan Yogya
untuk menurunkan legiumnya.
Persaaan
senasib, sebangsa, dan seperjuangan tanpa batasan atau sekat – sekat sukuisme, mendorong
Minke untuk melahirkam propaganda melalui pembantunya atau kariawannya yang
bernama Sadiman yang memeiliki saudara sebagaia komandan legium kraton, ide-ide
nasionalisme dipropagandakan kepada legium-legium kraton agar mereka tidak terjebak
dalam strategi politik Belanda yang akan menjadikan masyarakat pribumi sebagai
aduan sesama pribumi yang sebangsa. Propaganda Minken melalui Sadiman ternyata
berhasil, seluruh legium kraton Solo dan Yogya tidak ingin berangkat. Peristiwa
ini merupakan titik awal lahirnya atau tersemianya nilai – nilai nasionalisme
pada diri pribumi.
Walaupun
Minke berhasil menggagalkan legium – legium kraton Solo dan Yogya untuk
berperang melawan saudara sendiri, tetapi tidak semua tokoh – tokok intelektual
pribumi menerima ide nasionalisme, hal ini disebabkan oleh paham Jawasentris
dan sukuisme yang sudah mendarah daging. Di sisi lain permasalahan masyarakat
pribumi khususnya yang berada di pulau Jawa hanya menganggap Jawa sebagai bangsa
tersendiri dan berbeda dengan bangsa – bangsa atau pulau – pulau lainnya yang
ada dinusantara. Kehadiran organisasi Boedi Otomo juga tidak terlepsa dari paham Jawasentris sehingga dalam perjalanannya
anggota – anggotanya hanya terdapat di pulau Jawa dan Madura. Melihat realitas
tersebut Minke tidak tinggal diam, Dia langsung mengutarakan pesan nasionalisme
kepada Boedi Oetomo untuk dijadikan landasan organisasi dan tidak dibatasi oleh
sekat-sekat kepulauan. Namun, dialog tersebut tidak membuahkan hasil Boedi
menolak paham nasionalisme sebagai landasan organisasi degan alasan bahwa Hindia
tidak berbangsa ganda tapi hanya satu yaitu Jawa, jadi perasaan senasib yang
dirasakan oleh Beodi hanya sebatas pulau Jawa di luar Jawa baginya adalah
bangsa tersendiri.
Kegagalan Minke
menarik simpati tokoh – tokoh intelektual pribumi tidak mematahkan semangat
mereka untuk melakukan propaganda agar
pribumi bersatu dan tidak berpersepsi Jawasentris. Melalui media yang dikelolah
dan dipimpimnya sendiri yaitu koran medan, Minke menyuarakan semangat
berorganisasi dan keharusan pribumi memiliki rasa kebersamaan atau sikap
nasionalisme. Minke merupakan pribumi pertama yang berhasil menerbitkan koran
pribumi yaitu ”medan” kecerdasannya dan kedekatannya dengan Gubermen Jendral menjadikan
Dia leluasa bergerak walaupun pada akhirnya Minke dibuang atau diasingkan di
luar pulau Jawa sebagai Tapol (tahan politik) setelah Van Heutz diganti oleh Gubermen
Jendral baru Van Derwig.
Pada masa
pemerintahan Gubermen Jendral Van Heutz. Minke banyak melakukan aktivitas yang
bertujuan untuk melindungi dan memperjuangkan hak-hak pribumi dari penindasan
bangsa Eropa, Tionghoa, dan Arab. Selain itu, Minke juga bertujuan menyatukan
masyarakat pribumi yang tidak hanya berada dalam pulau Jawa tetapi seluruh
pulu- pulau yang ada di nusantara di bawah satu wadah atau payung organisasi
yang diberi nama SDI (Sarekat Dagang Islamiyah). SDI merupakan organisasi modern
pribumi pertama yang menjadikan paham nasionalisme sebagai landasan organosasi,
sehingga cabangnya tidak hanya terbatas di pulau Jawa, tetapi berada di seluruh
pulau di nusantara, termasuk pada saat itu Manado dan Palu juga tedapat cabang
SDI.
Sebagai
pribumi terdidik yang sadar posisinya sebagai bangsa terjajah, Minke memobilisasi
segala daya untuk melawan bercokolanya kekuasaan Belanda yang sudah berabad-abad
umurnya, namun secara politik Minke sadar bahwa perjuangan dengan jalur
perlawanan bersenjata akan menyebabkan dia bunuh diri sebagaiman dikatakan oleh
temannya sebagai bunuh diri politik. Oleh karena itu, Minke memilih jalan
jurnalistik dengan membuat sebanyak-banyaknya bacaan propaganda untuk pribumi.
Melalui korannya medan prijaji Minke berseruh kepada rakyat pribumi untuk
meningkatkan boikot kepada pengusaha-pengusaha Eropa yang bertindak
sewena-sewena, mendirikan organisasi dengan landasan nasionalisme, dan
menghapus budaya feodalisme sebagai tradisi penindasan penguasa pribumi
terhadap sesama.
Hakikatnya
paham nasionalisme, pascakolonialisme telah bermetamorposis menuju perubahan
bentuk yang merepresentasikan setiap zamannya. Pascaproklamasi kemerdekaan RI
1945, istilah nasionalisme pada saat itu dijadikan strtegi politik untuk
membakar semangat perlawanan masyarakat Indonesia dengan tujuan mempertahankan
eksistensi kemerdekaan yang telah diproklamirkan dan membendung masuknya
penjajahan Belanda jilid II, yang kemudian dalam sejarah dikenal dengan istilah
agresi militer Belanda I dan II. Dengan semangat nasionalisme tersebut,
Indonesia mampuh mematahkan perlawanan Belanda walaupun melalui meja
perundingan yang dinilai merugikan pihak terjajah.
Pascaorde
lama hingga reformasi ide nasionalisme justru hanya bersifat istilah yang telah
mengalami kematian makna. Kehadiran pahan nasionalisme pada diri masyarakat
hanya bersifat spontan, yaitu ketika merasa terancam oleh negara tetangga.
Setelah itu, ide tersebut hilang dan digantikan oleh paham-paham baru berupa
ide individualistik, matrealistik, liberalisme, kapitalisme, sukuisme, dan
neofeodalisme. Dengan pendekatan teori poskolonialisme istilah-istilah tersebut
merupakan bentuk penjajahan baru negara-negara Eropa dan Barat yang lebih halus
untuk mempengaruhi budaya, sikap, dan pemikiran masyarakat indonesia. Paham
neoliberalisme dan kapitalisme merupakan istilah dan strategi baru untuk
kembali menjajah negara-negara berkembang dari aspek ekonomi. Sukuisme dan
feodalisme merupakan rengkarnasi dari sikap masyarakat pribumi seperti yang
dijelaskan dalam novel Jejak Langkah
yang hadir dalam dunia moderen saat ini. Sehingga tidak heran kalau saat ini
sekat-sekat dan kekacauan sosial justruh banyak diakibatkan oleh sikap sukuisme.
Selain itu feodalisme telah mengilhami banyak tokoh-tokoh kita yang gila
penghargaan dan libido kedewaan sehingga merasa sebagai generasi raja-raja dulu yang perlu
dimuliakan dengan berbagai macam gelar dan status dalam ruang sosial. Oleh
karena itu, novel ini melalalui tokohnya Minke hakikatnya, mengigatkan kita
akan kerapuhan nasionalisme yang tidak hanya terjadi pada masa kolonial, tetapi
juga pada sekarang akibat penjajahan model baru yang di kemas dalam bentuk yang
berbeda yaitu penjajahan budaya dan pemikiran.
e. Ekonomi Politik
Kehadiran penjajah Belanda di Hindia awalnya bertujuan untuk berdagang dan
menyebarkan agama keristen, namun melihat potensi sumberdaya alam Hindia yang
pada saat itu didominasi oleh rempah – rempah.
Mendorong Belanda untuk melakukan impasi dan eksploitasi ekononmi secara
besar- besaran. Untuk mewujudkan keinginan tersebut Belanda membuat VOC sebagai
lembaga ekonomi yang bertujuan
untuk melakukan monopoli perdagangan. Hasil – hasil pertanian petani di beli
dengan harga murah dan di jual ke negara lain dengan harga yang sangat mahal.
Keberhasilan Belanda
menaklukan kerajaan di nusantara semakin memperparah kondisi masyarakat
pribumi. Libido kapitalistik Belanda untuk menghasilkan lebih banyak lagi hasil
pertanian dan perkebunan, mendorong pemerintah Gubermen Jenderal membuat
kebijakan ekonomi politik yang di kenal dengan istilah kerja rodi atau sistem
tanam paksa selama ratusan tahun pribumi hidup di bawah sistem tanampaksa
sampai keberhasilan golongan liberal mnengambil alih pemerintahan dari golongan
konserpatif yang kemudian membuat kebijakan politik etis yang secara ekonomi
kebijakan ini mengarah pada irigasi dan transmigrasi
Perubahan
kebijakan tersebut tidak serta merta membuat petani pribumi hidup tenang
perlakuan semena-mena dari penguasa Eropa, Tionghoa, dan Arab memebuat
kehidupan pribumi semakin melarat. Melihat penindasan yang dialami sebangsanya
Minke merasa prihati. Sebagai peribumi yang mendapat pendidikan tinggi Minke
melakukan perlawanan dengan menulis kemedia – media Eropa. Setelah memiliki
modal minke menerbitkan koran medan priyayi sebagai koran pertama pribumi untuk
melindungi hak – hak pribumi. Minke mulai mempelajari startegi boikot guna
dijadikan strategi untuk mematahkan arogansi pengusaha-pengusaha Eropa,
Tionghoa, dan Arab.
Istilah
boikot pertama kali di dengarkan oleh Minke melalui aksi boikot
pedagang-pedagang Tionghoa, atas penindasan yang dilakukan pengusaha Eropa.
Aksi boikot yang dilakukan pedagang Tionghoa ini menyebabkan terjadinya krisis
ekonomi di dunia khususnya di Hindia, seluruh perusahaan Eropa yang berada di
Hindia mengalami kebangkrutan. Melihat
penomena ini, Minke terinspirasi
untuk mempelajari strategi boikot yang dilakukan pedagang Tionghoa. Minke
berasumsi bahwa strategi boikot merupakan strategi yang ampuh untuk dijadikan
alat perlawanan atas dominasi dan penindasan pedagang Eropa, Tionghoa, dan
Arab.
Kemajuan
perdagangan di bumi Hindia yang mulai bergerak di bidang industri rumah tangga
sepertti perdagangan batik, topi jerami, dan juga industri rokok, menyerap
tenaga kerja yang cukup banyak sehingga di beberapa daerah tempat industri tersebut,
masyarakatnya hidup dalam keadaan sejahtera. Selain itu, pada tahun 1909 dalam
konteks novel ini negara Eropa dan Amerika Serikat tidak membutuhkan
bahan-bahan hasil pertanian, sehingga untuk tetap menjaga stabilitas keuangan Belanda
akibat lesuhnya pasar dunia. Penerintah Belanda merubah strategi ekonomi
politik dari sistem kerja rodi menjadi pajak usaha, kebijakan tersebut mampu
mempertahankan neraca keuangan pemerintah Belanda.
Kesadaran Minke melihat kemajuan perdaganaan pribumi dan esensi perdaganagn
bagi kemajuan bangasa mendorong Minke untuk membuat perkumpulan atau organisasi
perdagangan pribumi agar kegiatan pribumi semakin terorganisir dan dari
perkumpulan tersebut dapat digunakan untuk memperlebar usaha-usaha besar serta
membantu pribumi yang tidak memiliki modal. Maka pada saat itu, setelah
melakukan pertemuan-pertemuan dengan tokoh-tokoh terdidik lainnya dibentuklah
SDI (Sarekat Dagang Islamiyah) sebagai wadah pemersatu perdagangan pribumi. Selain
itu, menurut Minke dengan hadirnya organisasi SDI para pedagang pribumi dapat
melakukan perlawanan terhadap penguasa-penguasa Eropa dan Tionghoa yang
bertindak semena- mena.
Terbentuknya
SDI direspon baik masyarakat pribumi, anggotanya tersebar diseluruh wilayah
nusantara hinga pulau sulawesi diantaranya Palu dan Manado kesuksesan ini
mengantarkan Minke sebagai tokoh yang sangat berpengaruh di nusantara saat itu.
Usaha Minke melalui SDI untuk membentuk perasaan-perasaan lain mulai nampak.
Namun keinginan SDI untuk membentuk perusahaan perkapalan dan sekolah-sekolah
pribumi mendapat tantangan dari pemerintah hindia belanda. Arogansi pemerintah
Van Derbug yang menggantikan Van Heutz mulai nampak mereka menggagalkan usaha
SDI yang sangat strategis dan juga usaha-usaha tionghoa untuk memberlakukan
monopoli perdagangan khususnya diperairan dan perkapalan. Bahkan melalui surat
yang dibuat panheus buat Minke. Panheus menganjurkan untuk menghentikan segala
aktivitas ekonomi politiknya dan membubarkan SDI demi keselamatannya. Namun
bagi Minke SDI adalah harga mati.
Melihat
posisi pemerintah Gubermen yang mulai terncam akibat aktivtas Minke maka
pemerintah berinisiatif untuk mengasingkan Minke keluar pulau Jawa agar
aktivitas politiknya tidak dapat berjalan, hingga akhirnya keinginan tersebut
terwujud Minke diasingkan dan perjuangan SDI tetap berlanjut. Inilah bentuk
strategi politik pemerintah Gubermen Hindia Belanda untuk mematahakan
perjuangan pribumi dan menutup kerang – kerang usaha yang dapat mengancam mendominasi atau eksistensi ekonomi Belanda.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari hasil
penelitian ini di peroleh kesimpulan bahwa nilai sosial politik yang terdapat
dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya
Ananta Toer adalah sebagai berikut:
a. Politik Pendidikan
Dari sisi
pendidikan dapat di urai dalam kerangka kebijakan pemerintah, strategi
mempertahankan hegemoni kekuasaan, dan kebijakan untuk meraih posisi di mata
pribumi Hindia, sesuai dengan gambaran novel ini sebagai berikut:
- Kebijakan pemerintah
Hindia dari golongan liberal untuk menerapkan politik etis
pascapemberlakuan sistem rodi.
- Untuk meraih
suara terbanyak dalam parlemen Belanda, kaum liberal dari partai Vrijzining Demkratische Partij
mengadakan kampanye dialogis di Hindia yang diwakili oleh Van Heutz dan
Ir. Van Kollewijn. Dihadapan pengusaha dan tokoh intelektual pribumi
(Minke) mereka berjanji akan menerapkan kebijakan politik etis.
- Kesadaran pribumi
dan golongan Arab dan juga Tionghoa akan pendidikan Belanda yang jauh dari
tujuan dan sangat diskriminatif, mendorong mereka untuk membuat sekolah
sendiri.
- Untuk mempertahankan
dominasi Belanda pascapemerintahan Van Heutz, Belanda membuat kebijakan
untuk membatasi sekolah-sekolah sewasta.
b. Nasionalisme
Kesadaran Minke
akibat dominasi politik yang dilakukan penjajah yang tidak memberikan ruang
kepada pribumi untuk merdeka, mendorong Minke untuk melakukan aktifitas
propaganda kepada legium kraton untuk tidak saling berperang sesama pribumi.
Kesadaran nasionalisme Minke semakin kuat ketika bertemu dengan Douwanger dan
orasi dokter jawa di sekolah dokter (STOVIA), pertemuan ini pula yang mendorong
Minke untuk membentuk organisasi pribumi yang berasaskan nasioanalisme yang
tidak di batasi sekat-sekat sukuisme atau kepulauan dan tidak berpandangan Jawa
sentris. Setelah kegagalan oraganisasi pertama yaitu Syarikat Prijaji akibat
penyalah gunaan keungan, Minke tidak patah semangat Dia membentuk organisasai
SDI yang akhirnya mampuh mengantarkan pribumi ketitik kemajuan dari aspek
ekonomi dan sedikit memberikan pemahaman kepada pribumi arti kebersamaan,
persaudaraan, persatuan, yang kemudian dikemas dalam bentuk nasionalisme.
c. Ekonomi Politik
Keberhasilan pedagang
Tionghoa melakukan boikot terhadap pengusaha Eropa akibat penindasan yang
dialami pedagan Tionghoa, mengakibatkan kerisis ekonomi di Hindia dan seluruh
dunia. Boikot ini menyebabkan
seluruh perusahaan Eropa di Hindia mengalami kebangkrutan. Peristiwa ini
membuka mata Minke bahwa kekuatan untuk meraih kemerdekaan dan pengakuan secara
politik atas eksistensi pribumi terletak pada solidaritas dan sebuah komunitas
(organisasi). Maka, Minke berisiatif
untuk membentuk organisasi perdagangan dengan tujuan untuk membangkitkan
prekonomian pribumi dan memberi bantua modal kepada pribumi untuk berdagang,
serta melakukan boikot ketika terjadi penindasan dari para pedagang Eropa,
Tionghoa, dan Arab. Terbentuknya SDI ternyat mampuh meningkatkan tarab hidup
masyarakat pribumi, bahkan kemajuan dari aspek perdagangan masyarakat pribumi
mendorong perintah Hindia untuk merubah sistem kebijakan ekonomi politiknya
dari kerja rodi menjadi pajak usaha.
Keberhasilan
SDI dalam bidang perdagangan yang di motori oleh Minke, tidak hanya meramba
dunia usaha jual beli tapi juga usaha perkapalan dan pendidikan. Namun, usaha
tersebut digagalkan oleh Belanda karna keinginan Belanda kembali memberlakukan
monopoli perairan dan melihat SDI sebagai ancaman bagi hegemoni politik
Belanda, menyebabkan keinginan untuk membubarkan SDI dan menutup kantor Medan
(korang medan), serta mengasinkan tokoh pergerakan yang sangat berbahaya bagi
Belanda yaitu Minke.
B. Saran
Berdasarkan
hasil penelitian, terdapat beberapa saran dan usulan sebagai berikut:
- Kepada mahasiswa
jurusan Bahasa dan sastra Indonesia diharapkan dapat mengembangkan
penelitian sastra dengan sebaik-baiknya, khususnya dalam menganalisis
nilai sosial politik dalam sebuah novel.
- Kepada peneliti
selanjutnya yang mengambil novel ini sebagai objek penelitian, di harapkan
dapat meneliti dan mengkaji hal-hal lain yang juga sangat penting dalam
karya sastra.
- Kepada pembaca
novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer, di harapkan mengabil
sebagai pelajaran bahwa kehidupan ini tidak pernah lepas dari kerangka
politik. oleh karena itu, di harapkan hadir dalam benak individu kesadaran
keritis untuk mengawal kebijakan-kebijakan pemerintah.
- Kepada pembaca
di harapkan dapat memperoleh mamfaat dari hasil penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Adhar, Al-Fisah. 1997. Penokohan
dalam Novel Harimau-Harima. Karya Mukhtar Lubis. Skripsi. Ujung Pandang:
UNISMUH.
Adi, S. Sutjarso. 1993. Penelitian
Sastra. Ujung Pandang: FPBS IKIP.
Aminuddin. 1999. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung:
Sinar Baru.
Arikunto, Suharsimi. 1992. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan. Jakarta:
Rineka Cipta.
Boef, Agus Hans Den. 2008. Saya
Ingin Lihat Semua ini Berakhir: Esei dan Wawancara Pramoedya Ananta Toer.
Jakarta: Komunitas Bambu.
Cipto, bambang. 1999. Bebek Dungu
Presiden Profesional atau Politik Dinasti. Yogyakarta: Bigraf Publishing.
Depdikbud. 1993. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Duetch. Sistem Politik .(http://www.lintasberita.com./politik/pengertian-politik,
Diakses 10 Juni 2009)
Junaedi, Moha. 1994. Apresiasi Sastra
Indonesia. Ujung Pandang: CV. Putra Maspul Ujung
Pandang.
Kohn, Hans. 1984. Nasionalisme
Arti dan Sejarahnya. Jakarta: Erlangga.
Kridalaksana, Harimukti. 2001. Kamus Linguistik. Jakarta:
Gramedia.
Mahayana, Maman S. 2007. Ekstrinsikalitas
Sastra Indonesia. Jakarta: Rajawali Perss.
Michel. Sistem Politik. (http://www.lintasberita.com./politik/pengertian-politik,
Diakses 10 Juni 2009).
Moeliono, Anto M. Tanpa tahun. Pengembangan
dan Pembinaan Bahasa Indonesia: ancangan alternatif dalam di dalam perencanaan
bahasa. Surabaya: Djambatan.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta:
Gajah Mada Universitas Press.
Philipus dan Aini, Nurul. 2006. Sosiologi
dan Politik. Jakarta: PT. Rajagrafindo Persada.
Poerwadarminta, W.J.S. 1976. Kamus
Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Ratna, Yoman Kutha. 2008. Poskolonialisme
Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
_______, 2007. Sastra dan
Cultural Studies: refresentase fiksi dan fakta. Yogyakarta: Pustaka Pela Sholahuddin,
Muhammad. Ekonomi yang Sejahterah,
Mandiri dan Berkah. Majalah al-wa’ie. No. 107 Tahun IX 1-31 Juli 2009.
_______, 2007. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sastrawati, Ekarini. 2007. Sosiologi Sastra. Surabaya: UMM Malang.
Semi, M. Atar. 1988. Apresiasi Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Sholahuddin, Muhammad. Ekonomi
yang Sejahterah, Mandiri dan Berkah. Majalah al-wa’ie. No. 107 Tahun IX
1-31 Juli 2009.
Sirozi, M. 2005. Politik
pendidikan: Dinamika Hubungan antara Kepentingan Kekuasaan Praktik
Penyelenggara Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sudirman, Panuti. 1984. Memahami Cerita Rekaan. Jakarta: Pustaka Jaya.
Suhaeb. 1979. Karaktorologi. Ujung pandang: IKIP.
Sukada, Madu. 1993. Pembinaan Kritik Sastra Indonesia Masalah Sistematika Analisis Struktur Fiksi. Bandung:
Angkasa.
Sumarjo, Jako. 1984. Memahami Kesusastraan.
Bandung: Alumni.
Suparto. 2008. Fungsi dan
Pengertian Nilai Sosial (http: //www.pengertian-nilai-sosial-sosiologi-ip,
Diakses, 10 Juni 2009)
Suroto.
1989. Apresiasi Sastra
Indonesia untuk SMA. Bandung: Erlangga.
Tarigan, Henri Guntur. 1985. Prinsip-Prinsip Dasar Sastra. Bandung:
Angkasa.
Tilaar, H.A.R. 2008. Kebijakan Pendidikan: pengantar untuk
memahami kebijakan pendidikan dan pendidikan sebagai kebijakan publik.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Toer, Pramoedya Ananta. 2007. Jejak Langkah. Jakarta Timur: Lentera
Dipantara.
Wellek, Rene dan Weren, Austin. 1993. Teori Kesusastraan). Jakarta
: PT. Gramedia.
Wildan. 2003. nasionalisme dalam novel-novel A. Hasjmin. Makala kongres
bahasa X
Woods. 2008. Pengertian Nilai
Sosial. (http://www. Pengertian- nilai- sosial-Ip, Diakses, 10 Juni 2009)
Zaidan, Abdul Razak, dkk. 1994. Kamus Istilah Sastra. Jakarta :
Balai Pustaka.
RIWAYAT HIDUP
Muh. Risal Hamid, lahir 12 Mei 1986 di Kolaka Utara, Sulawesi
Tenggara. Penulis anak ke 4
dari 7 bersaudara dari pasangan AbdulHamid (alm) dan St. Nuri.
Latar belakang pendidikan,
penulis Mengenyam pendidikan Sekolah Dasar (SD) di SD I Kalu-Kaluku,
selanjutnya SLTP Negeri 3 Kab. Kolaka Utara tahun, tamat tahun 2003 sebagai lulusan terbaik ke IV. Pada
tahun yang sama, penulis hijrah ke Makassar meninggalkan kampung halaman untuk
mengenyam pendidikan yang lebih baik. Keterbatasan informasi mengakibatkan
penulis melanjutkan study di SMU Wahyu Makassar, tamat tahun 2005 sebagai
lulusan terbaik ke II dari 450 siswa jurusan IPS.
Tahun 2005 penulis kuliah di
Universitas Muhammadiyah Makassar, jurusan Bahasa dan sastra Indonesia,
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Kesadaran akan pentingnya pendidikan
bagi generasi bangsa memotivasi penulis untuk mengambil Fakultas keguruan
dengan satu harapan kelak dapat menjadi pendidik profesional. Selain kuliah, penulis juga banyak
bergerak dalam dunia organisasi baik internal maupun eksternal. Diantaranya,
ketua bidang advokasi HMJ Bahasa dan sastra Indonesia priode 2006-2007, staf
bidang jaringan HMI MPO cabang Makassar priode 2007-2008, ketua kordinator
komisariat Makassar selatan HMI MPO cabang Makassar priode 2007-2008, ketua
bidang wacana HMI MPO cabang Makassar priode 2008-2009, ketua remaja masaji Hj.
St. Saerah priode 2006-sekarang, Sekjen Rausyanfiqr comunity, ketua Lembaga
Kekaryaan Ikatan Mahasiswa Sulawesi Tenggara priode 2009-2010 dan ketua
Departemen Pengkaderan Himpunan Pemuda Pelajar Mahasiswa Kolaka Utara priode
2008-2010.
Tahun 2009, penulis berhasil
menyelesaikan studi di Universitas Muhammadiyah Makassar, dengan judul skripsi
Analisis Nilai Sosial Politik dalam novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta
Toer.
BIOGRAFI SINGKAT PRAMOEDYA ANANTA TOER
Pramoedya Ananta Toer, lahir pada 6 Februari
1925 di Blora, Jawa Tengah. Ia anak sulung dari sembilan bersaudara, ayahnya adalah nasionalis tulen yang
sebelum perang ikut dalam berbagai kegiatan, tetapi secara politik tergolong
sayap kiri. Hampir separuh hidup Pramoedya di habiskan dalam pahitnya penjara
sebagai tahanan politik, sebuah wajah semesta yang paling purba bagi manusia
bermartabat. 3 tahun dalam pennjara kolonial Belanda, 1 tahun dalam penjara
orde lama, dan 14 tahun yang melelahkan dalam penjara orde baru. 13 Oktober 1965
– Juli 1969, di tahan di pulau
nusakambangan Juli 1969 – Agustus 1969, di pindahkan di pulau buru Agustus 1969
– 12 Nevember 1979, Magelang / Bayuwangi November – Desember 1979 tanpa proses
pengadilan. Pada tanggal 21 Desember 1979, Pramoedya mendapat surat pembebasan
dan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat dalam Gerakan separatis 30 September Partai Komunis Indonesia (G 30 S/ PKI), walaupun
sudah bebas Ia masih dikenakan tahanan rumah, tahanan kota, tahanan negara
sampai tahun 1999 dan wajib lapor ke Kodim Jakarta Timur satu kali seminggu
selama kurang lebih 2 tahun. Beberapa karyanya lahir dari tempat purba ini, di
antaranya tetralogi pulau buru, (Bumi manusia, anak semua bangsa, jejak
langkah, dan rumah kaca).
Latar belakang pendidikan pramoedya ananta
toer adalah selepas sekolah dasar, pramoedya masuk sekolah mulo. Karena
kemiskinan keluarga karena kemiskinan keluarga, ia tidak lebih dari sampai
kelas 2 memang ia menamatkan pendidikan sekolah teknik di surabaya sesudah
jepang menduduki jawa dan ibunya meninggal, ia membiyai keluarganya dengan
berjualan rokok dan tembakau untuk beberapa waktu lamanya. Ia lalu meninggalkan
belora ke jakarta, bergabung dengan pamannya mudiklau di kamoung kebayoran.
Disana ia belajar mengetik di kantor berita jepang lomei dijalan pos, dapat
mengukuti pendidikan stenograf, di samping untuk orang dewasa beberapa waktu
lamanya.
Sesudah
proklamasi republik, Pramodya ambil bagian aktif dalam perjuangan kemerdekaan,
dalam dinas penerangan tentara yang memberinya pangkat letnan 2 pada
pertengahan tahun 1946. namun pada akhur tahun itu juga, ia memutuskan keluar
dari tentara akibat konflik internak yang hebat.
Mulai
awal 1947, Pramodya bekerja sebagai redaktur dan penerjemah seksi publik Indonesia
dari de voice of free Indonesia.
Paska kemerdekaan, tepatnya tahun 1960
masa pemerintahan orlap pramodya mempublikasikan penelitiannya tentang posisi
orang Tionghoa di Indonesia yang sangat kritis sekitar diskriminasi terhadap
mereka. Penelitian ini kemudian mencobloskannya di dalam orde lama pada tahun
yang sama Pramodya menjadi ketua konfrensi pengarang afro – asia dan ia
memeberikan kuliah sastra di universitas respublican di jakarta. Semenjak tahun 1959, ia menjadi anggota lekra yang merupakan
lemabaga seni bentukan paratai komunis Indonesia.
Selama dalam penjara, sebagai tahanana
politik ia tetap menulis. Penjara tak membuatnya berhenti sejenakpun menulis.
Baginya, menulis adalah tugas nasional dan ia konsisten terhadap semua akibat
yang kia peroleh. Tak henti-hentinya karyanya dilarang dan di bakar.
Dari
tangannya yang dingin, telah lahir lebih dari 50 karya yang telah diterjemahkan
dalam lebih dari 35 bahasa asing. Adapun karya- karyanya di antaranya adalah di
tepi kali bekasih 1947, Perburuan 1949, Keluarga Gerilya 1950, Mereka yang Dilumpuhkan
1951, Belora 1951, Bukan Pasar Malam 1951, Korupsi 1954, Cerita dari Jakarta:
sekumpulan karikatur keadaan dan manusianya 1957, Percikan Revolusi 1950, Gadis
Pantai 1987, Nyanyian Sunyi Seorang Bisu 1983, Arus Balik 1979, Arok Dedes 1976,
Bumi Manusia 1980, Jejak Langkah 1985, Rumah Kaca 1988, Sang Pemula 1985, Anak
Semua Bangsa 1983, dan masih banyak lagi karya Pramodya lainnya. Karena
kiprahnya di gelanggang sastra dan kebudayaan, Pramodya dianugrahi berbagai
penghargaa internasional diantaranya: the pen freedom-to writh award pada 1988
dan ramon mag saysay award pada 1995 sampai kini ia adalah satu-satunya wakil Indonesia
yang namanya berkali-kali masuk nama kandidat pemenang nobel sastra.
SINOPSIS
Novel
Jejak Langkah merupakan novel ke tiga dari tetralogi pulau buru karya Pramoedya
Anata Toer setelah novel bumi manusia
dan anak semua bangsa.secara singkat digambarkan bahwa bumi manusia merupakan
periode penyemaian gerakan dan kegelisahan Minke atas realitas sosial Hindia,
kemudian Anaka Semua Bangsa adalah periode ovserpasi atau turun kebawa mencari
serangkaian spirit lapangan dan kehiupan arus bawa pribumi yang tidak berdaya melawan kekuatan raksasa Eropa.
Namun, novel yang ketiga Jejak Langkah adalah pengorganisasian dan perlawana Minke
dalam novel ini sebagai tokoh utama mulai menggerakan bidang-bidang yang lebih
banyak. Minke mendirikan mingguan pertama pribumi dalam bahasa melayu dengan
nama “medan” mingguan ini memperoleh begitu banyak sukses, hingga segera Minke dapat
merubahnya menjadi harian yang kemudian disebut sebagai koran medan priyayi.
Kesadaran nasionalis yang dimiliki Minke mendorongnya mendirikan berbagai
organisasi kepentingan pribumi, diantaranya sarekat priyai dan sarekat dagang
islamiyah. Selanjutnya, mingke juga membangun komunikasi dengan orang-orang
eropa dan pribumi yang peduli terhadap nasip pribumi,seperti warta wati Marya
Van Zeggelen, Teerhar, dan Raden Ayu kartini. Bahkan untuk memudahkan
aktifitasnya minke juga membangun komunikasi dengan gubermen jendral Van Heutz.
Van
Heutz semasa yang menjadi gubermen jendral berusaha berhubungan secara teratur
dengan Minke. Dia meminjamkan buku multa tuli yang disayanginya dan memberikan
bantuan keuangan kepada pribumi muda ini untuk melaksanakan rencana-rencana.
Namun, Minke menyadari adanya pembatasan-pembatasan politik etis Van Heutz yaitu
menyatukan hindia dibawah satu komando sentralistik, saat kerajaan–kerajaan
otonom tunduk kepada kewibawaan batavia. Untuk merealisasikan keinginan Van
Heutz melakukan infasi milter kepada kerajaan-kerajaan yang belum tunduk dengan
strategi adu domba. Peristiwa ini mambangkitkan semangat nasionalisme Minke.
Politik
etis sangat bertentangan dengan gagasan – gagasan Minke mengenai Hindia yang
merdeka, tempat semua orang dinilai setara. Disamping penguasa belanda dalam
perjuangan untuk mewujudkan gagasan – gagasan itu, ia menyadari juga bahwa
orang-orang jawa yang mapan menetang dirinya. Perpecahan intern pendududk
pribumi merupakan rintangan besar bagi terwujudnya gagasan-gagasan mingke.
Untuk bahasa koran, Ia pilih bahasa melayu karena dengan demikian ia dapat
menjangkau bangsa-bangsa lainnya, selain bangsa jawa. Sebagian orang jawa keberatan
dengan hal itu, karena mereka memandang bahsanya sendiri lebih tinggi dari yang
lain. Salah satu organisasi tempat mingke terlibat yaitu Boedi Oetomo, hanya
menerima kaum cendikiawan jawa. Tentu Ia memandang ini sebagai penghalang yang
merintangi tumbihnya nilai-nilai nasionalisme.
Organisasi
yang pertama didirikannya adalah sarekat priyai yang terdiri dari kaum anteler
atau proletariat ala Marx yang sangat berbeda dengan Boedi Oetomo. Segera
kemudian mingke melihat bahwa kelompok ini yang paling kurang dapat digerakan.
Namun, setelah melihat kaum proletariat, berkepentingan terhadap status quo,
dan takut mengambil resiko. Ia mencari unsur pengikat dalam masyarakat
pribumidan akhirnya karena alasan praktis memilih islam sebagai unsur yang
ideal untuk jadi medium pemersatu pribumi, maka dibentuklah SDI (sarekat dagang islamiyah) dengan landasan nasionalisme yaitu
kebersamaan, perasaan senasib, dan sebangsa.
Usaha-usaha Mingke semakin hari
semakin besar. Korang medan priyai telah bermetamorfosis menjadi korang yang
terbesar di hindia yang banyak mempengaruhi opini publik. Selain itu, SDI juga
telah melebarka sayap-sayap usahanya yang tidak hanya terbatas pada aspek perdagangan
tetapi juga aspek pendidikan dan usaha perkapalan. Bahkan melalui korang medan,
Minke melakukan propaganda untuk melakuka perlawanan kepada pengusaha-pengusaha
Eropa atas kebijakan untuk menurnkan upah dan pembatasan tenaga kerka. Melihat
realitas tersebut pemerintah bertindak kantor medan priyai tutup dan Minke ditangkap
dan diasingkan di luar pulau Jawa.
Mungkin ku tak mampu mengusir gelap ini
Tapi dengan nyala yang redup ini
Ku ingin tunjukkan beda gelap dan terang
Kebenaran dan kebatilan
Orang yang menatap cahanya, meski temaram
Kan menyala terang di hatinya
yang dalam
Makassar, 12 November 2009
Sajak untuk Tuhan
Tuhan ku sapa engkau di waktu senja
Ku lantungkan kidung kerinduan-ku
Dalam desahan nafas tasbih-ku
Tuhan
singkaplah tabir ini
Agar
aku dapat meraih ma’rifat-Mu
Mengayam
Ros dalam taman-taman hati-Mu
Tuhan antarkan aku kemi’rajmu
Biarkan aku bertanya tentang keadilan
dibumi-Mu
Biarkan aku bertanya tentang keadilan
pejabat-Mu
Tuhan sajak ini ku-rakit untuk-Mu
Biar mereka tau untuk meraih-Mu
Tidak bisah dengan penindasan dan kezaliman
(makassar,12 November 2009)
Tuhan
sejak ku-mengenal-Mu
Aku
tersesak dalam langkah-ku
Kegelapan hanya jejak yang tertinggal
Menuju bingkai kesempurnaan.
(Muh. Risal Hamid )